Beranda / Romansa / The Memories (BAHASA) / Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

Share

Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

Penulis: Veedrya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-10 15:07:20

Azra’s Current POV

Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid.

Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra.

“Kok gue yang lo sumpahin dodol!”

“Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid.

“Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.”

“Pasti gara - gara lo.”

“Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.”

Hafid terkekeh sebentar.

“Ini lo dimana, Dul? Icha sama siapa?”

“Ini masih di mobil. Anter dia pulang.”

“Abis itu? Dia ada temennya nggak?”

“Ya sendirian. Emang gue boleh nemenin? Males kalo gue kalian roasting macem - macem.” Padahal mah dia mau banget nemenin Icha. Seumur hidup juga ayo.

Hafid di seberang sana diam. Seperti menimbang - nimbang sesuatu yang berat. Beberapa kali Azra mendengar helaan nafas pasrahnya sebelum akhirnya suaranya kembali terdengar.

“Dul, lo temenin Icha sampe siuman ya. Psatiin dia makan sama minum obat abis ini.”

“Siap.”

***

8 Tahun yang lalu

Dua tahun berlalu sejak Jaja mengabaikannya. Mereka sekarang sudah kelas dua SMA. Sejak tahun terakhirnya di SMP terasa seperti neraka, dia menjadi orang yang lebih tertutup. Kepercayaan dirinya hilang nyaris tanpa bekas. Bu Dewi adalah contoh dari beberapa orang yang ‘merayakan’ keadaan Icha. Beliau semakin gencar membully nya karena anak - anak cheers suka sekali mengadu jika Icha melawan.

Sekarang dia sudah kelas dua SMA. SMA nya berbeda dengan Jaja dan teman - teman SMP nya yang lain. Nggak ada lagi Bu Dewi yang menerornya.

Selain Jaja, keempatnya masih sering bertemu dan berkumpul. Jaja seperti ditelan bumi baginya. Icha hanya melihat sekilas dari luar gerbang sekolah saat kebetulan dia menunggu Ida dan Nisya pulang. Jaja masih dengan Hafid, berangkat dan pulang bareng, menjadi BFF goals bagi yang melihat. Asalkan, Hafid tidak mengungkit nama Icha di depan Jaja. Pernah beberapa kali Hafid nekad bertanya, mengajak Jaja kembali. Dan bogem mentah pun nggak tanggung-tanggung bersarang di pipinya meninggalkan bekas biru keesokan harinya. Bekas biru yang membuat Ida geram bukan main. Salah satu alasan kenapa Ida dan Azra jadi susah akur hingga sekarang.

Ida dan Nisya, karena terlalu sering dititipi surat permohonan maaf Icha kepada Jaja, malah didiamkan dan ikutan dicuekin. Membuat Icha merasa bersalah. Icha terpaksa menulis surat karena Jaja dengan tiba - tiba mengganti nomor hape dan memblokir Icha dari kontaknya.

Memang itu Jaja tega luar biasa. Raja tega pokoknya.

"Cha, yuk!" Hesti memanggilnya. Mereka berencana menonton festival olahraga antar SMA di kotanya hari ini. Dia juga sudah janjian untuk bertemu dengan Ida dan Nisya di sana.

Hesti adalah teman sebangkunya dari kelas satu SMA. Kebtulan kelas dua ini mereka juga sekelas, dan sebangku lagi. Bisa dibilang Hesti adalah satu - satunya teman yang akrab dengannya di SMA ini. Dan hari ini, dia ingin mengenalkan pacar barunya kepada Icha. Pacarnya kebetulan ikut turnamen basket disana.

"Nanti aku jangan dikacangin ya, Hes." Icha mewanti - wanti. Keki lah, temennya pacaran, terus dia ngapain? Hesti tertawa renyah mendengarnya.

"Apaan, sih. Kan dia main basket, kita mau cuci mata di sana."

"Loh, katanya udah punya pacar, kok cuci mata?"

"Kan cuma cuci mata, Cha hahahaha."

Mereka kesana naik angkutan umum, lalu berjalan kaki sekitar tiga ratus meter untuk mencapai gedung olahraga yang dimaksudkan. Hesti asyik bertukar pesan dari ponsel sambil senyum - senyum sendiri di sampingnya. Sepertinya dengan pacarnya.

Haaah, di saat teman sebayanya sibuk pamer kemesraan dengan pacarnya, dia malah takut dengan lawan jenisnya. Berteman oke, sekali dua kali ngobrol masih bisa, tapi icha hanya membatasinya sampai disitu saja. Dia sangat trauma dengan Jaja yang sudah terlanjur dekat, bahkan dianggap keluarga, tapi ternyata mampu menyakiti luar biasa dalam sampai meninggalkan trauma.

