"Ibu," panggil Kaluna.
Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi.
"Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.
Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung.
"Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.
Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa.
"Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.
Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berteriak maka semakin pudar juga bayangan Sang Ibu dari matanya.
Kaluna menyerah, air mata nya jatuh. Kini Ia kembali sendirian dipenuhi rasa takut. Danau itu kini bukan healing terbaiknya. Danau itu justru tempat yang paling Ia benci. Hingga setelahnya dengung keras menusuk dipendengaran Kaluna.
Kaluna terbangun, nafasnya terengah dan keringat membanjiri keningnya. Itu tadi mimpi yang singkat namun berhasil menguras emosinya. Ia segera menenggak habis air putih yang ada di nakas. Pikirannya melayang, terbayang-bayang arti mimpinya namun Ia sadar dirinya bukan peramal yang bisa menafsirkan sebuah mimpi. Yang Kaluna yakini sekarang adalah, Ia sedang rindu kedua orang tuanya dan juga adiknya.
Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, dengan ragu Ia membuka layar ponselnya dan menghubungi nomor adiknya. Kaluna tak yakin apakah Evan masih terjaga atau bahkan sedang tidur nyenyak sekarang.
Di nada dering yang keempat terdengar suara gumaman Evan yang membuat Kaluna terkejut. Adiknya masih terjaga, suaranya tidak serak seperti orang bangun tidur dan itu membuat Kaluna khawatir.
"Kok belum tidur?" tanya Kaluna.
"Gak ngantuk mbak, ini masih belajar," jawab Evan diseberang sana.
"Ada camilan gak disebelahmu?"
"Ada, tadi beli banyak, mbak kebangun ya?"
"Iya. Udahan belajarnya Van, tidur."
"Nanggung mbak."
"Ya udah mbak matiin," ucap Kaluna dengan nada datarnya.
"Iya Evan tidur."
Kaluna tersenyum, Ia mengurungkan niatnya untuk bercerita pada Sang Adik karena yang diperlukan adiknya sekarang hanya beristirahat. Kaluna tak mau jika saat pertandingan besok adiknya itu telat bangun.
Setelah mematikan sambungan telfonnya, Kaluna tidak kembali tidur namun justru terduduk dan tetap terjaga hingga fajar tiba.
***
Kaluna menghela nafasnya pelan, ini jam makan siang namun langkahnya berhenti di depan Cafe Naluna. Padahal Ia dengan sadar paham betul bahwa jam makan siang hanya beberapa menit yang tidak banyak, bahkan perjalanannya kemari sudah menyita setengah dari waktu yang Ia punya.
Akhirnya mau tak mau Kaluna masuk dan memesan matcha latte kesukaannya sekaligus set menu makan siang untuk mengisi perut laparnya. Tak ada hal lain yang dilakukan Kaluna saat menunggu pesanannya tiba selain duduk dan melamun untuk kesekian kalinya.
"Jangan ngelamun, nanti kesambet," ucap Kama yang datang dengan nampan berisi pesanannya.
Kaluna tersenyum tak lupa berucap terima kasih. Matanya menelisik kearah meja kasir dan tidak menemukan apa yang Ia cari disana.
"Delvin lagi pergi," ujar Kama seakan mengetahui isi pikiran Kaluna.
Kaluna hanya tersenyum salah tingkah, Ia ketahuan.
Kama mendudukkan dirinya dihadapan Kaluna alih-alih kembali dan melakukan kerjanya. Laki-laki dengan wajah campuran bule dan lesung pipit yang manis itu tersenyum sambil menatap kearah Kaluna. Yang ditatap tentu saja salah tingkah, siapa yang tak salah tingkah ditatap laki-laki setampan Kama. Sekarang saja mereka sudah menjadi pusat perhatian seluruh penjuru cafe yang kebanyakan diisi oleh kaum perempuan.
"Mukaku kenapa?" tanya Kaluna yang tak nyaman dengan perilaku Kama.
"Tipe Delvin banget," celetuk Kama yang berhasil membuat Kaluna tersedak kentang goreng.
Bukannya membantu, Kama justru tertawa melihat tingkah Kaluna yang lucu ini.
"Banyak cewe yang kesini cuma buat liat Pak Bos, tapi pada mundur setelah dijutekin. Ternyata kamu beda," ujar Kama tanpa aba-aba.
Kaluna yang sedang meredakan batuknya tiba-tiba menatap Kama dengan ekspresi bingung.
"Aku bukan cewe kayak gitu! Lagian Delvin gak pernah jutek kok," jelas Kama.
Tentu saja penuturan itu mendapat ekspresi terkejut dari lawan bicaranya.
"Seorang Delvin? gak jutek?" tanya Kama tak percaya.
"Iya," jawab Kaluna sekenanya.
Kama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
"Selamat datang Ibu Bos," ucap Kama yang dihadiahi tawa kecil dari bibir Kaluna.
Kaluna mendorong tangan Kama dan berseru, "Ngaco!"
Keduanya kembali tertawa, sejenak Kaluna bisa merasakan atmosfir hangat cefe ini. Kaluna bukan orang yang mudah nyaman mengobrol dengan orang baru, namun Kama dapat mengimbanginya sehingga mengalir obrolan yang seru diantara keduanya. Sejenak, hanya sejenak Ia bisa lupa tentang masalah yang sejak kemarin mengusik pikirannya.
Bel pintu cafe berbunyi, disana tampak Delvin sedang membawa kotak berisi lampu-lampu warna-warni.
"Bang Kam! Dipanggil pak bos," seru perempuan yang duduk di belakang meja kasir.
Kama pamit meninggalkan Kaluna yang masih asik dengan makanannya. Selang beberapa waktu ponsel Kaluna berdering. Dari Evan. Adiknya itu mengatakan akan pulang malam ini dan menanyakan ingin dibawakan oleh-oleh apa.
Kaluna hanya tertawa kecil, adiknya sudah besar ternyata.
***
Kaluna kembali ke kantor terlambat lima menit, untung saja Ia sudah ijin pada Gama dengan alasan yang masuk akal, ban ojek nya meletus.
Namun sepertinya teman-temannya terlalu besar mempermasalahkan hal itu sehingga sekarang Ia menjadi pusat perhatian semua orang. Kaluna yang tak enak hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Kamu dari mana aja?" bisik Lila yang entah sejak kapan sekarang sudah berjongkok disebelahnya.
"Cafe Naluna, ini gara-gara aku telat yah?" tanya Kaluna pelan.
"Hape kamu mana?" tanya Lila.
Kaluna segera mengeluarkan ponselnya yang ternyata sudah kehabisan daya karena semalam Kaluna lupa mengisinya. Lila berdecak sebal lalu mengeluarkan ponsel miliknya. Terlihat disana sebuah foto Kaluna dengan bapak-bapak sedang ngobrol asik di sebuah cafe. Namun bukan itu permasalahannya, masalah utama ada di caption.
'Kebanggaan divisi DP, simpanan om-om?'
Kaluna berdecak kesal. Foto tersebut dikirim secara anonim di forum kantornya. Tak heran mengapa sekarang banyak pandangan sinis yang menatapnya, padahal Kaluna terkenal dengan citra yang baik dan tidak macam-macam.
"Andai saja mereka tau siapa yang sedang mereka gosipin La," ucap Kaluna.
Lila yang bingung hanya mengangguk tanpa mau bertanya lebih lanjut karena sekarang Bu Dian sedang memergokinya mangkir dari meja.
Lila buru-buru kembali ke mejanya sedangkan Kaluna dipanggil ke ruangan Bu Dian.
Kaluna berdiri dihadapan Bu Dian dengan takut-takut. Kepalanya terus menunduk kebawah dan enggan menatap manik perempuan berbibir merah darah itu.
"Kamu lagi bicara sama saya, bukan lantai Kaluna," tandas Bu Dian.
Kaluna segera menegakkan tubuhnya dengan cepat sebelum rentetan kata sadis keluar lebih banyak dari bibir merah Bu Dian.
"Foto yang beredar tidak benar kan?" cecar Bu Dian.
"B-bu, i-itu kan-"
"Iya saya tau, kamu tinggal jawab iya atau tidak," potong Bu Dian.
"Tidak Bu, hanya tidak sengaja bertemu dan ngobrol," jelas Kaluna.
"Ya sudah, kembali ke tugas kamu. Jangan macam-macam hanya karena kamu rekomendasi dari orang atas Kaluna." tegas Bu Dian yang membuat Kaluna seketika kicep.
Hanya para petinggi yang tau hal ini, semua orang taunya Kaluna lulus sebagai pelamar terbaik meskipun ijazah miliknya pas-pas an dan tidak memiliki standar yang tinggi seperti teman kantornya yang lain.
Yang Kaluna khawatirkan sekarang adalah tatapan sinis teman-temannya, Ia tak mungkin memberikan klarifikasi tentang kebenaran dibalik foto itu, dirinya bukan artis. Namun apakah Kaluna bisa tahan dengan cibrian rekan kantornya yang mungkin akan menghiasi telinganya setiap hari? Apakah Kaluna bisa membiarkan semuanya mereda dengan sendirinya?
