“Lama betul telefonnya,” kata Aga.
Tiba-tiba, Aga melihat Deon masuk ke ruang kerja Kakek Aga membawa nampan yang berisi dua gelas cangkir.
“Kakek minta dibuatkan?”
“Iya, Mas Aga.”“Terima kasih.”“Beliau sedang menghubungi siapa?” tanya Deon.“Tidak tahu.”“Jadwal beliau hari ini tidak banyak sehingga ada di kantor pada jam ini.” Deon memberitahu tanpa Aga bertanya.“E, iya. Terima kasih teh hangatnya.”Aga melihat Deon berjalan ke luar dengan membawa nampan. Aga melihat satu-satunya orang yang masih bertahan bekerja di perusahaan dengan Kakek Aga sebagai bosnya hanya Deon.
Aga memlihat beberapa kali Kakek Aga melihat ke arahnya. Aga hanya membalas dengan senyum. Dia juga tahu siapa yang dihubungi oleh Kakek Aga saat ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah Mos, cucu yang dibanggakan. Aga hanya tersenyum jika mendengar dan dia sendiri yang mengatakannya. Semoga saja predikat cucu yan
Aga memilih untuk berjalan menaiki tangga. Dia perlu istirahat untuk melakukan aktivitas besok. Dia tidak ingin mengecewakan Kakek Aga yang sudah memberikan kepercayaan padanya. Crekkk.“Huft lelahnya hari ini,” kata Aga merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan meletakkannya di nakas.“Coba saja ada mesin waktu yang bisa membuatnya sempurna. Tanpa harus bekerja melelahkan seperti ini. Akh tidak mungkin.” Aga melihat jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul 10 malam sedangkan dia belum mandi.“Wow, sudah malam.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi. Aga memilih untuk membersihkan diri sebelum tidur. Dia perlu tidur dalam keadaan tubuhnya segar.“Hah, selesai juga.” Aga memilih merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk dengan rambut yang masih basah. Pendingin udara di kamarnya mampu menghipnotisnya menjadi ngantuk ditambah rasa kenya
Aga berdiri di depan Mos, tetapi dia berjalan menjauh dan memalingkan wajah pada Aga. Dia berpikir karena ada dia di sini. Aga melihat Mos tidak peduli dengan keberadaannya di pabrik. Dia berpikir mungkin Mos mendapatkan apa yang diinginkan lebih banyak sehingga tidak peduli dengan apa yang Aga dapatkan sekarang.“Jangan pedulikan Ga.” Kakek Aga menepuk pundak Aga.“E, iya Kek.”“Kamu harus kuatkan mentalmu untuk menghadapi hal-hal kecil seperti ini. Kamu tidak bisa berbelas kasih hanya karena Mos saudaramu.”“Iya, Kek. Namun, kami berdua menghabiskan masa kecil bersama.”“Tidak bisa kamu memiliki pemikiran seperti itu, Ga. Kamu akan terjebak dalam pemikiran. Kamu akan sulit maju dan lawanmu Mos akan selalu berada di depan. Kakek hanya mau mengingatkan. Tidak bisa kamu melawan Mos dengan perasaanmu.”“Iya, Kek. Terima kasih sudah memberitah
Aga tetap berlari mengejar Mos tanpa memanggil namanya. Napasnya terengah-engah sehingga dia perlu mengatur napas supaya tidak terlihat lemah di depan Mos karena akan semakin bangga dengan meremehkannya. Sepertinya Mos menyadari Aga mengikutinya. Mereka berdua berhadapan dengan tatapan yang berbeda. Aga melihat dengan tatapan kasih sayang layaknya sesama saudara, tetapi berbeda dengan Mos melihatnya dengan tatapan kebencian seperti seorang musuh yang akan menembaknya.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Mos.Aga belum menjawab pertanyaan Mos justru sebaliknya dia tersenyum pada Mos.“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Mos lagi. Aga meyakini jika Mos bisa berubah. Buktinya sekarang, Aga ada di depannya. Namun, Mos tidak mengejek atau marah-marah seperti biasanya. Satu perubahan kecil yang membuat Aga senang. Dia tahu pengaruh baik apa yang datang pada Mos.“Kamu yakin tidak ada yang mau kamu kat
