Home / Romansa / The Memories (BAHASA) / Chaps 1 : I Miss You Like Crazy

Share

Chaps 1 : I Miss You Like Crazy

Author: Veedrya
last update Last Updated: 2021-04-09 15:26:30

10 Tahun lalu

Hari ini adalah hari pertama Classmeeting. Minggu bebas yang diadakan sekolah sebagai ajang unjuk gigi kebolehan dan kekompakan antar kelas yang biasanya dipanitiai oleh OSIS. Ujian Akhir Semester berakhir minggu lalu. Lomba olahraga dan festival seni menggaung memenuhi seluruh atmosfer SMP Nusantara. Karena gerbang dibuka sepanjang hari, banyak siswa ndableg yang datang siang dan pulang gasik. Beberapa dari siswa ndableg itu adalah lima pelajar bandel yang ngumpet dari kejaran wali kelas karena tidak ingin mengikuti lomba dan festival apapun. Mereka sedang ngadem di bawah pohon akasia di belakang aula yang pasti sepi karena sebagian besar massa siswa berkumpul di lapangan dan halaman utama sekolah.

Kelima siswa ndableg itu adalah Hafid, Nisya, Ida, Icha dan Azra, tapi teman - teman dekatnya memanggilnya Jaja. Mereka berhasil kabur setelah mengarang sejuta alasan untuk absen dari kegiatan kelas. Padahal Hafid wakil ketua kelas dan merupakan salah satu anggota OSIS SMP Nusantara. Bersama Jaja juga.

"Eh yakin nih gak kenapa - napa? Kamu kan OSIS, Fid." Icha bertanya untuk kesekian kalinya sambil menatap khawatir. Dari tadi dia yang paling riwil. Khawatir kalau nantinya kenapa - napa.

"Alah, udah. OSIS kan kerjaannya ngerapatin sama jadi penyelenggara. Udah jalan gini ya biar yang jadi panitia lah yang sibuk." Dia masih asik memilih kartu apa yang akan dikeluarkan karena sebentar lagi gilirannya.

Iya, mereka sedang main UNO di bawah pohon di belakang sekolah. Yang kalah bakal diolesi bedak bayi yang selalu dibawa - bawa Icha di tasnya.

"Mampos! Makan tuh draw empat!" Jaja berseru girang. Di sebelahnya, Hafid menggumam asem sambil mengambil empat kartu jatahnya. "Udah sik. Udah kelas tiga kita tu. Dua tahun kemaren kan kita ikut mulu! Mau jadi jerapah apa aku, main basket terus. Nanti kalo baju sama celanaku jadi cingkrang semua siapa yang mau nyumbang?" Jaja mendadak curhat.

"Udah, terima nasib aja, kamu tu. Nanti pas bikin KTP tinggi kamu udah dua meter!" Nisya meramalkan nasib Jaja dua tahun kedepan. "Nih, Fid, tak kasih kesempatan balas dendam ke Jaja." Katanya sambil melempar kartu reverse. Yang lain bersorak kompak ‘Aamiin!’

"Woy, jangan diaminin dong!" Jaja protes tidak terima didoain tingginya dua meter, yang lain ketawa.

"Kamu aneh deh! Orang - orang pada cari cara biar nggak bantet, biar tingginya nambah, kamu malah ngeluh ketinggian mulu!" Ida menyambung.

"Dia aja yang lebay. Orang tingginya paling juga beda dua tiga centi doang sama si Hafid, lagaknya kaya uda yang paling tinggi sedunia. Adoh!" Cubitan gemas Jaja mendarat di Pipi Icha. Yang jadi korban mendelik tak terima.

Jaja selalu begitu, 'memperkosa' pipi Icha semena - mena. Bacanya mencubit secara paksa ya, bukan memperkosa yang lain. Kalau diprotes, jawabnya selalu sama 'habis gemes, itu pipi bakpao banget, gembil - gembil empuk, ada lesung pipinya pulak', setelah itu biasanya Nisya, Hafid dan Ida akan kompak senggol - senggolan sambil bilang cieee. Ya gimana nggak di ciee ya, kalo soal pipi bakpao, Ida, Nisya dan Icha kebetulan kompak punya badan yang setipe sehingga pipi mereka juga terlihat chubby, apalagi saat masa puber seperti ini, baby fat nya belum luntur. Tapi selalu yang jadi korban ke-gemes-an Jaja cuma pipi Icha.

