Share

05. Rapat dadakan

     Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.

“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur.

     Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.

“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga.

     Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex.

     Crekkk.

“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya.

     Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.

“Mama,” panggil Aga.

“Sudah bangun, Ga.”

“Iya, Ma. Mama masak apa?” tanya Aga berjalan mendekati Mama Lud.

“Ini mama masak makanan kesukaanmu. Bakso.”

“Terima kasih ya, Ma.”

“Sama-sama, Ga. Kamu terlihat kurus sekali. Apa makanmu kurang? Bagaimana kehidupanmu di luar? Kamu baik-baik saja?”

“Ma, Aga baik-baik saja. Tidak nyaman dilihat pelayan.” Aga melihat pelayan yang membantu Mama Lud memasak tersenyum padanya.

“Iya. Mandi dahulu. Mama selesaikan masaknya.”

“Iya, Ma. Papa belum bangun?”

“Papa pergi sama kakek main golf.”

“O iya sudah.”

     Aga berjalan kembali ke kamarnya untuk mandi. Kamarnya didesain dengan kamar mandi di dalam sehingga setiap kamar memiliki kamar mandi. Termasuk kamar tamu yang terdapat di dalamnya.

     Aga menyelesaikan membersihkan dirinya. Dia ke luar dari kamar mandi dengan balutan handuk yang menutupi tubuhnya. Dia berjalan ke walk in closet yang menyediakan pakaian dengan segala model dan warna. Terdapat lemari untuk menempatkan dasi dan jam tangannya. Koleksinya bukanlah harga yang biasanya saja. Terdapat satu jam tangan dengan harga yang fantastis.

     Crekkk.

     Crekkk.

“Kakak, mau ke mana?” tanya Alex yang juga ke luar dari kamar.

“Mau sarapan dan setelah itu tidak tahu papa mau mengajak ke mana.”

“Luangkan waktu untuk makan denganku, Kak.”

“Iya, adikku.” Aga mengacak rambut Alex dan berlari kecil untuk menghindari pukulannya.

“Kakak,” teriak Alex.

“Coba tangkap Kakak.”

“Awas saja.” Alex mengatakannya dengan tersenyum.

     Aga berjalan perlahan karena berpapasan dengan dua pelayan yang membawa barang.

“Tunggu saja, Kak,” teriak Alex.

“Alex, ada apa teriak-teriak? Tidak sopan, Nak,” tegur Mama Lud.

“Itu, Ma. Kakak.”

“Sudah, Alex. Kamu ini sudah dewasa jangan seperti anak kecil lagi,” kata Mama Lud tegas.

“Iya, Ma.”

“Tidak boleh lari-lari. Ada Kakek di ruang makan.”

“Iya, Ma.”

     Mereka menikmati sarapan yang dimasak oleh Mama Lud denagn dibantu pelayan untuk membersihkan sayuran dan lauk. Masing-masing dari mereka menikmati makanan di piring tanpa ada suara sedikit pun termasuk Alex, Aga melihatnya begitu. Inilah yang membuatnya bosan di rumah.

     Aga melihat Kakek Aga menyelesaikan sarapannya lebih dahulu disusul dengan Papa As, Mama Lud, Alex, dan terakhir Aga.

“Pa, Ma, berangkat dahulu. Kakak berangkat.”

“Iya,” jawab Papa singkat.

“Hati-hati ya, Lex.”

“Iya, Kak. Ma, aku pulang sedikit terlambat.”

     Aga melihat Papa As melirik Alex dengan pertanyaan.

“Tenang saja, Pa. Alex mau les piano. Gurunya bisanya sore,” kata Alex yang menyadari dilihat oleh Papa As.

“Lain kali kalau begitu makan berduanya.”

“Iya, Kak. Aku sudah terlambat.”

     Aga membawa piring membantu Mama lud.

“Sudah, Ga. Berikan pada pelayan yang akan mengerjakannya.”

“Iya, Ma.”

“Mana pelayan tadi?”

“Saya, Nyonya.”

“Ini Aga. Anak laki-laki dan anak pertama. Dia memiliki alergi udang. Jika masak dengan udang ingatkan saja untuk tidak memberikan padanya.”

“Iya, Nyonya.”

“Ma, tenang saja. Aku akan menyingkirkannya jika ada. Mama tidak perlu cemas.”

“Ga,” panggil Papa As.

“Iya, Pa.”

“Ma. Aku pergi dahulu.”

     Aga berjalan mengikuti Papa As. Dia berjalan di samping beliau.

“Kita mau ke mana, Pa?” tanya Aga padahal dia sudah tahu mau ke mana.

“Kita pakai satu mobil saja. Mobilmu belum datang dari dealer.”

“Iya, Pa.”

“Silakan, Mas Aga.” Cakra membukakan pintu mobil untuk Aga.

     Sepanjang perjalan dari rumah dan sekitar sepuluh menit lagi sampai kantor. Mereka berdua hanya diam dan memainkan ponsel masing-masing.

“Berikan nomor ponselmu,” pinta Papa As yang menyadari ponsel Aga baru.

     Aga melihat Cakra melihat dari spion depan.

“Masih nomor yang lama kok, Pa.”

     Sampai di kantor, Aga ke luar dari mobil tanpa harus dibukakan pintu. Dia juga hanya mengikuti berjalan di samping Papa As. Karyawan-karyawan yang berpapasan menyapa Papa As karena direktur utama. Mereka berbisik tentang Aga yang tidak pernah mereka lihat.

     Direksi-direksi yang berada di pihak Papa As berjalan mengikuti. Ternyata, Papa As mengadakan rapat dadakan atau malah rapat ini meminta Aga untuk pulang.

     Aga duduk di samping Papa As yang bersebrangan dengan Mos.

“Ga, bantu Papa. Perusahan sedang terombang-ambing,” bisik Papa As berbisik.

     Aga melihat mata Papa As dengan tatapan yang hangat.

“Iya. Aku bantu sebisaku.”

     Aga melihat tatapan Paman Bimo dan Mos mengarah padanya. Tatapan seolah mau menerkamnya seperti harimau yang mencari mangsa untuk dimakan karena kelaparan.

“Bagaimana ini penjualan menurun, permintaan wine sedikit. Bagaimana ini?” tanya Papa As dengan wajah yang memerah menahan marahnya.

“Maaf, Om. Saya mau memberitahu. Ada rasa wine yang baru. Semoga saja bisa membantu meningkatkan penjualan.”

“Mos, saya lagi menanyakan mengapa penjualan menurun,” kata Papa As meninggikan suaranya.

“As, makanya Mos memberitahu,” kata Paman Bimo juga meninggikan suara seolah tidak terimanya anaknya dimarahi.

     Aga hanya melihat mereka dengan perbedaan pendapat dan keegosian. Mereka ribut dengan pendapatnya masing-masing yang belum tentu bisa diterima.

“Diam,” teriak Papa As.

     Mereka diam dan melihat Papa As dengan tatapan marahnya yang berapi-api.

“Aga, katakan pendapatmu,” pinta Papa As.

     Semua pasang mata yang ada di ruang rapat melihat Aga sedangkan yang ditatap bingung. Padahal dia hanya ingin duduk manis di ruang rapat.

“Aku?”

“Iya, kamu. Tidak ada nama Aga lain di ruang ini,” kata Papa As.

“Bukankah rasa wine yang baru menimbulkan keributan? Jika begitu pasti ada masalah yang terjadi. Seekor kucing pasti berteriak jika diinjak, sama halnya dengan rasa wine yang baru ini. Tidak mungkin ada keributan, jika tidak ada keibutan yang terjadi.”

“Apa maksud dengan perkataanmu?” tanya Mos denagn meninggikan suara.

“Benar perkataanku. Aku hanya mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi,” kata Aga membela diri.

“Kamu tidak bisa mengatakan semaumu, Ga.”

“Alangkah baiknya untuk ditunda peresmian atau peluncurannya.”

“Aga,” teriak Mos yang dilihat semua pasang mata di ruang rapat.

“Aga Brawijaya, kamu tidak tahu apa-apa di sini. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku kerjakan bersama timku. Kamu mau apa dengan mengatakan ditunda? Aku tahu kita sama-sama cucu Kakek Aga, tetapi kamu tidak bisa mengatakan semaumu,” kata Mos dengan tatapan yang mematikan.

     Aga melihat Mos dengan tatapannya yang lembut.

“Kamu baru anak kemarin sore dan kamu juga baru masuk beberapa jam yang lalu. Belum ada lima jam, kamu berada di sini. Kamu jangan gagalkan rencanaku dengan tim. Kamu juga menunjukkan kinerjamu. Kamu bisa apa? Kamu hanya bisa melakukan pekerjaan dengan bantuan dari Om As.

     Aga hanya terdiam dan membuat Mos kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status