Share

Eight - I Know What You Did Behind My Back

Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.

Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.

Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri.

"Hai, I'm sorry. Can i borrow her for a while? Hahaha Merci."

"Kay?" Hah! Aku sudah tau kedokmu wahai nona muda, tak usah lagi kau berlagak kaget saat melihatku! Aku terus menyeretnya ke arah taman biasanya kita mengobrol. Agak jauh di depan, tapi tak apa. Aku tahu dia tak memiliki kelas lain selain menemui dosen pembinginh untuk keperluan tugas akhir.

"What?" Tanyanya saat aku tak bertanya apa - apa dan hanya bersidekap dengan mata memicing di depannya.

"Spill it." Kataku datar.

Dia menelengkan kepalanya. Mungkin dia benar bingung karena aku begini tiba - tiba tanpa pembukaan yang jelas.

"You spying me!" Semburku akhirnya dengan nada kesal yang tak dibuat - buat. Dia memata - mataiku untuk Mama dan bisa - bisanya dia datang padaku dengan wajah tak terima dan terkhianati saat aku bilang padanya aku akan menikah?!

Hah! Kemampuan aktingnya yang sungguh luar biasa!

Ai berkedip beberapa kali sebelum matanya menjadi sayu. Aku mundur saat dia mencoba mendekat padaku. "Kay..."

"Don't! You acted so good sampai - sampai aku merasa benar - benar bersalah saat tak menceritakan apapun padamu. Bahkan tentang rencana pernikahanku yang pasti kau sudah amat tau detailnya!" Air mataku tak tarasa mengalir di kedua pipiku. Rasanya sakit sekali.

Mungkin jika Ai bukan orang terdekatku, aku tak akan merasa begini. Tapi dia sudah kuanggap sebagai saudariku sendiri. Kepadanyalah aku bercerita tentang segala hal yang tak mampu kuceritakan pada Mama dan Rasyid. Dan ternyata dia memata - mataiku! Dia menceritakan segalanya yang dia dengar dan lihat tentangku pada Mama.

Bukan aku tak ingin Mama tahu tentang apapun yang aku lakukan di sini. Hanya saja, aku juga seorang gadis yang beranjak dewasa yang sedang mencari jati diri. tentu saja ada hal- hal yang aku lakukan hanya karena rasa spontanitas dan karena rasa ingin tahuku lebih besar daripada rasa tanggung jawabku. Seperti saat aku setuju untuk van camping ke perbatasan Mediteranea yang mana itu hanya terdiri dari satu camp saja dan tentu saja antara laki - laki dan perempuan tak ada tempat khusus, semua campur adukmenjadi satu.

Bersyukur tak ada yang terjadi saat itu. Tapi aku menyadari bahwa itu sesuatu yang kurang bertanggung jawab setelah lewat beberapa saat. Semua teman - temanku mabuk. Bahkan Ali pun ikut mencicip sedikit dari apa yang mereka bawa sebagai 'bekal'. Mereka menawari dan membujukku, berkata bahwa tak apa untuk mencoba sesekali. Tapi untungnya, aku masih bisa menolak.

Jika Mama mengetahui hal itu, aku tak bisa membayangkan sehancur apa hatinya...

"Apa yang kalian dapatkan sebagai gantinya?"

"Kay, bukan begitu...."

"Jawab saja! Aku sudah tau semuanya! Jangan mengelak lagi!"

Ai berjengit kaget mendengarku berteriak kencang begitu. Ini adalah pertama kalinya. Bahkan saat berdebat dengan orang asing yang meragukan identitas kami, aku selalu menjawabinya dengan tenang dan dengan alasan yang logis.

"Hei, Less filles, ca va? All good, girls?" Ali yang baru datang bergabung dengan kami. Dia memperhatikan ekspresiku dan Ai berganti - ganti. Lalu bertanya lagi. "Kalian bertengkar? Kenapa?"

Aku dan Ai nyaris tak pernah bertengkar. Saat aku emosi, Ai menenangkanku. Begitupun sebaliknya. Saat aku diganggu, Ai melindungiku. Sebaliknya, aku pun akan melindunginya saat dia diganggu. Kami bahkan tak pernah berselisih pendapat. Jadi pemandangan ini memang benar - benar baru.

Ali sedikit tersentak saat aku berpaling padanya dengan mata masih menyala marah. " Kau juga. Apa hal ini akan kalian adukan juga pada Mamaku?! Bahwa anaknya hari ini marah - marah tanpa alasan yang jelas di kampus pada dua sahabat baiknya?!"

"Ap..."

"Ali, she knew." Ai berbisik sambil menarik lengan Ali. Membuat langkah Ali yang hendak menghampiriku langsung terhenti. "Kay, would you please listen to us for a second?"

"You betrayed me." Aku tak tahu apa yang kulakukan saat ini. Yang kurasakan hanya kecewa dan marah karena merasa telah dikhianati oleh orang - orang paling aku percaya selama ini di sini.

Aku berjongkok, memeluk kedua lututku dan tersedu keras. Mungkin orang lain mengira aku terlalu mendramatisir keadaan. Tapi untukku, rasanya seakan tercampur aduk tak karuan. Dalam hitungan kurang dari seratus jam lagi, aku akan menikah dengan orang yang tak kutahu siapa, dengan alasan orang tuaku ingin agar ada yang menjagaku di sini, dan mereka tahu di sini aku tak baik - baik saja dari kedua sahabatku sendiri yang paling aku percayai di seantero Perancis.

"Kay, ini bukan seperti yang kamu bayangkan." Aku merasakan Ai mendekat dan memeluk bahuku. Mengelusnya pelan untuk menenangkanku. "Ya kami kadang menerima telepon dari Mamamu yang menanyakan tentang keadaanmu di sini, tapi kami tak lantas menceritakan semua yang terjadi padamu. Kami akan menyalahgunakan kepercayanmu jika seperti itu. Dan kami sama sekali tak tahu bahwa akhirnya mereka akan begini. Kami tak tahu apa pun tentang perjodohan dan pernikahanmu. Aku masih Ai mu. Percayalah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status