"Bantet diem aja." Icha mendelik. Nisya dan Ida ikut berseru protes tak terima. Tinggi mereka sama, loh! "Trio bantet hahahaha."

"Ih nyebelin banget sik jadi orang!!" Icha menabur baby powdernya ke muka Jaja, membuatnya terbatuk karena nggak sengaja menghirup serbuk bedaknya saat tertawa. Salah siapa ketawa ngakak sampe kek gitu. Icha puas karena balas dendamnya sukses. "Sukurin!"

"Mukamu kayak lakon ketoprak, Bro!" Hafid ngakak sampe terjengkang ke belakang.

"UNO!" Teriak Ida tak peduli dengan kegaduhan di sekitarnya. Dia sudah amat sangat terbiasa dikelilingi makhluk - makhluk berisik ini. Baru begini, itungannya masih kecil, masih cemen. Mendengar teriakannya, yang lain melongo melihat kartu di tangan ida tinggal satu. "Lanjut kamu, Petruk!"

Dia memang suka ngegas kalo ngomong. Semua yang diucapkannya, kalau ditulis, akan diakhiri dengan tanda seru. Tapi Ida yang paling kalem di segala situasi di circle mereka. Dia selalu berperan jadi induk ayam bagi keempatnya.

"Siapa, Petruk?" Jaja sok bertanya, menantang Ida.

Wah, dikira Ida nggak berani ditantang sama Jaja. "Kamu lah, apa mau dipanggil Gareng, aja?! Kan pas, kamu kerempeng, tinggi!" yang lain terpingkal mendengar penjelasan Ida, sementara Jaja bersungut kesal. Asem memang Ida, nih.

Rusuh memang kalo lima anggota pandawa SMP Nusantara ini berkumpul, ramainya ngalahin massa di lapangan depan yang sedang heboh jadi supporter dan menyoraki kelas mereka yang sedang bertanding basket.

"Bagus, ya! Malah bolos disini," tawa mereka terhenti dengan tatapan bingung dan kaget. Bu Dewi, guru BK mereka, berkacak pinggang dengan membawa tongkat rotan favoritnya. "Semuanya ikut saya ke kantor!"

***

Azra Current POV

Dia ragu - ragu sejenak setelah mengambil makan siangnya. Beberapa sales yang pernah bekerja dengannya, khususnya karyawan kantor Singapore dan Malaysia tadi menawarinya untuk duduk bersama saat makan. Dia hanya mengangguki ajakan tersebut. Itu bisa jadi pertimbangan terakhir kan?

Dia melihat Icha dan temannya… siapa tadi namanya? Dia sempat sekilas membaca papan namanya saat tadi sekilas memperhatikan Icha. Sama - sama dari Jogja juga. Mereka berdua duduk di meja berisikan empat kursi, makan berdua. Gadisnya terlihat nggak bersemangat.

Oke, dia sudah memutuskan. Jadi dibawanya piring berisi makanannya dan menghampiri meja Icha.

"Is this seat taken?"

Dia melihat Icha nyaris tersedak karena pertanyaan singkatnya itu. Azra melawan keinginan kuat untuk menepuk - nepuk pelan punggungnya.  

"Silakan. Have a seat, Sir." Temannya yang menjawab. Azra ingin merengut, tapi dipaksakan juga akhirnya senyuman bersahaja dan professional yang dia latih. Daripada nggak ada yang nanggepin. Yang penting semeja dulu lah.

"Azra, please. Nggak perlu Pak - pak segala." Elaknya dengan senyum ramah. "Dari Jogja kan, ya?" Cewek tersebut mengangguk mengiyakan, masih tersenyum. Lalu dia menambahkan untuk mencari simpati, karena mereka sama - sama dari Indonesia. Biasanya bondnya bisa lebih terasa. Let’s do the trick. "Ini tahun pertama saya, jadi belum banyak kenal dari mana - mana."

"Sama, Pak. Ini juga tahun pertama saya. Icha tahun kemaren ikut, gantiin Manager Outbound yang lagi maternity leave, iya kan, Cha?" Cewek itu mengangguk kaku, masih setia menunduk dan mengaduki chicken sup nya dengan tekun.