“Mas Aga tidak papa?” tanya Ben yang cemas melihat bosnya berkeringat.“Tidak papa. Aku baik-baik saja. Antarkan aku pulang, Ben,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Ben memastikan bosnya baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, Aga hanya terdiam. Dia menyadari jika Ben tidak fokus dalam mengendarai mobil.“Aku tidak papa, Ben. Kamu fokus saja menyetirnya.”“Iya, Mas Aga. Apa kita mau makan dahulu?”“Tidak perlu. Mama sudah memasak untukku. Kamu ikut makan bersama.”“Tidak, Mas Aga. Aku mau langsung pulang. Mas Aga yakin baik-baik saja?”“Iya. Aku baik-baik saja.”“Mas Aga cukup kuat untuk bertahan, tadi.”“Terlihat begitu?”“Iya, Mas Aga. Di sini, aku merasa cemas. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Mas Aga. Tahu sendiri Mos akan memukul Mas Aga.”“Terima kasih. Kamu sudah cemas denganku.”“Sudah seharusnya begitu.” Aga melihat Ben kembali fokus. Dia hanya tidak ingin membuat Ben cemas.&nb
Aga keluar dari ruangan juga karena Mos. Dia ingin mencari Mos karena dia melihat ke luar. Dia mencari bukan untuk meminta maaf. Tidak akan menyelesaikan masalah juga. Lagi pula, dia mengambil apa yang memang menjadi miliknya.“Huft, aku melakukan kesalahan lagi sepertinya.”“Aku sudah memberitahunya untuk berjaga-jaga atau setidaknya melakukan supaya dipilih jadi direktur utama.”“Siapa Mas Aga?” tanya Ben berada di belakangnya.“Astaga. Kamu memiliki kebiasaan baru mengagetkanku?”“Maaf, Mas Aga. Aku pikir Mas Aga bicara dengan siapa.”“Itu Mos. Aku tidak salah kan Ben?”"Tidak ada yang salah juga dengan Mas Aga ataupun Mos.”“Lalu?”“Kenapa pakai lalu? Yang salah adalah keadaan kalian berdua yang berada di keluarga Kakek Aga.“Wah benar sekali kamu.”“Lalu apa yang Mas Aga lakukan di sini?”“Tidak ada yang aku lakukan. Hanya saja di dalam terlalu banyak asap. Aku merasa sesak. Lagi pula mereka juga sedang mengobrol ringan
Aga berpikir jika dia harus menemui Kakeknya. Jika dia tidak menemui bisa-bisa dia jadi kepiting rebus yang siap disantap. Lagi pula tidak ada salahnya menemui Kakek Aga di saat memang beliau membutuhkannya.“Kakek memanggil Aga?” tanya Aga di samping Kakek Aga. Aga melihat Kakek Aga berjalan mendekat padanya.“Kamu harus menjalankan perusahaan dengan baik. Jangan bermalas-malasan. Ingat itu.”“Iya, Kek,” jawab Aga diikuti anggukkan.“Kakek pulang dahulu. Kamu bisa menyusul nanti.”“Iya, Kek. Tenang saja.”“Malam ini, Kakek mau menginap di hotel.” Kakek Aga memberitahu.“Dengan siapa Kek?”“Sendiri.”“Mau Aga temani?”“Tidak usah. Itu ada mereka yang akan menemani Kakek.” Kakek Aga memberitahu jika ada pengawal-pengawal yang akan menjaganya.“Iya, Kek. Jika terjadi sesuatu hubungi Aga lebih dahulu ya Kek.”“Iya pasti. Kakek pergi dahulu.” Aga melihat Kakek Aga berjalan d
“Mas Aga,” panggil Ben yang sudah berada di mobil. Pagi ini, Aga pergi dengan Ben menggunakan mobil milik Aga. Dia tidak mengetahui jika Ben akan datang ke rumah. Dia pikir Ben akan mau jika menginap di rumah.“Ben, kamu menginap di sini saja. Tidak ada yang kamu temui di rumah?”“Tidak ada, Mas Aga. Bapak dan Ibu sudah tiada.”“Maaf, Ben. Jika mengingatkanmu.”“Tidak, Mas Aga. Sudah lama sekali sekitar sepuluh tahun yang lalu.”“Kamu kuat ya.”“Harus kuat, Mas Aga. Aku berterima kasih pada Pak As yang menemukanku.”“Oh begitu. Aku yang harus berterima kasih denganmu. Belum satu tahun, kamu bekerja. Kamu sudah banyak membantuku.”“Itu pesan Pak As untuk membantu Mas Aga. Ngomong-ngomong, kita mau pergi ke mana Mas Aga?”“Kantor.”“Bagaimana tawaranku untuk pindah ke rumah?”‘Tidak, Mas Aga. Terima kasih untuk tawarannya.” Dalam perjalanan ke kantor, Aga berpikir untuk memberitahu direksi-direksi
Aga berjalan masuk ke ruang rapat. Mereka berdiri untuk menyambut kedatangan Aga.“Silakan duduk kembali.” Aga mempersilakan mereka. Aga menatap satu per satu karena mencoba meyakinkan dirinya bisa melakukannya.“Rapat dimulai.” Aga mengambil sikap duduk yang nyaman baginya. Dia menatap mereka satu per satu dan mengingat wajah mereka. Keinginan yang kuat pasti bisa mengalahkan rasa gugupnya. Dia menatap tajam pada mereka, satu per satu. Aga melihat beberapa dari mereka sibuk sendiri.“Pak, bisa kita mulai rapatnya? Jangan sibuk sendiri.” Aga mengatakan dengan tegas.“Iya,” bisik salah satu dari mereka. Aga tidak berpikir dapat menggunakan cara tegas dan keras pada mereka. Dia tidak berpikir bahwa mereka akan menggunakan cara yang sama untuknya.“Selamat pagi. Terima kasih berkenan untuk datang. Terima kasih kursi di ruang rapat teriis