Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud.
"Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat.
"Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.
Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk.
"A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih.
"Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.
Terdengar helaan nafas dari Anna, mata perempuan itu mulai berkaca-kaca. Ia tak menyangka sahabat terbaiknya dari kecil tiba-tiba membencinya. Anna selama ini tak tahu letak kesalahannya dimana. Yang Anna ingat pertemuan mereka terakhir kali baik-baik saja namun keesokan harinya Ia menemukan keduanya sudah berbeda, Kaluna pergi tanpa pamit dan menghilang bak ditelan bumi.
Anna sudah mencoba mencari ke rumah keluarga Kaluna yang lain tapi semua orang menolak memberi tahu, lebih tepatnya mereka tak mau tahu. Hal itu membuat Anna putus asa, Ia kehilangan sahabatnya. Dan setelah pertemuan keduanya setelah bertahun-tahun beberapa hari yang lalu membuatnya senang bukan main, namun perasaannya kembali dijatuhkan saat melihat respon Kaluna yang seperti membenci dirinya, Anna tak tahu dimana letak kesalahannya.
"Aku kangen kamu Na," lirih Anna.
Air mata Anna turun perlahan mengenai pipinya, Kaluna yang melihat hal itu berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri. Jauh dilubuk hati Kaluna yang paling dalam, Ia juga rindu pada sahabatnya itu namun Kaluna tak ingin terlihat selemah itu. Kaluna yang sekarang berbeda dengan Kaluna yang dulu. Semua sudah berbeda dan Kaluna meyakini hal itu.
Akhirnya Kaluna memilih untuk diam, Ia membiarkan Anna mengutarakan semua isi hatinya sesuka hati. Mungkin ini kesempatan terakhir mereka bertemu.
"Bahkan aku gak sempat nanyain kabar kamu gimana karena kamu terlalu keras menolak aku," sambung Anna.
Kaluna mempererat genggaman tangannya. Ia berusaha menahan emosi, bukan amarah namun sebuah simpati yang menurutnya berlebihan.
"Papa sama Mama selalu nanyain kabar kamu setelah aku bilang aku nemuin kamu disini, mereka khawatir sama kamu," ucap Anna.
"Aku juga pingin ketemu Evan, Ayah sama Ibu kamu."
Mendengar hal itu Kaluna mengalihkan perhatiannya dan memilih untuk menyesap minumannya guna menghilangkan perasaan mengganjal dihatinya.
"Ayah sama Ibu udah gak ada," jelas Kaluna masih dengan nada yang datar namun tangannya muali gemetar.
Anna menghentikan tangisnya namun beberapa saat kemudian Ia kembali menangis, kali ini lebih keras dari yang pertama sehingga membuat Kaluna makin panik.
"Gak usah nangis, mereka udah tenang disana," ucap Kaluna.
"Aku tahu kalau keluargamu baik sama keluargaku, bahkan sampai saat-saat terakhir Ibu dan Ayah, mereka masih mempercayai kalian. Tapi aku cuma mau melupakan semua yang ada dimasa lalu, aku sama Evan udah hidup dengan tenang jadi aku mohon sama kamu, stop. Berhenti An, jangan hubungi aku lagi," pinta Kaluna dengan frustasinya.
"Dan berhenti datang ke rumah, aku gak mau Evan kembali mengingat semua kejadian pahit itu, dia udah punya banyak trauma dihidupnya, dengan kedatangan kalian itu membuat Evan bisa kembali jatuh ke memorinya yang paling menyakitkan, aku gak mau adikku sakit lagi."
Anna kembali terisak bahkan kini Kaluna meneteskan air matanya.
"Kamu gak salah apapun, aku yang menjauh dari semuanya. Jadi jangan bikin diri kamu menderita An. Kamu juga berhak bahagia dengan hidupmu yang sekarang. Kamu gak perlu urusin kami yang ada di masa lalu mu. Kamu juga berhak bahagia Anna," imbuh Kaluna.
Keduannya kembali terdiam, Anna masih dengan isak tangisnya sedangkan Kaluna hanya menunggu sampai Anna menjadi lebih baik. Ia tak bisa meninggalkan Anna menangis sendirian walaupun Ia ingin sekali segera pergi dari tempat ini. Dari dulu Kaluna selalu menangis sendirian dan itu rasanya sakit dan mencekik seakan semua orang meninggalkannya dan dia sendiri, itu sebabnya Ia sebisa mungkin tidak menjadi orang jahat yang meninggalkan orang lain saat menangis.