Dia Cuma makan itu? Serius? Emang kenyang? Dia nggak diet, kan? Dia jauh... jauh lebih kurus sekarang. Dulu dia agak lebih berisi, walaupun masih jauh dari kategori bongsor. Dia seperti sedang melamun, atau banyak pikiran. Mikirin apa, sih?

Dia nggak sadar udah beberapa saat memandangi Icha. Cepat - cepat dialihkan pandangannya ke piringnya saat cewek tersebut mengangkat matanya, membuat pandangan mereka sekilas bertemu. Deg - degan. Malu ketahuan lagi curi pandang.

"Cha, aku mau ambil minum? Mau sekalian?" Azra bersorak dalam hati saat dia mengangguki tawaran temannya. "Pak Azra mau juga?" Dia juga langsung mengangguk.

"Boleh kalau nggak ngerepotin." Jawabnya dengan senyum pepsodent nya.

Yass! Itu berarti… dia akan berduaan dengan Icha di meja ini. Hatinya bersorak penuh suka cita meskipun dia belum punya ide apapun untuk membuka percakapan. Yah, sorakin aja dulu. Yang lain pikir blakangan.

Diperhatikannya diam - diam Icha agak gelagapan saat temannya beranjak. Mungkin sadar kalau dia sekarang hanya ditinggal berdua saja dengan Azra. Pencurian kesempatan ini nggak akan berjalan dengan mudah. Tapi dia nggak berniat menyerah juga.

Keheningan akhirnya menyapa mereka. Icha masih dengan kesibukannya mengaduk - aduk supnya, dengan entah apa yang dipikirkannya, karena dia sekarang mengernyitkan dahi. Dia punya kebiasaan menggemaskan saat berpikir. Mengernyitkan dahi dan mengerucutkan bibirnya.

Sementara dia? Dia sibuk memikirkan harus memecah kesunyian dengan apa. Dia sudah terlalu sering menghalau Icha di masa lalu. Hampir selalu dia menjatuhkan setiap usaha yang Icha coba untuk berbaikan dengannya. Dia dulu kok brengsek sekali, ya.

Mungkin diawali dengan tanya kabar? Pertanyaan basa - basi? Bukan ide yang buruk, kan?

Tapi belum sempat Azra melaksanakan ide tersebut, dirinya kembali disela. Kali ini oleh dering ponselnya. Siapa? Pacarnya? Icha punya pacar?! Dia jadi panik sendiri. Setahunya, gadis ini masih melajang dan masih belum memiliki pasangan hingga sekarang. Jangan Tanya dia tau dari mana. Dia juga bisa kepo dan gali - gali informasi. Dikira cewek aja yang bisa jadi detektif?

"Iya, Bu?” Fyuh, dari Ibu ternyata. Sudah boleh lega? Tapi kepo juga sih. Sudah lama juga dia nggak denger kabar dari Ibu. Nggak berhubungan dengan Icha, berarti terputus sudah silaturrahmi yang dulu erat terjalin antara keluarga mereka. Apalagi sekarang dia di Jakarta, tinggal bersama Mamanya, dan Icha beserta keluarganya tetap di Jogja.

“Ini lagi makan. Nanti mulai tiga puluh menit lagi." Jawabnya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "nggak, ah. Mau langsung pulang ke hotel aja, istirahat." Dia menyimak sebentar sebelum terkekeh pelan, "apa, sih Ibu, pasti suruhan Bapak deh, ngomong begitu. Iya, Icha gak macem - macem," Dia sudah asyik dengan dunianya sendiri, sampai di suatu waktu tak sengaja tatapan matanya bersirobok dengan netra Azra di depannya. Selama beberapa detik, saling mengunci, membuatnya lupa seakan lupa bernafas. "Eh iya, Bu. Iya. Waalaikumsalam, Bu."

“Ini, Pak, Silakan.” Kedatangan Tya membawa minuman mereka.

eka sama sekali nggak membantu membuat suasana netral kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 83: If This is A Dream, Don't Wake Me Up

    Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 82: With You, Forefer & After

    Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 81: Your Body Is my Wonderland

    Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 80: Sweet Weekend

    Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 79: The Burden

    Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 78: Time For Truth

    Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status