Share

06. Voting

“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.

“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun.

     Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.

“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.

“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral.

     Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini.

     Aga masih tetap penasaran dengan rasa tersebut, tetapi tidak mungkin dia mencicipinya di pabrik. Mata-mata mereka pasti akan bertanya-tanya.

“Bagaimana Ga, kamu setuju untuk voting?” tanya Mos dengan dilakukan voting ini.

     Lagi-lagi, semua pasang mata melihat ke arah Aga. Sekarang mau tidak mau, Aga harus memberikan pendapatnya.

“Iya setuju,” jawab Aga dengan berat hati.

     Aga sudah menebak hasil voting ini akan berakhir di Mos. Salah satunya karena Aga belum menunjukkan kinerjanya, tetapi dia yakin jika rasa baru yang dibanggakan bisa diperbaiki. Kecuali jika tidak bisa memang harus membuat rasa yang baru.

“Silakan dilakukan votingnya,” kata Mos tersneyum melihat Aga karena yakin dengan hasil akhirnya.

     Salah satu karyawan membawa kotak transparan, sedangkan mereka menulis nama Mos atau Aga pada selembar kertas kecil.

     Aga sendiri tidak bisa menebak siapa saja yang memihak padanya atau setidaknya memandang Papa As untuk memilihnya.

“Semoga saja dengan hasil voting ini bisa mempercepat proses produksi,” kata salah satu anggota direksi yang memihak Mos.

     Aga menyadari posisinya di perusahan lebih tepatnya di ruang rapat, posisinya tidak memiliki kekuatan untuk melawan mereka. Apalagi, dia baru saja masuk hari ini ke kantor. Itu pun karena Papa As yang mengajak.

“Tenang saja, Ga. Kamu pasti terpilih kok. Tidak perlu cemas. Aku ikhlas,” kata Mos tersenyum sinis pada Aga.

     Aga tidak membalas perkataan Mos karena akan membuang waktu dan justru akan menjadi perdebatan seperti tadi. Dia masih berkutat dengan pikirannya. Dia masih penasaran dengan rasa wine yang baru.

     Aga melihat direksi yang memihak Paman Bimo dan Mos pastilah memilih sedangkan yang berpihak pada Papa As mau tidak mau memilih Aga walaupun mereka tahu hasil akhirnya.

“Waktunya menghitung hasilnya,” kata salah satu anggota direksi yang netral.

     Aga merasa jantungnya berdegub sangat kencang walaupun bisa menebak hasil akhirnya. Dia juga tidak tahu yang dirasakannya. Papa As menatapnya seolah membutuhkan bantuan. Bantuan seperti apa, Aga juga tidak bisa menolongnya.

     Aga menyentuh layar ponsel yang diletakkan di meja. Dia melihat jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Dia tahu jika adiknya tidak mungkin untuk makan siang dengannya.

“Hasil voting,” kata salah satu anggota  direksi yang netral.

     Semua pasang mata melihat ke arah papan yang tertulis hasil akhir. Beberapa dari mereka tersenyum karena hasilnya sesuai dengan yang mereka harapkan.

“Hasil voting. Moscarosa Brawijaya dengan jumlah yang terbanyak.”

     Suara tepuk tangan memenuhi ruang rapat, tetapi beberapa yang memilih Aga banyak yang menggerutu. Mereka ke luar dari ruang rapat karena kesal dengan hasil akhirnya.

     Di ruang rapat masih terdapat direksi yang memihak salah satu dari Papa As dan Paman Bimo.

“Aga,” panggil Mos yang membuat Aga mampu menatap matanya.

     Aga tidak menjawab panggilan Mos.

“Maaf, mereka banyak memilihku. Nilaiku terbanyak,” kata Mos denagn tersenyum sinis dan terlihat kebahagiaan di wajahnya.

“Pak Bimo dan Mos, kita perlu mengadakan acara makan untuk mengucapkan selamat,” kata salah satu anggota direksi yang memihak mereka.

“Iya, kita akan lakukan. Pesanlah tempat dengan makanan yang mahal,” kata Paman Bimo menatap tajam pada Papa As.