Kaluna memutuskan untuk pergi ke toilet sebentar untuk kembali menata perasaannya. Ia tak bisa terus-terusan bersikap kuat seperti ini, Kaluna butuh istrirahat sejenak.
Baru saja Ia keluar dari toilet, Kaluna terkesiap dengan Delvin yang sudah menunggunya disamping pintu.
"Kamu ngapain disini?" tanya Kaluna bingung.
Delvin hanya diam menatap Kaluna dari atas sampai bawah sehingga yang ditatap menjadi salah tingkah sendiri.
"Kamu gak papa?" tanya Delvin.
Kaluna tersenyum, raut wajahnya memancarkan perasaan cerah namun matanya tak bisa berbohong. Tersirat ada kepedihan disana dan Delvin bisa dengan jelas menangkap hal itu.
"Saya gak kenapa napa, disini pihak jahatnya saya Vin," jelas Kaluna dengan tenang.
"Tapi saya bisa liat jelas kalau kamu-" cecar Delvin namun belum selesai berbicara ucapannya langsung dipotong oleh Kaluna.
"Kamu belum kenal saya sejauh itu, kalau saya bilang saya gak papa, itu artinya saya benar-benar baik - baik saja," potong Kaluna.
Delvin tersenyum kecil dan tanpa berbicara lagi laki-laki itu menjauh dari Kaluna dan kembali ke meja kasir. Kaluna yang melihat hal itu tiba-tiba merasa bersalah. Mungkin Ia sudah keterlaluan, bukankah keduanya memutuskan untuk berteman kemarin, jika seperti ini Kaluna yang salah. Wajah jika Delvin mengatakan hal itu, karena mereka berteman.
Kaluna kembali ke meja nya dan menatap Anna yang sudah mulai tenang. Saat Ia hendak membereskan barang-barangnya dan pergi, namun tiba-tiba Anna mengatakan sesuatu yang berhasil membuat Kaluna terdiam kembali di tempatnya.
"Papaku mau bantuin kamu untuk urus semuanya, kita harus perbaiki nama baik keluarga kamu Lun."
Tentu saja itu yang dari dulu diinginkan Kaluna namun sejak delapan tahun lalu Ia memutuskan mengubur hal itu bersama dengan kepergian orang tuanya. Kaluna tak tau bagaimana memulainya dan Ia memutuskan untuk mengakhiri semua dan hidup sebagai orang asing di tempat yang baru.
"Buat apa?" tanya Kaluna sinis.
"Aku udah tahu semuanya Lun, tentang keluarga kamu, papa udah cerita semuanya. Kita punya celah untuk memperbaiki semuanya," ujar Anna.
"Memangnya aku punya apa An? Aku bukan siapa-siapa lagi, dan hal-hal itu terlalu besar untuk anak yatim piatu kayak aku," ucap Kaluna.
Saat Anna hendak menyahut tiba-tiba terdengar dering telfon milik Kaluna. Kaluna menatap ragu siapa yang menelfonya siang bolong seperti ini. Kaluna makin dibuat bingung saat yang menelfonnya adalah wali kelas Evan.
Kaluna dengan segera pergi dari hadapan Anna tanpa penjelasan, yang Ia butuhkan sekarang adalah dengan cepat sampai di sekolah adiknya. Namun saat Ia hendak berjalan menuju pintu keluar, kakinya tak sengaja tersandung kaki kursi, untungnya ada Delvin yang menangkapnya tepat waktu sebelum lutut dan badannya merasakan kerasnya lantai.
"Kamu kenapa?" tanya Delvin dengan penuh perhatian.
"Adikku," ucap Kaluna dengan nada bergetar dan manik mata yang tak fokus, hal itu membuat Delvin tak tega membiarkan Kaluna pergi sendiri.
"Saya antar," ucap Delvin.
Laki-laki itu segera melepas celemeknya dan menyambar kunci motor yang ada disaku. Delvin menuntun Kaluna ke motornya.
Disepanjang jalan Kaluna hanya terdiam memikirkan alasan-alasan yang membuat adiknya menyebabkan masalah di sekolah. Seingat Kaluna adiknya selalu baik-baik saja dan tak pernah bertingkah apalagi bertengkar. Melihat kucing yang kakinya tergores saja Evan sedih apalagi menyakiti manusia, adiknya tidak segampang itu tersulut emosi.
