Share

Seven - Why Me?

"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.

Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku.

"Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali.

"Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini.

"Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."

Aduh, klise sekali bukan. Padahal aku sudah di sini nyaris tiga tahun dan mereka tidak pernah mengkhawatirkanku seberlebihan ini. Kenapa sekarang mendadak khawatir, sampai harus menikah segala?!

"Mama tau saat ini pasti Rara bingung, banyak sekaki pertanyaan, tapi pelan - pelan nanti kamu akan mendapatkan jawabannya. Mama minta maaf karena membuat Rara gusar dan marah seperti ini. Tapi Mama juga berharap dengan tulus agar Rara bisa bahagia."

Mana bisa bahagia dengan orang yang belum pernah ditemui?! Ngobrolnya nyambung aja nggak!

"Aah!" Aku memekik saat seseorang menarik rambutku kencang.

"Asian! Retourne-toi à ta place! Jangan menjajah tanah kami!!"

Bau alkohol menguar dari mulutnya. Ugh, berurusan dengan orang mabuk yang rasis benar - benar... aku tak ada waktu sekarang!

"Rara? Rara! Rara kenapa?!"

Sial! Aku lupa kalau ponselku masih terhubung dengan Mama di Indonesia. Segera aku mematikan sambungan, mengembalikan ponselku ke saku mantel dan mulai melawan saat salah satu dari mereka mencoba menarik lenganku. Aku menendang perut mereka dan segera berlari menjauh.

Hah! Tidak tahu saja dia kalau aku adalah mantan atlit sprint saat aku sekolah dulu. Awalnya mereka mencoba untuk mengejar, tapi aku yang gesit sudah meninggalkan mereka terlalu jauh di belakang.

"Huh, kalau ingin mabuk, just do it at your own place!" Geramku marah. Rumah Madam Fatima sudah terlihat. Aku memelankan langkah sambil mengatur kembali nafasku yang kini susul menyusul.

Aku mengucap salam pelan saat masuk ke rumah. Kebiasaan. Walaupun aku tahu jam segini, Madam Fatima tak mungkin ada di luar kamar. Setelah menutup pintu, aku berjalan ke tangga untuk naik ke kamarku sendiri. Tak perlu memelankan langkah karena sepertinya Gee sedang berpesta di kamarnya.

Benar saja, ada yang baru saja keluar dari kamar mandi kami. Eww dan dia cowok. Yang bukan siapa - siapa kami! Kamar mandi bagiku adalah tempat yang private. i dont share with the unknown! Dan barusan itu apa?!

"Ouch!"

"Excuse-moi."

Karena terlalu fokus ingin menghindar, kami malah berakhir saling bertabrakan. Aku terpental mundur dan dia terdorong hingga menutupi pintu kamarku.

Dan bukannya meminta maaf sama seperti yang aku lakukan, dia malah hanya diam di sana seperti korban kesurupan.

"Excuse-moi, ce la ma chambre." Kataku, mebcoba membuatnya beranjak dari pintu kamarku. Tapi sepertinya dia tidak mengerti bahasa Prancis karen bukannya beranjak seperti yang kuinginkan dia malah tetap berada di situ samvil terbengong.

Dia kenapa, sih?!

Aku sudah akan menegurnya lagi saat pintu di sebelahku terbuka. Suara tawa dan musik yang keras langsung menyapa tedua telingaku.

"Gee, please. Temanmu menghalangiku masuk ke kamarku."

"Hey Ron,, get yourself together!" Katanya sambil menepuk bahu cowok itu pelan. Hanya tepukan oelan, tapi mampu membuatnya tergagap seperti habis diguyur dengan air es.

"Oh.. oh! Sorry! Here's your room " Katanya buru - buru menggeser badannya. "Oh by the way, I'm Ronald."

Gee tertawa geli melihat tingkah temannya, sementara aku sendiri hanya mengangkat alis. Dia sedang salah tingkah?

"Sorry, Bro. She's taken. Shes getting married in... two weeks?"

"Ten days." Kayaku mengoreksi. "Jadi, permisi, aku mau masuk kamar untuk beristirahat. Its getting late." Aku langsung meminta diri.