Ida dan Nisya belum sampai. Tadi dia sempat menelpon salah satunya dan mereka bilang akan telat karena ada piket.

"Yang!" Hesti melambai pada seseorang di samping pintu masuk. Jika saja Hesti tidak menggandeng erat lengannya, Icha pasti sudah kabur sekarang. "Cha, kenalin, ini pacarku, Azra."

Iya! Pacar Hesti itu Azra yang itu. Jajanya. Kenapa dia harus bertemu Jaja sih? Out of all male students in Jogja, why him? Jogja sempit banget apa?!

"Oh, hai. Icha." Dia menyapa kikuk. Jaja hanya mengangguk lalu perhatiannya teralihkan pada Hesti. "Hes, aku di sana ya. Kalian ngobrol aja." Pemitnya pada mereka berdua.

Langkahnya lunglai. Dia tidak ingin berada di sini lagi. Tidak dengan mata Jaja yang selalu memancarkan laser dingin padanya. Dan lagi, dia tidak suka melihat Jaja baik pada cewek lain tapi ketus padanya. Nggak suka!

Sore itu berlangsung garing bagi Icha. Walaupun ada Nisya dan Ida di sana, tetap saja pemandangan Hesti yang menempel pada Jaja membuatnya jengah.

Dan agak... marah?

***

Azra’s Current POV

Azra memandangi deretan nomor yang tampak di layar ponselnya. Nomor Icha. Dia punya sudah lumayan lama. Bukan dari Hafid, tapi dari Asti, Head HR Indonesia. Tentu saja dengan alasan lihat profil karyawan. Dan semudah itu dia dapatkan kembali nomor Icha.

Tapi sayangnya, belum pernah digunakan. Dia belum pernah menghubungi Icha sekalipun sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan dia memutus semua hubungan dengan gadis itu dan memblokir nomornya. Bukan apa - apa, Azra tahu apa yang dia lakukan dulu, berganti - ganti pacar nyaris tiap bulan dan mencuekinya pasti amat menyakitkan bagi Icha. Jadi dia memutuskan lebih baik kalau Icha nggak tau apapun tentangnya atau kabarnya lagi.

Berhasil? Tentu aja nggak. Seakan - akan dunia memang sesempit itu, sehingga kemana pun mereka selalu saja bersinggungan. Dia ingin memutus hubungan dengan Ida, Nisya dan Hafid juga, tapi itu berarti memutus satu - satunya hal yang menghubungkannya dengan Icha.

Hari ini Icha nggak ikut meeting maupun pelatihan. Dia masuh harus pemulihan. Dan dia kangen. Dia ingin bertemu, tapi dia nggak berani menghubungi…

“Ah, bodo lah. Tinggak ngomong aja apa susahn ya, sih?!”

***

Azra akhirnya mendialnya. Dia sedang menunggu dengan jantung berdentam kencang. Diangkat nggak ya?

"H-halo?" Icha menyapa ragu - ragu. Sepertinya dia tahu kalau ini dia.

"Hai." Jawab Azra pelan, hanya berupa bisikan kecil. Gila, jantungnya lama - lama bisa jalan balik sendiri ke Indonesia kalau terus - terusan berdetak sekencang ini.

"Y-ya?" entah kenapa Icha jadi ikut - ikutan berbisik.

"How are you?" suaranya masih sepelan helaan nafas.

"Much better now."

"You scared me to death when you passed out, you know?"

Diam. Yah, mana mungkin Icha tau. Bahkan awalnya mereka berlagak seperti dua orang yang nggak saling kenal di sini.

"Mind if I came to visit this evening?"

"Ya." Jawabnya agak sedikit terlalu cepat. Suara Icha pecah, sepertinya menahan tangis. Azra menyentak nafas tajam mendengarnya. Kaget. Dia tau dia brengsek. Dia jahat pada Icha. Tapi mendengar sendiri gadisnya menangis membuatnya sejuta kali lebih buruk dari perkiraannya. Dia nggak tau harus bilang apa tentang ini, jadi dia memilih mengabaikannya dulu.

"Okay. Rest well. See you." Azra akhirnya mengakhiri panggilan teleponnya.

“See you.” Balasnya dengan susah payah.

Dia langsung membungkuk di atas wastafel untuk mengatasi debaran jantungnya dan perasaan muak yang menyeruak di dalam dirinya hingga membuatnya ingin muntah. Ya, dia sedang berada di toilet. Dia harus segera keluar dari sini sebelum dia digedor oleh pengguna yang lain. Tapi pertama - tama, dia harus menormalkan debaran jantung dan nafasnya dulu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 83: If This is A Dream, Don't Wake Me Up

    Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 82: With You, Forefer & After

    Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 81: Your Body Is my Wonderland

    Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 80: Sweet Weekend

    Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 79: The Burden

    Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 78: Time For Truth

    Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status