10 tahun yang lalu
Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar.
Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat - sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen! Telpon sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai ponsel yang cuma bisa telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat.
Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua dari empat sahabatnya sudah dating! Icha melambaikan tangan dengan heboh, yang dibalas Hafid santai. Jaja tidak membalasnya, melihat ke arahnya pun tidak! Mungkin Jaja belum melihatnya, matanya kan memang agak - agak rabun, begitu pikir Icha.
Tapi betapa kagetnya Icha saat Jaja hanya lewat begitu saja di depannya, tanpa senyum, tanpa menoleh, apalagi membalas sapaannya. Icha mencoba mencari jawaban dari Hafid, hanya untuk mendapatkan tatapan serupa dirinya di sana. Bingung. Kaget. Bertanya - tanya.
Icha mengekor Jaja ke dalam, menghampiri bangkunya dan duduk di depannya.
"Jaja, Pagi!"
Senyum Icha menghilang, binar matanya meredup kala Jaja lagi - lagi mengacuhkannya dan keluar meninggalkan kelas, seolah Icha tidak berada di sana.
Dan sepanjang hari itu, Icha terus invisible untuk Jaja. Bahkan Jaja menghilang begitu belistirahat berbunyi tanpa menunggu mereka, padahal mereka biasa ke kantin bareng saat istirahat pertama.
Anehnya, hanya pada Icha Jaja seperti itu5t Dia masih tertawa lepas bersama Hafid, masih bercanda dengan Ida dan Nisya. Hanya pada Icha.
Jaja, kenapa? Icha salah apa? Kenapa Jaja cuekin Icha?
***
Icha’s Current POV
Icha terbangun, tersedak nafasnya sendiri karena mimpi buruk yang sering berulang sepuluh tahun terakhir ini. Hari pertama semester ganjil saat dia kelas tiga SMP adalah disaster bagi masa putih birunya. Mimpi buruk! Hari - harinya tak pernah sama lagi sejak saat itu. Dia seperti kehilangan dirinya dan menjadi orang baru sejak saat itu. Orang baru yang sama sekali tidak disukainya.
Icha bahkan sempat di bully terang - terangan oleh anak cheerleader yang mengidolakan Jaja. Sebenarnya kejadian ini sudah lumayan sering, tapi tidak pernah terjadi secara terang - terangan sebelumnya karena Jaja dan teman - temannya yang lain selalu melindunginya. Anehnya dari Ida, Nisya dan Icha yang dengan Jaja, hanya Icha yang mendapat perlakuan tidak enak di sekolah. Berbagai rumor jelek mulai menguar tentang dirinya, membuat dia dikucilkan. Rumor tentang dia dan Jaja, ada yang bilang mereka berantem, ada yang bilang Icha ditolak Jaja, macem - macem. Bahkan ada juga rumor kurang enak tentang Bapak. Walaupun nggak terlalu santer terdengar. Kebetulan Bapak adalah ketua komite wali murid SMP Nusantara. Hanya Ida, Nisya dan Hafid yang masih tetap berada di sampingnya hingga mereka lulus.
Icha trauma. Amat sangat. Trauma pada orang - orang yang terlihat superior. Karena alasan itulah, dia yang sudah mendapat beasiswa di SMA yang sama dengan Nisya, Ida, Hafid dan Jaja, memutuskan untuk mendaftar di SMA yang berbeda agar bisa memulai lembarannya yang baru. SMA yang nyaris nggak ada teman - teman yang berasal dari SMP yang sama dengannya. Dia tidak mengenal siapapun di SMA barunya. Lebih baik begitu, jadi dia bisa memulai lembaran barunya. Susah payah dia meyakinkan Bapak. Untung saja dia juga akhirnya mendapatkan beasiswa di SMAnya, membuat dia tidak begitu merasa bersalah pada Bapak karena sudah menyia - nyiakan tawaran beasiswa sebelumnya. Dia hanya tidak ingin masa SMA nya juga sama mengerikannya dengan tahun terakhir SMP nya.
Dengan nafas masih tersengal, Icha meraih botol minum yang dia taruh di meja nakas di sebelah kirinya sebelum tidur tadi.
Jam 4 pagi. Sebaiknya dia bangun dan sholat subuh saja. Mungkin setelahnya mengerjakan beberapa laporan perjalanan yang harus dia kerjakan selama dia di sini. Dan mungkin, jika badannya sudah lebih enakan, hari ini dia ingin ikut kelas pelatihan lagi. Nggak enak absen lama - lama. Sudah sampai sini.
Icha selesai melakukan rutinitas paginya saat jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Dia memaksakan diri mandi air dingin tadi, niatnya biar seger, tapi malah badannya menjadi agak lemas sekarang, dan kepalanya bertambah pusing setelah dia mengerjakan laporannya. Duh, asam lambung benar - benar tidak bisa diajak kompromi ya. Harus beneran sembuh dulu baru bisa melanjutkan aktivitasnya. Rencananya untuk ikut kelas pelatihan hari ini sepertinya harus ditunda dulu.