“Maaf, Ga,” kata Mos menyindir Aga.

“Kamu harus banyak belajar dahulu. Pelajari dahulu tentang perusahan yang sudah dibesarkan oleh Kakek Aga. Nama kalian berdua sama bukan berarti rezeki sama. Berbeda,” kata Mos menekan kata berbeda.

“Hari ini beruntungnya diriku. Dewi fortuna berada dipihakku,” kata Mos tidak henti-hentinya merendahkan Aga.

     Aga hanya diam tanpa membalas apa pun. Sikapnya inilah yang mudah direndahkan oleh orang lain termasuk sepupunya sehingga Mos berhasi menjatuhkan Aga dengan sekali tepukkan.

“Ga, katakan sesuatu sebagai kalimat terakhir. Ups, saya lupa kamu masih mau berada di perusahaan ini. Mungkin ada jabatan yang tepat untukmu,” sindir Mos.

     Aga melihat Papa As ke luar dari ruang rapat. Dia tahu jika tidak dapat membantu Papanya dan hanya memberikan beban pada beliau. Namun, dia diminta pulang juga karena beliau yang memintanya.

     Aga mengingat setiap perkataan Mos. Bahkan satu kata pun tidak akan dia lupa, tetapi hati kecilnya mengatakan untuk tidak membalas. Jika suatu saat, Aga membalas tidak ada bedanya dengan Mos. Justru akan memperburuk keadaan.

“Terserah apa yang mau katakan, Mos,” kata Aga yang akhirnya mau bicara.

“Ups, kamu berbicara denganku. Aku pikir kamu hanya berbicara omong kosong saja. Jangan anggap aku ini santai. Memang kita sepupu dan kamu adalah kakak sepupu, tetapi ini perusahaan, Ga. Kamu tidak bisa seenaknya dan santai denganku.”

“Apa kamu memperingatkanku?” tanya Aga yang membuat Mos mengepal tangannya.

“Iya anggap saja. Aku tidak mau kamu masuk perusahaan. Alasannya? Karena kamu baru anak kemarin sore. Saya tidak mau rencana yang sudah saya bangun menjadi rusak gara-gara kamu yang tidak tahu apa-apa. Ke luar saja, Om As sudah ke luar dari ruang ini.”

“Kalau aku tidak akan ke luar. Kamu saja yang ke luar.”

     Aga tidak akan sama dengan Mos. Dia berpikir jika dia ke luar ruang rapat, dia tidak bedanya dengan Mos. Dia harus bertahan di ruang rapat sampai Mos dan pengikutnya ke luar.

     Aga melihat Mos tersenyum.

“Apa kamu bisa Ga kerja di perusahaan. Kehidupan di luar rumah lebih nyaman untuk apa kamu pulang. Tidak ada gunanya, Ga. Dahulu juga aku memberitahumu, kamu ini tidak bisa apa-apa tanpa bantuan Om As. Kamu untuk apa pulang. Yang pasti jangan bersikap santai denganku. Di sini.”

     Aga mengepal tangannya dan wajahnya memerah seperti memakai perona pipi. Dia merasa harga dirinya jatuh.

“Kita ke luar saja, Mos,” ajak salah satu anggota direksi.

“Iya, Pak. Kita makan-makan untuk merayakan keberhasilan ini. Besok kita kerja keras lagi. Nanti orang yang di sana akan menganggap kita santai.” Mos menunjuk Aga.

     Aga memilih diam lagi, tetapi diam bukan berarti takut lebih tepatnya dia mengalah. Bagaimanapun juga Mos masih sepupu dekatnya.

     Aga melihat Mos dengan pengikutnya berjalan ke luar dari ruang rapat dan Paman Bimo mengikuti berjalan di belakang mereka.

“Lihat saja. Aku pasti akan membalas. Aku ingat setiap perkataanmu,” kata Aga mengepal tangannya.

     Aga berpikir keras untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Dia ingin mengambil semua yang menjadi miliknya. Dia akan berusaha lebih keras lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agus Pribadi
bukan mengalah memang dasar GK punya skill dan kepintaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status