Azra’s 8 Tahun Yang Lalu
Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik.
Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya.
Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin saat ketemu, hingga akhirnya cewek tersebut nggak tahan lagi dan minta putus. Yang tentu saja langsung iya kan oleh Azra. Dia bahkan nggak mencoba mencari excuse saat itu, langsung iya aja.
Azra jarang menembak duluan. Biasanya mereka yang datang padanya minta jadi pacarnya, ngajak jalan dan sebagainya. Hesti pun sama. Dikenalkan temannya. Hesti yang nyamperin ke sekolah Azra dan memintanya menjadi kekasihnya. Azra bilang Oke, seperti biasanya.
“Kenapa?!” Cewek itu, Hesti, memekik nggak terima.
Mereka sedang ada di taman. Biasa mereka kencannya emang di taman kota, sih. Mau ngafe, tapi nggak punya duit. Masih pelajar. Tentu saja Azra ada uang, tapi buat traktir cewek - cewek ini…. Mmmm, kok sayang ya? Emang dia jadi pelit sih setelah nggak ngobrol sama Icha.
“Ya… nggak papa. Udahan aja ayok.”
“Tapi kenapa?!” Hesti tetap menuntut. Ini yang Azra males kalo mutusin. Drama.
“Temenmu tau beberapa mantanku, nggak enak aja sama dia. Lagian… kayaknya kita nggak gitu cocok juga. Mungkin aku bukan cowok yang baik buat kamu. Soalnya aku juga… udah suka sama cewek lain.”
Plak!
“Kamu keterlaluan!”
Teriakan dan tamparan Hesti padanya membuat beberapa pasang mata para pengguna fasilitas umum di sana menoleh tertarik. Bahkan ada yang terang - terangan menyimak. Azra mulai jengah. Dia harus buru - buru pergi dari sini.
“Kamu bisa pulang sendiri, kan?”
“Zra, pertimbangin lagi. Harus banget putus?”
“Makasih udah sama aku beberapa minggu ini. Mumpung masih sore, masih ada angkot. Ati - ati pulangnya.”
“Azra, please.”
“Aku pulang dulu.”
“Azra!”
***
Icha’s Current POV
"Hai. Can I come in?" Sapa Azra di depan pintu.
Icha menyingkir menyilakan dia masuk. Azra membawa baki yang tertutup di tangan kanannya. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, membuat penampilannya terlihat agak santai. Dari bajunya, Icha tau dia langsung ke sini begitu kegiatannya selesai.
Icha juga buru - buru mandi tadi begitu dia mendapat pesan dari Azra yang sedang menuju ke hotelnya. Dia bahkan tidak sempat berdandan dan mengeringkan rambutnya yang setengah basah terkena air. Dia hanya sempat mandi dan mengganti dasternya dengan kaus dan celana kulot yang lebih ‘pantas’ untuk menerima tamu.
Azra langsung masuk begitu dipersilakan. Dia mengikuti Azra menuju sofa double di sebelah ranjangnya yang dilengkapi dengan coffee table. Untung juga tadi dia sempat merapikan kasurnya, sehingga nggak terlihat terlalu acak - acakan. Mereka duduk disana dalam diam, saling menunggu. Canggung luar biasa.
Icha nggak suka keadaan begini, Dia memang pendiam, tapi dia nggak suka kesunyian. Dia menikmati suara - suara yang bisa ditangkap indera pendengarnya. Tapi tidak kali ini, dia terlalu takut untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu. Takut dicuekin. Takut ditolak.
Azra akhirnya mengalah dan menghalau sunyi diantara mereka.
"You look pale. You sure you're feeling better?"
Icha reflek memegangi pipinya, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan Azra. Matanya masih menunduk memandangi jari kakinya. Hatinya tak karuan saat ini. Berdebar kencang, tapi juga gelisah. Begitu banyak perasaan bercampur menjadi satu menuntut jawaban. Tapi dengan tega, Icha menelan semuanya kembali. Belum. Icha masih belum berani.
Sepanjang siang dia merutuki jawabannya yang tanpa berpikir mengiyakan Azra untuk mampir ke kamarnya. Keputusan bodoh yang masih disesalinya sampai sekarang. Icha tidak suka atmosfer canggung seperti ini, dan lebih - lebih ini terjadi dengan Azra. Rasanya seperti tercekik, nggak nyaman!
"Ibu Bapak apa kabar?" Azra mencoba lagi.
"Baik."
"Mas dan adek?"
"Baik juga." Bukan maksud Icha untuk tidak menanggapi. Tapi dia bingung harus memberikan tanggapan yang bagaimana. Jadi dia lebih banyak diam.
“Cha…”
“Hmm?”
Dia kaget saat jemari Azra memegang dagunya dan meluruskan tatapan matanya pada Azra. Azra terlihat tenang, tapi juga... gusar? Tidak sabar? Matanya menyiratkan berbagai macam emosi yang sulit dipahami Icha. Ibu jarinya mengusap dagunya pelan membuatnya sulit berfikir.
“Hai, how are you?”
Hah? Kan tadi udah?
"It's been a long time, Cha. Too long. We'll make time to catch up later, would you?" Ah, ternyata ngomongin yang lain, bukan keadaannya karena sakit kemaren. Mereka saling bertatapan seperti itu selama beberapa saat.
Rasa kagetnya karena jemari Azra yang menangkup dagunya raib. Kini, dia menikmati belaian konstan yang diberikan Azra pada salah satu sisi wajahnya tersebut. Matanya tanpa sadar berubah sayu.
Sebelum Icha sempat mengangguk menjawab pertanyaan Azra, cowok itu sudah lebih dulu memajukan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Icha. Reflek, Icha menjauh karena kaget, tapi Azra menyambungnya lagi, menempelkan bibirnya di bibir Icha.
Itu bukan ciuman yang menggebu - gebu dan penuh gairah seperti yang di film Hollywood, bukan. Hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel. Sebentar, mungkin hanya beberapa detik? Beberapa detik yang membuat semua indera di tubuh Icha jadi luar biasa sensitive. Mereka kemudian saling menjauh diikuti rona merah yang merambati pipi keduanya.
Meski menjauh, Azra masih tidak melepaskan tangannya dari dagu Icha. Membuat Icha seperti terhipnotis karena usapan ibu jarinya. Kenapa dia tidak mengelak, adalah pertanyaan yang bahkan tidak pernah sampai pada otaknya.
"Makan dulu ya." Tangannya yang satunya lagi menangkup tangan Icha, lalu membawanya ke bibir dan mengecupnya.
Icha linglung. Jadi dia hanya diam saja dan membiarkan Azra yang mengambil inisiatif.
Dibukanya tudung saji yang menutupi nampan yang dibawanya tadi. Azra membawa Beef Cordon Bleu di bakinya. Icha mengernyit. Dengan sigap dia memotongnya menjadi potongan kecil, dan menyuapkannya ke Icha.
Eh, kok….
Sungguh. Demi apapun Icha bingung luar biasa. Dia terlambat menyadari sesuatu saking linglungnya. Jantungnya masih berdentam menghantam dadanya, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, dan akhirnya hanya isakan yang keluar dari bibirnya.
Ya, Icha menangis, di depan Azra, setelah 10 tahun berlalu, Icha menangis di depan orang lain lagi.
Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem
Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag
Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it
Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger
Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber