Share

BAB 3 Geana Namaku

Bayang-bayang sinar telah menyadarkanku, aku pelan-pelan membuka mataku, matahari sudah terbit, sebuah tempat yang empuk, aku melihat sekitar dan mendapatkan diriku tertidur di atas kasur.

"Jika sudah sadar, ayo pergi," ucap Amor. Dia masih duduk di sofa kemarin, apakah seorang dewa kematian tidak perlu tidur?

Aku kembali menatap bantal yang kutiduri, ini bukan bantal yang membuatku teringat hal-hal aneh itu? Kenapa aku dapat tidur dengan tenang? Aku berusaha untuk mengingat-ngingat, Amor kemarin membuatku tidak sadarkan diri. Apakah dia yang melakukannya? Membuatku tidak teringat dengan mimpi-mimpi buruk itu?

"Ayo," ajaknya namun langkahnya terhenti. "Aku lupa kau hanya seorang manusia biasa," gumamnya menarikku melewati sebuah ruang waktu.

Kini aku dan dia berdiri di depan sebuah restoran, aku melihat sekitar tempat ini. Ini merupakan duniaku, aku menoleh lagi ke plang nama restoran tersebut, 'Miracle' nama restoran terkenal itu.

Aku segera mengikutinya masuk ke dalam restoran, namun begitu banyak mata terfokus padaku, apa ada yang aneh denganku? Aku segera menoleh ke arah Amor untuk memastikannya, namun dia terlihat biasa saja. "Jangan peduli dengan pandangan orang lain," bisiknya membawaku pergi ke sudut restoran.

"Kamu ingin makan apa?"

Aku mengeleng pelan setelah melihat seisi ruangan ini. Tidak heran mereka menatapku dengan aneh, ini terlalu mewah, sedangkan aku hanya memakai kaos polos putih berserta sandal slop.

"Ada yang dapat saya bantu," ucap seorang pelayan datang menghampiri kami. Tanpa bas- basi Amor membuka menu makanan dan mengatakan pada pelayan. "Aku mau dua porsi makanan terekomendasi di sini."

"Baik, ada lagi tuan?"

"Tidak." Amor pun mengembalikan buku menu tersebut kepada pelayan.

Setelah pelayan pergi, dia kembali melirikku, matanya naik sebelah seperti mengejekku. "Sungguh tidak biasa melihatmu seperti ini Geana."

"Aku bukan Geana, namaku Mila," gumamku menundukkan kepala.

"Mila.. orang yang dicintai, menurutmu kamu cocok dengan nama ini?" Apakah itu sebuah sindiran? Tetapi itu memang kenyataan yang aku alami. Tidak ada yang mencintaiku, Mila.. nama ini memang tidak pantas untukku.

"Sekarang yang paling penting adalah menemukan dewa kebahagiaan dan membuka segelmu," lanjutnya menyadarkanku.

"Jika aku tidak mau?"

"Kamu tidak punya pilihan Geana,"

Lagi-lagi kata-kata itu, apakah aku benar-benar tidak punya pilihan? Apakah aku tidak dapat kembali menjadi.. diriku?

"Geana? Atau Mila?" Senyuman dia begitu menyebalkan. "Mila sudah mati." Kata yang baru diucapkannya membuatku tidak mengerti. "Aku hanya dapat menemukanmu di detik-detik menjelang kematianmu."

Aku mengingat kembali detik-detik di mana ibu melemparkan kursi ke arahku, jadi saat itu juga kehidupanku sudah berakhir? Aku benar-benar sudah mati?

"Belum, sebelum aku membuka segelmu, tubuhmu ini masih akan seperti manusia biasa, tetapi raut wajahmu akan abadi seperti ini," jelas Amor sambil memegang daguku.

Lagi-lagi dia membaca pikiranku, apakah seluruh dewa kematian akan membaca pikiran manusia?

Amor kembali tersenyum dan melepaskan tangannya. "Hanya partner kerja yang dapat mendengar suara hati sesama, aku dan kamu memiliki ikatan, jadi kita dapat saling mendengarkan satu sama lain, sayangnya kamu sekarang hanyalah manusia, jadi kamu tidak akan bisa mendengarkan suara hatiku, Geana."

"Boleh kau tidak mendengarkan suara hatiku? Aku ingin memiliki privasi."

Kami pun saling menatap dengan serius.

"Baiklah," angguknya yang membuatku lega, ternyata dewa kematian juga tidak sepenuhnya keras kepala, tetapi dalam sekilas aku kembali merasakan sebuah senyuman menyeramkan darinya.