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud."Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat."Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk."A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih."Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.&nbs
Evan menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan sinis. Ia tak tahu jika kedatangannya kembali ke sekolah justru disambut dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Yang dirinya takutkan bukan masalah padangan teman-temannya namun kakaknya. Kakaknya dipanggil ke sekolah karena dirinya bertengkar dengan Logan. Evan tahu dirinya salah namun Logan pantas mendapatkan pukulan darinya."Evan, bisa kamu jelaskan awal masalahnya?" tanya Bu Darini selaku wali kelas dan guru bimbingan konseling.Evan hanya diam, Ia tak mau menjelaskan apapun. Namun Logan yang memang cerewet dari sananya malah mendecih keras membuat Evan lagi-lagi tersulut emosi."Ibu kan sudah saya bilangi, dia tuh nonjok saya cuma karena saya baca berita tentang masa lalu dia. Padahal kan seluruh sekolah juga baca, kenapa cuma saya yang ditonjok, harusnya tuh dia juga nonjokin anak-anak lain biar sekalian dikira orang gila," cecar Logan dengan nada sengak.Evan hanya diam tak m
Kaluna mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua. Saat tiba di ruangannya yang bisa Ia temukan hanya Lila da Gama yang sepertinya menunggu dirinya. Kaluna panik namun sebisa mungkin memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang positif meskipun sekarang kenyataannya tak seindah realita, terlalu banyak pikiran negatif yang ada dipikirannya sekarang. "Kamu kemana aja sih!" seru Lila. Sahabatnya itu segera berlalu dan pergi ke runag rapat meninggalkan Kaluna dan Gama yang masih ada disana. "Mas, gimana nih?" tanya Kaluna yang masih panik. "Ya gimana lagi Na, Pak Bos sendiri yang minta dan kamu harus siap dengan semua hal yang terjadi setelah ini," ujar Gama. "Biasanya bapak gak pernah mau ikut rapat besar sama karyawan mas, biasanya dia mau rapatnya sama petinggi aja kan kenapa tiba-tiba?" tanya Kaluna. "Gak tau Kaluna, kamu siapin diri ya." Jawaban Gama sama sekali tidak memberi ketenangan apapun. Kaluna menghirup nafas
Kaluna telah sampai di lantai tiga, dihadapan pintu terbesar yang ada di lantai ini. Ia memantapkan hati dan masuk dengan pelan-pelan.Benar saja, Pak Bos telah menunggunya dengan senyuman paling lebar. Kaluna yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal. Semua tingkah laku Bosnya hari ini benar-benar membuatnya tak habis pikir."Gimana kejutannya Nak?" tanya Pak Bos."Iya pak, sangat mengejutkan, Luna gak habis pikir kalau Pak Bos akan ungkapin semuanya," ucap Kaluna membuat pria paruh baya dihadapannya itu tertawa renyah."Kenapa gak bilang kalau kamu di bully satu kantor karena foto itu?" tanya Pak Bos."Ya karena gak perlu dibesar-besarin juga, Luna gak dibully cuma-""Cuma dijauhin dan digosipin, gitu?" potong Pak Bos.Kaluna menghembuskan nafasnya kasar. Benar-benar sesuatu orang dihadapannya ini. Bahkan dipertemuan pertama mereka orang tua ini sangat ajaib di mata Kaluna.Kaluna saat itu sedang pulang da
Kaluna turun dari mobil milik Pak Bos yang biasa menjemputnya. Malam ini penampilan Kaluna sangat spesial pasalnya kini Ia sudah cantik dengan dress malam yang membalut tubuh tak lupa make up tipis dan rambut yang tergerai indah sangat cocok untuknya. Penampilan seperti ini sangat jarang diperlihatkan pada kehidupannya sehari-hari.Evan juga sudah siap dengan gayasemi formal khas anak muda tak lupa sepatu pemberian Pak Bos sudah pas dikenakan.Kaluna malam ini sangat gugup karena ini pertama kalinya Ia mengikuti acara formal seperti ini dan diluar jam kantor. Biasanya Ia tak pernah ikut acara besar seperti ini apalagi sebagai putri seorang Pak Bos."Gugup mbak?" tanya Evan."Enggak," elak Kaluna.Evan mengambil tangan sang kakak dan melingkarkan pada lengannya. Kaluna hanya bisa mengulum senyum dengan tingkah lucu adiknya.Semua mata tertuju pada mereka berdua saat keduanya masuk ke area acara yang b