Memutuskan untuk berbaring lagi di tempat tidurnya, dia membaca ulang chat Hafid dan sahabat - sahabatnya di group kemaren malam yang belum sempat di balasnya:
Al-Hafid: Cha, pingsan? Jaja barusan telpon katanya lagi nganter lo balik ke hotel
NisyaAhmad: Icha pingsan? Kenapa Cha? Kata Jaja kenapa Fid?
Al-Hafid: Kata Jaja tadi kecapekan sama over stressed. Asam lambung naik
FaridaZein: Jaja masih sama Icha? Udah sampe hotel?
FaridaZein: Yang?! Ih dikacangin gue
NisyaAhmad: Kok bisa, sih?! Aku kepikiran gilak! Kondisi Icha gimana?
FaridaZein: Gue kepikiran yang lain
NisyaAhmad: :v focus Nyak, focus!
FaridaZein: Kenapa Jaja yang nganter? Fokusku masih disitu aja dari tadi
Al-Hafid: Barusan Jaja telpon lagi, Girls. Icha udah sampe hotel dengan selamat. Uda diperiksa dokter juga. Tadi gue minta Jaja nungguin sampe Icha siuman, tapi dia harus balik katanya
FaridaZein: Alibi teros!!
Al-Hafid: Udah, yang penting Icha nya gak kenapa-napa
Setelah panggilan dengan Nisya terputus, baru dia tau ada puluhan missed call dari sahabat - sahabatnya dan bahkan dari Ibu, tiga di antaranya. Dia sempat berpesan pada Nisya yang masih sekota dengannya untuk tidak melapor apapun, apapun tentang keadaannya, kepada Bapak dan Ibu. Nggak lucu aja panic, tapi jauh. Percuma. Nggak bisa ngapa - ngapain. Cuma jadi beban pikiran aja nanti.
Jadi... Azra tau kalau dia tinggal di hotel ini selama di Bangkok. Dia juga yang mengirim room service tempo hari. Dia mengantarkan Icha yang pingsan kembali ke hotel setelah pemeriksaan dokter. Susunan Puzzle mulai tertata rapi di kepala Icha. Pertanyaaan Icha tetap sama. Kenapa, Ja? Kenapa ke Icha?
Ketukan di pintu menariknya kembali dari lamunannya.
"Room service!"
Lagi?
***
Azra’s 10 Tahun Yang Lalu
Sepanjang liburan semester genap dia sibuk. Ya sibuk belajar, sibuk packing karena Mamanya akan pindahan, kembali ke Jakarta, dan sibuk menyusun strategi baru untuk membuat Icha peka pada perasaannya. Kata Hafid, yang penting peka dulu.
Tapi sebenernya Azra khawatir. Setelah Icha jadi peka terus gimana? Iya kalo perasaannya berbalas kayak Hafid ke Ida. Kalo mentok di friendzone gimana?
Icha beberapa kali datang ke rumah untuk bantu Mama packing. Seperti hari ini, dia bantuin Mama dan Azizah, adiknya, mengosongkan kamar Mama. Sebagian besar barang - barangnya memang akan di pindahkan ke Jakarta. Karena rumah lamanya juga sudah selesai di renovasi. Dulu mereka memboyong isi rumah ke Jogja karena di rumah lama kosong dan Mama ingin merenovasinya. Niatnya biar nanti pas Papa pulang ke rumah, keadaan rumah lebih kondusif untuk Papa. Tapi takdir berkata lain. Papa belum sempat pulang ke rumah itu lagi, Papa langsung pulang ke rumahnya yang abadi.
“Tadi Icha dianter siapa? Mas Eka?” Didengarnya Mama bertanya.
“Sama Mas Eka, Ma. Sekalian mau main sama temennya katanya.”
Di antara teman - temannya, Mama memang lebih dekat dengan Icha. Mungkin karena Azra juga lebih dekat sama Icha? Kalau ada Icha di rumah, Mama pasti nggak waro dia. Auto invisible Azranya. Kesel? Dikit sih, malah lebih ke seneng gitu. Dia jadi bayangin masa depan.
Ini Azra, umur 16 tahun, belum pernah pacaran, naksir berat sama temen deketnya dan bayanginnya udah masa depan bersama.
“Nanti di jemput lagi?”
“Kalo nggak dijemput Jaja aja yang anter, Ma.” Sahutnya lantang.
Waktunya berdua dengan Icha ya hanya seperti itu. Tapi itu yang membuatnya jadi special. Jarang - jarang dan singkat. Bikin nagih.
Saat Icha nggak ke rumahnya, mereka hanya bertukar SMS atau conference call bersama yang lain. Tapi jangan dibayangkan isi SMS nya akan romantic. Karena Jaja tetap Jaja dan Icha tetap Icha. Yang satu konyol dan yang satu ngambekan. Azra pernah mencoba menelpon Icha, hanya Icha saja, sekali selama liburan, tapi malah berakhir dimarahi karena dikira iseng.
Kebayang kan, bagaimana putus asanya Azra pada Icha sampai harus membuat strategi baru?
Tapi semuanya runtuh di malam terakhir liburannya. Karena satu SMS yang datang dari nomor tak dikenal.
Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem
Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag
Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it
Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger
Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber