Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.
“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur.
Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.
“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga.
Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex.
Crekkk.
“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya.
Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.
“Mama,” panggil Aga.
“Sudah bangun, Ga.”“Iya, Ma. Mama masak apa?” tanya Aga berjalan mendekati Mama Lud.“Ini mama masak makanan kesukaanmu. Bakso.”“Terima kasih ya, Ma.”“Sama-sama, Ga. Kamu terlihat kurus sekali. Apa makanmu kurang? Bagaimana kehidupanmu di luar? Kamu baik-baik saja?”“Ma, Aga baik-baik saja. Tidak nyaman dilihat pelayan.” Aga melihat pelayan yang membantu Mama Lud memasak tersenyum padanya.“Iya. Mandi dahulu. Mama selesaikan masaknya.”“Iya, Ma. Papa belum bangun?”“Papa pergi sama kakek main golf.”“O iya sudah.”Aga berjalan kembali ke kamarnya untuk mandi. Kamarnya didesain dengan kamar mandi di dalam sehingga setiap kamar memiliki kamar mandi. Termasuk kamar tamu yang terdapat di dalamnya.
Aga menyelesaikan membersihkan dirinya. Dia ke luar dari kamar mandi dengan balutan handuk yang menutupi tubuhnya. Dia berjalan ke walk in closet yang menyediakan pakaian dengan segala model dan warna. Terdapat lemari untuk menempatkan dasi dan jam tangannya. Koleksinya bukanlah harga yang biasanya saja. Terdapat satu jam tangan dengan harga yang fantastis.
Crekkk.
Crekkk.
“Kakak, mau ke mana?” tanya Alex yang juga ke luar dari kamar.
“Mau sarapan dan setelah itu tidak tahu papa mau mengajak ke mana.”“Luangkan waktu untuk makan denganku, Kak.”“Iya, adikku.” Aga mengacak rambut Alex dan berlari kecil untuk menghindari pukulannya.“Kakak,” teriak Alex.“Coba tangkap Kakak.”“Awas saja.” Alex mengatakannya dengan tersenyum.Aga berjalan perlahan karena berpapasan dengan dua pelayan yang membawa barang.
“Tunggu saja, Kak,” teriak Alex.
“Alex, ada apa teriak-teriak? Tidak sopan, Nak,” tegur Mama Lud.“Itu, Ma. Kakak.”“Sudah, Alex. Kamu ini sudah dewasa jangan seperti anak kecil lagi,” kata Mama Lud tegas.“Iya, Ma.”“Tidak boleh lari-lari. Ada Kakek di ruang makan.”“Iya, Ma.”Mereka menikmati sarapan yang dimasak oleh Mama Lud denagn dibantu pelayan untuk membersihkan sayuran dan lauk. Masing-masing dari mereka menikmati makanan di piring tanpa ada suara sedikit pun termasuk Alex, Aga melihatnya begitu. Inilah yang membuatnya bosan di rumah.
Aga melihat Kakek Aga menyelesaikan sarapannya lebih dahulu disusul dengan Papa As, Mama Lud, Alex, dan terakhir Aga.
“Pa, Ma, berangkat dahulu. Kakak berangkat.”
“Iya,” jawab Papa singkat.“Hati-hati ya, Lex.”“Iya, Kak. Ma, aku pulang sedikit terlambat.”Aga melihat Papa As melirik Alex dengan pertanyaan.
“Tenang saja, Pa. Alex mau les piano. Gurunya bisanya sore,” kata Alex yang menyadari dilihat oleh Papa As.
“Lain kali kalau begitu makan berduanya.”“Iya, Kak. Aku sudah terlambat.”Aga membawa piring membantu Mama lud.
“Sudah, Ga. Berikan pada pelayan yang akan mengerjakannya.”
“Iya, Ma.”“Mana pelayan tadi?”“Saya, Nyonya.”“Ini Aga. Anak laki-laki dan anak pertama. Dia memiliki alergi udang. Jika masak dengan udang ingatkan saja untuk tidak memberikan padanya.”“Iya, Nyonya.”“Ma, tenang saja. Aku akan menyingkirkannya jika ada. Mama tidak perlu cemas.”“Ga,” panggil Papa As.“Iya, Pa.”“Ma. Aku pergi dahulu.”Aga berjalan mengikuti Papa As. Dia berjalan di samping beliau.
“Kita mau ke mana, Pa?” tanya Aga padahal dia sudah tahu mau ke mana.
“Kita pakai satu mobil saja. Mobilmu belum datang dari dealer.”“Iya, Pa.”“Silakan, Mas Aga.” Cakra membukakan pintu mobil untuk Aga.Sepanjang perjalan dari rumah dan sekitar sepuluh menit lagi sampai kantor. Mereka berdua hanya diam dan memainkan ponsel masing-masing.
“Berikan nomor ponselmu,” pinta Papa As yang menyadari ponsel Aga baru.
Aga melihat Cakra melihat dari spion depan.
“Masih nomor yang lama kok, Pa.”
Sampai di kantor, Aga ke luar dari mobil tanpa harus dibukakan pintu. Dia juga hanya mengikuti berjalan di samping Papa As. Karyawan-karyawan yang berpapasan menyapa Papa As karena direktur utama. Mereka berbisik tentang Aga yang tidak pernah mereka lihat.
Direksi-direksi yang berada di pihak Papa As berjalan mengikuti. Ternyata, Papa As mengadakan rapat dadakan atau malah rapat ini meminta Aga untuk pulang.
Aga duduk di samping Papa As yang bersebrangan dengan Mos.
“Ga, bantu Papa. Perusahan sedang terombang-ambing,” bisik Papa As berbisik.
Aga melihat mata Papa As dengan tatapan yang hangat.
“Iya. Aku bantu sebisaku.”
Aga melihat tatapan Paman Bimo dan Mos mengarah padanya. Tatapan seolah mau menerkamnya seperti harimau yang mencari mangsa untuk dimakan karena kelaparan.
“Bagaimana ini penjualan menurun, permintaan wine sedikit. Bagaimana ini?” tanya Papa As dengan wajah yang memerah menahan marahnya.
“Maaf, Om. Saya mau memberitahu. Ada rasa wine yang baru. Semoga saja bisa membantu meningkatkan penjualan.”“Mos, saya lagi menanyakan mengapa penjualan menurun,” kata Papa As meninggikan suaranya.“As, makanya Mos memberitahu,” kata Paman Bimo juga meninggikan suara seolah tidak terimanya anaknya dimarahi.Aga hanya melihat mereka dengan perbedaan pendapat dan keegosian. Mereka ribut dengan pendapatnya masing-masing yang belum tentu bisa diterima.
“Diam,” teriak Papa As.
Mereka diam dan melihat Papa As dengan tatapan marahnya yang berapi-api.
“Aga, katakan pendapatmu,” pinta Papa As.
Semua pasang mata yang ada di ruang rapat melihat Aga sedangkan yang ditatap bingung. Padahal dia hanya ingin duduk manis di ruang rapat.
“Aku?”
“Iya, kamu. Tidak ada nama Aga lain di ruang ini,” kata Papa As.“Bukankah rasa wine yang baru menimbulkan keributan? Jika begitu pasti ada masalah yang terjadi. Seekor kucing pasti berteriak jika diinjak, sama halnya dengan rasa wine yang baru ini. Tidak mungkin ada keributan, jika tidak ada keibutan yang terjadi.”“Apa maksud dengan perkataanmu?” tanya Mos denagn meninggikan suara.“Benar perkataanku. Aku hanya mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi,” kata Aga membela diri.“Kamu tidak bisa mengatakan semaumu, Ga.”“Alangkah baiknya untuk ditunda peresmian atau peluncurannya.”“Aga,” teriak Mos yang dilihat semua pasang mata di ruang rapat.“Aga Brawijaya, kamu tidak tahu apa-apa di sini. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku kerjakan bersama timku. Kamu mau apa dengan mengatakan ditunda? Aku tahu kita sama-sama cucu Kakek Aga, tetapi kamu tidak bisa mengatakan semaumu,” kata Mos dengan tatapan yang mematikan.Aga melihat Mos dengan tatapannya yang lembut.
“Kamu baru anak kemarin sore dan kamu juga baru masuk beberapa jam yang lalu. Belum ada lima jam, kamu berada di sini. Kamu jangan gagalkan rencanaku dengan tim. Kamu juga menunjukkan kinerjamu. Kamu bisa apa? Kamu hanya bisa melakukan pekerjaan dengan bantuan dari Om As.
Aga hanya terdiam dan membuat Mos kesal.
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy
“Lex, Kakak mandi dahulu. Kakak akan ke ruang makan setelah itu,” kata Aga membuka pintu tanpa menyadari siapa yang ada di depannya. Crekkk.“O, Papa, ada apa?” tanya Aga memasang kembali kancing kemejanya.“Boleh Papa masuk?”“Silakan.” Aga melihat Papa As melihat sekeliling dalam kamarnya. Setidaknya kamarnya rapi terhindar dari sampah dari bungkus makanan yang biasa dia buang di kotak sampah. Aga membiarkan pandangan Papa As menyebar ke seluruh pojok kamarnya.“Pa,” panggil Aga membuat Papa As menyadari jika berada di kamar Aga.“Iya.”“Duduk, Pa.” Aga membiarkan Papa As mengambil posisi duduk lebih dahulu. Baru Aga mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur.“Kamu mau mandi?” tanya Papa As melihat jas yang dilempar sembarang.“Iya, Pa.”“Papa mau mengobrol sebentar. Sebelum makan malam dan kamu akan segera pergi tidur.”“Iya, Pa. Silakan.”“Kamu dari mana?” ta
“Akh segarnya,” kata Aga mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Makan malam ya?” tanya pada dirinya seolah enggan untuk makan malam bersama. Aga mau tidak mau harus melakukannya. Jika tidak dia akan dicoret namanya dalam deretan nama pewaris. Ya walaupun hanya ada Aga dan Mos.“Makan malam saja walaupun suasana hati sedang tidak ingin makan,” ucapnya meletakkan handuk di kamar mandi. Crekkk. Aga berjalan menuju ruang makan. Dia yakin semua sudah berkumpul di ruang makan.“Se-lamat malam,” sapa Aga terkejut karena melihat Kakek Aga tidak ada di kursinya.“Ada apa Ga?” tanya Mama Lud.“Kakek ke mana?”“Kakek ke rumah Paman Bimo.”“O.” Hidangan makan malam tersedia di meja makan, tentu Mama Lud yang memasaknya. Aga menyukai masakan dan apa saja yang dibuat oleh beliau. Ruang makan dengan 10 kursi dengan meja panjang menjadi saksi kesunyian pada makan