Share

Ten - The Wedding Day

"Ai, ini …."

"Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"

Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi.

"Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.

See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu.

"They won't like it if they heard you." Aku meringis.

"Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik.

"Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.

Aku tidak mau uji nyali membuat wanita ini grogi sekarang ini saat menata rambutku. Aku tidak ingin gunting itu salah sasaran dan malah menggunting telingaku nanti.

"Sayang sekali! Oh, rambutmu bagus sekali, apa kau ingin membiarkannya tergerai atau digelung?"

***

"Sah, Kak! Ciyee selamat, ya, pengantin baru!"

Entah kebetulan atau memang ada yang mengatur waktunya sedemikian rupa, tepat setelah aku berganti baju dan menyelesaikan make over ku, Rasyid menelepon. Kali ini dia menelepon dengan menggunakan mode panggilan video. Dia berseru dengan senyum lebar di seberang sana sambil berkeliling antara Mama dan kerabat yang lain. Dua juga menunjukkan suasana ruang akad yang barusan dipakai.

Entahlah, aku tak tahu bagaimana perasaanku tentang hal ini. Semuanya masih terasa sureal. Namun, karena sudah sejauh ini, mendadak aku merasa kesal pada Rasyid karena melupakan hal yang penting. 

Bukannya melakukan hal yang penting itu, Rasyid terus saja berkeliling ke banyak kerabat meminta mereka untuk menyapaku. Aku tidak punya pilihan selain memasang senyum dan membalas sapaan mereka. Tak lupa, sambil beramah-tamah. 

Ponsel kemudian diambil alih Eyang yang sudah menangis histeris di sana.

"Rara, cucu perempuanku sayang," panggilnya diiringi dengan sedu sedan. Eyang menyeka air mata dari sudut matanya dengan tisu di tangannya. Sebelum aku bisa menjawab sapaan Eyang, wanita yang melahirkan Papa itu sudah melanjutkan, membuatku  kembali mengatupkan mulut. "Selamat ya, Raraku yang cantik. Sekarang Rara sudah punya suami, sudah harus belajar menjadi pendamping yang baik. Eyang berdoa semoga pernikahan Rara langgeng, ya sampai maut memisahkan."

Lalu, Eyang menatapku. Mengharap jawaban dariku atas ucapannya. Apa? Aku harus menjawab bagaimana saat ini? Kepalaku kosong! Hanya gaung pertanyaan kenapa yang sejak beberapa saat lalu tak ada jawabannya yang kutemukan di sana.

"Ra?"

"Eh, iya, Yang," gagapku panik. "Makasih, Yang, doanya."

Namun, jawabanku itu tidak begitu didengar oleh Eyang, karena beliau sedang terpecah kehadirannya oleh orang lain. Aku penasaran siapa. Suaranya asing di telingaku, bukan suara yang sering kudengar saat kumpul keluarga atau dari kalangan teman-temanku. Siapa? Memangnya ada tamu undangan lain? Bukannya yang datang di acara akad kali ini hanya keluarga dan tetangga dekat saja?

Eyang mengangguk-angguk sambil tersenyum dan menunjuk padaku di dalam layar. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena suara yang kutangkap kurang jelas. Lalu, terdengar suara tawa sebelum seseorang muncul sekilas di sana. Kemunculan sekilas yang bahkan tidak tampak muka tapi bisa membuat dadaku berdesir. 

Apa-apaan? Siapa barusan?

Seolah menjawab pertanyaan yang tidak terucap itu, wajah Rasyid muncul dengan senyum terkembang lebar di layar. 

"Kakak nggak penasaran sama suami Kakak? Aku jamin kakak nggak akan kecewa, sih. Dia ini tipe Kakak banget, pokoknya!" seru Rasyid meyakinkanku.

"Sok tau, kamu! Emang kamu tau apa soal tipe cowokku?" Aku mencibir.

"Dibilangin, kok. Oh iya, bentar. Kakak pose dulu yang bagus, mau aku screenshot. Tumben kakak dandan gini. Kok pas banget dandan pas acara akad begini, sih."

Aku menurut, tersenyum sambil menempelkan tangan di pipi, bergaya sok imut. Jarang-jarang Rasyid memujiku. Biasanya kami saling olok dan sing berdebat. Bukan karena kita tidak akur, malah sebaliknya. Saking akurnya, hal-hal seperti ini sampai rasanya cheesy sekali untuk diucapkan. 

"Udah, belum? Awas kalo nggak cantik!" ancamku.

"Idih, pede! Yang bilang Kakak cantik siapa!" Aku cemberut pada Rasyid. Reseh sekali anak itu. Coba dekat, pasti sudah kukejar dan kupukul dia biar tahu rasa! Lalu, dia melanjutkan, "Eh, tapi ada yang bilang kakak cantik, sih hari ini. Tuh, orangnya." 

Rasyid mengarahkan kamera ponselnya pada seorang pria yang memunggungi kamera. Pria itu sedang bersama Papa. Tampak serius membicarakan sesuatu. Dari punggungnya, dia memakai jas hitam, sama seperti pria yang tadi dibilang Rasyid adalah suamiku. Tapi apa iya? Aku tidak yakin karena hari ini banyak yang memakai has hitam. Di antaranya Papa dan beberapa Om yang hadir. Bahkan tadi aku sekilas melihat Mas Jo di sana. Memakai jas hitam juga. Pria itu, seperti biasanya, tampak matang, berwibawa dan kharismatik. 

Atau jangan-jangan suamiku ini Mas Jo?

Aku menggeleng, mengenyahkan pikiran menyenangkan itu. Kenapa dienyahkan, karena jika kenyataannya tidak seperti itu, rasanya akan menyakitkan.

"Siapa dia, Ras?" Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.

"Siapa lagi? Ya, suami Kakaklah!"

Dan tepat saat itu, si pemilik punggung berbalik, membuatku bisa melihat wajahnya meskipun sekilas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Khus Na
akhirnya... setelah lma ditunggu2...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status