Share

10. Hari Minggu

Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.

Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi. 

Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua. 

Hari ini dan hari-hari berikutnya mungkin akan terasa sulit lagi, namun Kaluna harus bertahan. Ia tak lemah, karena dirinya sudah sampai sejauh ini. Jika dirinya lemah, mungkin dari dulu Kaluna sudah menghilang dari dunia ini. 

"Mbak, gimana kabarnya?" tanya Evan sambil berlari memeluk Sang Kakak. 

Kaluna tersenyum cerah menyambut pelukan adiknya. Memang benar, obat terbaik bagi hati yang lesu untuk seorang Kaluna adalah Evan. Energinya seakan dipulihkan kembali setelah melihat keberadaan adiknya di dalam rumah. 

"Mbak baik, kamu gimana?" tanya Kaluna kembali. 

Evan tersenyum tak kalah cerah lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Kaluna tersenyum haru saat melihat sebuah medali emas dihadapannya. Adiknya sangat membuatnya bangga detik ini. Tidak, Kaluna selalu bangga dengan Sang Adik. 

"Mbak bangga banget sama kamu, pasti Ayah sama Ibu juga bangga sama kamu, tapi sayang banget mbak cuma beli nasi padang harusnya kita mukbang sate ayam kalau gini," ucap Kaluna seraya mengusap punggung kokoh adiknya. 

Evan tertawa menyebabkan matanya menyipit lucu. Senyumnya cerah, senyum yang selalu membuat Kaluna tenang. 

"Mukbang satenya kapan-kapan aja, ayo kita makan nasi padang aja," ujar Evan sembari membawa Kaluna yang masih ada di pelukannya untuk pergi ke dapur menyiapkan nasi padangnya. 

"Kalau kayak gini ceritanya sih mbak rela meskipun semua gen pintar dari Ibu dan Ayah ada dikamu semua, kamu pinternya jadi gak nanggung-nanggung," ujar Kaluna sembari memakan rendang miliknya. 

"Mbak juga pinter kok, buktinya gambaran mbak bagus banget, Evan gak bisa gambar malahan. Bakat Ibu turun ke mbak semua," jawab Evan. 

Keduanya melanjutkan makan malam dengan hangat dan penuh canda tawa. Mereka selalu menerapkan pada diri sendiri, meskipun hidup serba kekurangan dan kesulitan jika dilakukan dengan hati yang lapang dan ikhlas pasti mereka juga bisa bahagia. Itu juga yang dikatakan Sang Ayah pada Kaluna saat mereka pertama kali pindah ke kota ini. 

***

Hari minggu tiba, namun bukan berarti membuat Kaluna bermalas-malasan di kamar. Adiknya semalam minta diantarkan ke Jalan Sudirman untuk membeli beberapa buku bekas karena bacaannya sudah habis. Sebagai hadiah atas juara pertamanya di olimpiade Kaluna memutuskan untuk membeli semua buku yang adiknya inginkan jadi Evan tak perlu mengeluarkan uang tabungannya. Sebenarnya Kaluna sudah menawarkan untuk membeli buku bacaan yang baru, namun sekeras apapun Kaluna memaksa maka sekeras itu pula adiknya menolka. Keduanya sama-sama keras kepala untuk urusan semacam ini, akhirnya Kaluna mengalah karena tak mau membuat hari minggu mereka berakhir dengan pertengkaran.

Keduanya berjalan dengan riang seusai memarkirkan motor matic milik Pian di parkiran. Jika sedang jalan berdampingan seperti ini, kedua kakak beradik ini lebih terlihat sebagai sepasang kekasih sehingga tak jarang keduanya di cocok-cocokkan oleh beberapa orang yang tak tau hubungan asli keduanya. 

Evan yang tinggi dengan badan yang sedikit berotot selalu memastikan kakaknya yang lebih pendek darinya itu selalu aman berjalan bersamanya. Evan selalu siap melindungi Kaluna saat mereka sedang jalan berdua seperti ini. 

Kaluna mampir sebentar untuk membeli es cincau untuk keduanya dan tak lupa juga telur gulung kesukaan mereka. Sudah lama kiranya keduanya tak pernah menghabiskan waktu untuk keluar berdua seperti ini. Karena hampir setiap akhir pekan baik Kaluna maupun Evan lebih suka menghabiskan waktu di rumah sembari nonton kartun atau sekedar rebahan dan membaca komik. 

"Tau gak mbak, waktu itu kita kan sempet video call pas aku ada di hotel. Nah temenku lihat mbak, dikiranya mbak itu pacarku," ucap Evan yang membuat Kaluna tertawa terbahak. 

Memang tak jarang salah paham seperti ini terjadi dikalangan teman-teman Evan maupun Kaluna. Lila saja pernah mengira kalau Kaluna sudah menikah muda karena tinggal bersama laki-laki yang terlihat lebih muda. 