Wajah teman Gee mendadak jadi pucat, dan dia juga langsung buru - buru masuk ke dalam kamar Gee tanpa mengatakan apapun lagi. Lalu sebelum Gee sempat menutup pintu kamarnya, aku sempat berbalik dan mengatakan hal ini padanya.

"Hei Gee," Dia menoleh sekenanya. "Kecilkan suara musikmu. Madam Fatima sedang beristirahat di bawah. Bonnuit." Aku kangsung menutup pintu kamarku setelah berkata begitu.

***

Gara - gara Gee dan teman - temannya, aku jadi malas ke kamar mandi. Aku tidak mencuci wajahku karena malas berpapasan dengan mereka. Bukan malas yang bagaimana, aku sungkan. Mereka bau alkohol, dan kalau kalian lupa, baru saja aku mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan dengan para penenggak alkoho. Jadi aku belum ingin mengulanginya lagi.

Aku sudah berganti baju dengan baju tidur dan sedang menyiapkan tempat tidur saat ponselku kembali berdering. Astaga... Mama?

"Ya Mama?"

"Barusan tadi kamu kenapa, Rara?"

Aku menepuk dahiku pelan. Aku lupa. Mama ada di sambungan teleponku saat kejadian tadi berlangsung. Dan menilik sifat Mama, beliau tak akan melepaskan ini dengan mudah. Ya Tuhan... help me!

"Nggak papa, Ma. Cuma nggak sengaja ketemu orang iseng."

"Kamu diapain, Nak? Nggak kenapa - kenapa, kan?" Mama langsung bertanya dengan nada histeris.

"Easy, Mama. Rara kan gadis kuat. Yang seperti itu sih, kecil." Alu menjawab santai, berusaha mengecilkan keadaan. Walaupun tadi saat kejadian tersebut berlangsung, aku juga sempat ketakutan. Tapi kan sudah berlalu.

"Ini lah alasannya, Ra."

Huh? Mendadak Mama memberiku alasan? Alasan apa?

"Ini alasannya kami menerima lamaran untukmu. Karena Mama sama Papa khawatir sama kamu di sana."

"Iya, tadi Mama sudah bilang, kan. Tapi kenapa Mama khawatirnya baru sekarang? Tiga tahun ini berarti Mama nggak khawatir sama Rara?"

Aku tak kuasa lagi membendung nada sinis yang tersirat dalam suaraku. Aku sudah di sini selama tiga tahun, dan tepat saat aku akan memutuskan untuk pulang, mereka baru memberiku penjaga. Bukan maksudku aku ingin menikah lebih cepat, hanya saja... kemana saja mereka selama dua tahun ini?!

"Selama ini kami memantaumu lewat dua sahabatmu."

"Ai dan Ali?"

"Ya."

"Mama kok bisa tahu mereka?" Dari mana Mama tau mereka? Yang paling penting, bagaimana Mama tahu cara mengontak mereka?

"Rasyid yang mengusahakannya untuk Mama. Mereka selama ini melaporkan apa yang kamu lakukan kepada Mama dan Papa." Mama menyebut nama adik laki - lakiku.

Wah, aku sama sekali tak menyangka kalau kedua temanku ternyata menjadi double agent begini. Karena aku kenal mereka luar dalam. Mereka tak akan mau melakukan sesuatu begitu saja tanpa imbalan. Aku jadi penasaran, apa yang dijanjikan atau diberikan Mama pada mereka sehingga mereka mau menjadi Mata - mata orang tuaku.

Dan lagi, kalau mereka berdua cukup, untuk apa aku menikah?!

"Ali sedang mempertimbangkan untuk bekerja di US, dan Ai bilang akan pulang setelah Thesisnya selesai. Mama tau, Rara bilang sama Papa kalau internship mu mungkin tak lolos, tapi Mama juga tahu kalau anak Mama nggak akan mungkin menyerah semudah itu. Jadi bukan Mama dan Papa nggak percaya kamu akan pulang begitu pendidikanmu selesai, tapi Mama dan Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu sehingga kejadia seperti ini atau mungkin lebih parah nggak akan terulang lagi." Jelas Mama panjang lebar.

Tapi aku tetap tak puas. "Kenapa baru sekarang?"

"Jadi seharusnya Mama menerima lamaran ini dua tahun lalu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status