"Apa kamu masih mendengarkan?" tanyaku.

Pelayan membawakan makanan pesanan Amor dan berhasil membuat dia mengalihkan pertanyaanku.

"Makanlah, setelah ini aku akan membawamu kembali."

***

Setelah makan, Amor membawaku pulang ke rumah di mana aku besar, di sini terdapat berbagai kenangan yang menyedihkan, aku melihat fotoku dipajang di salah satu sisi dinding, untuk pertama kalinya aku melihat keluargaku begitu harmonis di atas meja makan. Wajah ibu juga tidak seseram biasanya, dia lebih melepaskan dirinya. Aku menatap Amor, apakah yang dikatakan dia benar? Tanpaku keluarga ini akan menjadi lebih baik.

"Apa masih mau kembali?" tanyanya menatapku dengan ketus.

"Tidak," gelengku pelan. Kenyataan memang lebih pahit daripada yang dipikirkan, ketika takdir mengatakan tidak, sebaiknya tidak perlu untuk memaksa kehendak. Aku tidak ingin merusak suasana ini, tanpaku mereka lebih bahagia. "Aku memang tidak pantas berada di sini."

"Baik." Dalam sekejab ruang kembali berganti, aku dan Amor kini berdiri di sebuah rumah yang terlihat besar dan rapi. "Sekarang kamu akan menggunakan indetitas baru, kita harus tinggal di sini hingga menemukan bocah itu.

"Bagaimana caranya?"

"Geana, namamu. Kamu tenang saja ketika kembali ke sekolah, mereka tidak akan mengenalimu."

Aku tetap tidak mengerti dengannya, hanya dengan menganti nama apakah mereka tidak akan mengenaliku? Bagaimana dengan wajahku? Di dunia ini tidak akan ada orang yang memiliki wajah sama, kecuali mereka adalah kembaran.

"Kamu tenanglah, aku akan mengaturnya." Dia Amor, dewa kematian yang begitu percaya diri.

"Apa kamu pernah melihat dewa kebahagiaan?" tanyaku berhasil menghilangkan kepercayaan dirinya dalam sekejab.

Amor mengeleng pelan. "Saat itu dia memakai topeng."

Apakah dia sedang melawak? Tidak pernah melihatnya tetapi ingin mencarinya? "Bagaimana kita mencarinya?"

"Aku mengenal auranya." Amor baru selesai bicara, tangannya langsung mengarah ke arah keningku, sebuah sinar kembali menyilaukan mataku. "Tidak ada," gumamnya kemudian melepaskan tangannya.

Dia sungguh membuatku terheran-heran, apa yang sedang dia lakukan?

"Aku tidak menemukan jejak auranya di ingatanmu."

"Aku?"

"Dia jatuh bersamamu ke dalam bumi, sudah seharusnya dia berada di dekatmu, namun kenapa aku tidak bisa merasakannya."

Aku hanya terdiam, aku tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan.

Amor kembali menatapku dengan lekat, wajahnya yang begitu tampan membuatku salah tingkah, bagaimana bisa ada seorang dewa kematian memiliki wajah sesempurna itu. "Kamu istirahat dulu," ucapnya.

Aku segera mengangguk dan menoleh sekelilingku.

"Pilih saja kamar yang kamu suka,"

"Baik," ucapku segera berjalan pergi meninggalkan Amor.

Tanpa berpikir panjang aku segera masuk ke salah satu kamar dekat ruang tamu. Aku berjalan ke pinggir kasur dan duduk di atasnya untuk menenangkan diriku sendiri. Setelah menghilangkan bayangan Amor, kejadian beberapa hari ini kembali muncul di benakku, dari ibu yang ingin melemparkanku bangku hingga melihat senyumannya tadi, sepertinya dunia ini menjadi baik tanpa kehadiranku. Seluruh orang membenciku, di mana aku berada, di situlah tempat diselimuti kesedihan. Apakah aku dapat merubah itu semua? Aku berjalan ke depan cermin, melihat wajahku dengan lekat, mengingat kembali tatapan kosong dewi kesedihan di dalam mimpiku itu lebih meyakinkanku jika aku adalah dewi kesedihan itu, aku memang pembawa kesedihan. Dewa kebahagiaan telah menyegelku, apakah dia dapat membantuku menghilangkan kesedihan yang melekat pada diriku? Aku juga ingin seperti dirinya menjadi dewi kebahagiaan. Mungkin aku dapat menanyakannya ketika menemukan dia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status