"Emangnya di sekolah, kamu gak punya pacar?" tanya Kaluna yang sontak membuat Evan tersedak minumannya. 

Kaluna kembai tertawa saat melihat muka Sang Adik sudah semerah kepiting rebus. 

"Jadi ada?" goda Kaluna. 

Bukannya menjawab, Evan justru berjalan lebih cepat mendahuli kakaknya. Lagi-lagi Kaluna hanya bisa menertawakan tingkah adiknya. 

"Lucu banget sih anaknya Ayah," gemas Kaluna sambil megusap atau lebih tepatnya mengacak-acak rambut adiknya. 

"Jadi ... ada atau gak ada?" goda Kaluna dengan nada menjengkelkan sekali lagi membuat Evan merengek dan menyuruh kakaknya itu untuk berhenti menggodanya. 

"Gak ada!" seru Evan. 

"Ada .. atau gak ada?" goda Kaluna lagi. 

Evan diam dan tak membalas. Ia memilih untuk duduk dan menunggu sosis bakar miliknya di sebuah bangku taman. Namun sepertinya Kaluna tidak mau berhenti karena menggoda Evan adalah hal yang menyenangkan untuknya. 

"Jadi ada yang disuka?" tanya Kaluna. 

"Kalau iya terus kenapa mbak?" geram Evan. 

"Gak papa, cuma takut aja dia mundur pas tau kamu punya mbak yang secantik ini," ucap Kaluna dengan penuh percaya diri seraya mengibaskan rambutnya.

"Iya yah, aduh mbak, harusnya jangan cantik-cantik dong. Kalau gebetanku mundur karena insecure gimana?" ujar Evan yang membuat Kaluna kembali terbahak. Tingkah adiknya itu benar-benar menghibur.

Kaluna mengambil nafas dalam-dalam dan berusaha meredakan tawanya. Ia menatap wajah Sang Adik yang sedang memikirkan sesuatu. Kaluna memegang rahang sang adik di hadapkan pada dirinya. 

"Kalau mau pacaran gak papa, mbak gak larang. Kalau mau suka, ayo nyatain jangan jadi cowok yang bodoh yang diam aja. Tapi selalu ingat batasan, gak boleh sampai lupa sama tugas kamu sebagai anak sekolahan," ucap Kaluna tegas. 

"Tugas pacaran?" tanya Evan.

"Belajar woy!" seru Kaluna.

"Mbak gak usah nasehatin aku soal pacaran, kejombloan mbak aja belum pecah telor dari lahir," cecar Evan membuat Kaluna terpaku ditempat lalu menatap nyalang sang adik. 

Evan hanya nyengir tanpa rasa bersalah. 

"Tau gitu mbak balikin kamu ke rahim Ibu pas masih kecil, gedenya rese gini!" seru Kaluna. 

***

Kaluna memutuskan untuk menunggu di taman karena Evan pasti lama memilih bukunya sedangkan Kaluna tidak tertarik dengan buku-buku. Hanya meggambar yang membuatnya bisa mengalihkan pikiran dan bisa dibilang kalau menggambar adalah dunianya sama dengan buku-buku adalah dunia lain untuk adiknya. 

"Ternyata benar," ucap seseorang yang berhasil membuat Kaluna menoleh. 

Kaluna tersenyum saat melihat siapa yang ada disampingnya sekarang. 

"Gak jaga cafe?" tanya Kaluna. 

"Sudah ada Kama, kamu sendiri?" tanya Delvin. 

Kaluna menunjuk adiknya yang sedang memilih beberapa buku, "Nemenin adik beli buku."

"Adik kamu suka beli di situ?" 

"Kayaknya udah langganan dari masuk SMP," jawab Kaluna. 

Keduanya kembali terdiam, memilih untuk menikmati jalanan sudirman yang ramai dihari minggu dengan tenang. 

"Kamu ada urusan apa disini?" tanya Kaluna. 

"Kemarin udah janji sama anak-anak sudirman buat belajar gambar lagi disini, tapi kayaknya pada telat karena harus kerja bantuin orang tua mereka dulu," jelas Delvin. 

"Anak-anak sudirman?" tanya Kaluna. 

"Iya, anak-anak waktu itu," ujar Delvin. 

Kaluna mengangguk paham, sepertinya akan seru jika ikut mengajari anak-anak jalanan itu. Hitung-hitung Kaluna juga berbagi ilmu. 

"Saya boleh ikut?" tanya Kaluna.

"Boleh, tapi adik kamu?" 

"Dia pasti mau nungguin kakaknya,"

Keduanya kembali dengan pemikiran masing-masing. Kaluna merasa akhir-akhir ini Ia lebih sering bertemu Delvin di jalan ini tentu saja secara tidak sengaja. Bolehkah Kaluna bilang ini takdir dan bukan kebetulan? Jika begini ceritanya, Kaluna jadi ingin berteman dengan Delvin. Apakah Delvin mau menjadi temannya? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status