Kaluna meredam semua rasa khawatirnya, Ia tak mungkin tidak mengenal adiknya. Adiknya bukan orang seperti itu. Namun jauh dilubuk hatinya, apakah Ia sudah benar mendidik Sang Adik? Apakah Ia sudah paham betul perasaan anak remaja itu? Apakah Kaluna sudah menjadi sosok Ayah, Ibu dan Kakak yang baik untuk adiknya?
Disepanjang jalan Kaluna menangis, mengeluarkan semua emosinya. Namun Ia mencoba berpikir positif, adiknya pasti punya alasan meskipun Kaluna tahu, Ia tak bisa menerima apapun alasannya jika itu menyebabkan terjadinya kekerasan.
Evan menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan sinis. Ia tak tahu jika kedatangannya kembali ke sekolah justru disambut dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Yang dirinya takutkan bukan masalah padangan teman-temannya namun kakaknya. Kakaknya dipanggil ke sekolah karena dirinya bertengkar dengan Logan. Evan tahu dirinya salah namun Logan pantas mendapatkan pukulan darinya."Evan, bisa kamu jelaskan awal masalahnya?" tanya Bu Darini selaku wali kelas dan guru bimbingan konseling.Evan hanya diam, Ia tak mau menjelaskan apapun. Namun Logan yang memang cerewet dari sananya malah mendecih keras membuat Evan lagi-lagi tersulut emosi."Ibu kan sudah saya bilangi, dia tuh nonjok saya cuma karena saya baca berita tentang masa lalu dia. Padahal kan seluruh sekolah juga baca, kenapa cuma saya yang ditonjok, harusnya tuh dia juga nonjokin anak-anak lain biar sekalian dikira orang gila," cecar Logan dengan nada sengak.Evan hanya diam tak m
Kaluna mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua. Saat tiba di ruangannya yang bisa Ia temukan hanya Lila da Gama yang sepertinya menunggu dirinya. Kaluna panik namun sebisa mungkin memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang positif meskipun sekarang kenyataannya tak seindah realita, terlalu banyak pikiran negatif yang ada dipikirannya sekarang. "Kamu kemana aja sih!" seru Lila. Sahabatnya itu segera berlalu dan pergi ke runag rapat meninggalkan Kaluna dan Gama yang masih ada disana. "Mas, gimana nih?" tanya Kaluna yang masih panik. "Ya gimana lagi Na, Pak Bos sendiri yang minta dan kamu harus siap dengan semua hal yang terjadi setelah ini," ujar Gama. "Biasanya bapak gak pernah mau ikut rapat besar sama karyawan mas, biasanya dia mau rapatnya sama petinggi aja kan kenapa tiba-tiba?" tanya Kaluna. "Gak tau Kaluna, kamu siapin diri ya." Jawaban Gama sama sekali tidak memberi ketenangan apapun. Kaluna menghirup nafas
Kaluna telah sampai di lantai tiga, dihadapan pintu terbesar yang ada di lantai ini. Ia memantapkan hati dan masuk dengan pelan-pelan.Benar saja, Pak Bos telah menunggunya dengan senyuman paling lebar. Kaluna yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal. Semua tingkah laku Bosnya hari ini benar-benar membuatnya tak habis pikir."Gimana kejutannya Nak?" tanya Pak Bos."Iya pak, sangat mengejutkan, Luna gak habis pikir kalau Pak Bos akan ungkapin semuanya," ucap Kaluna membuat pria paruh baya dihadapannya itu tertawa renyah."Kenapa gak bilang kalau kamu di bully satu kantor karena foto itu?" tanya Pak Bos."Ya karena gak perlu dibesar-besarin juga, Luna gak dibully cuma-""Cuma dijauhin dan digosipin, gitu?" potong Pak Bos.Kaluna menghembuskan nafasnya kasar. Benar-benar sesuatu orang dihadapannya ini. Bahkan dipertemuan pertama mereka orang tua ini sangat ajaib di mata Kaluna.Kaluna saat itu sedang pulang da
Kaluna turun dari mobil milik Pak Bos yang biasa menjemputnya. Malam ini penampilan Kaluna sangat spesial pasalnya kini Ia sudah cantik dengan dress malam yang membalut tubuh tak lupa make up tipis dan rambut yang tergerai indah sangat cocok untuknya. Penampilan seperti ini sangat jarang diperlihatkan pada kehidupannya sehari-hari.Evan juga sudah siap dengan gayasemi formal khas anak muda tak lupa sepatu pemberian Pak Bos sudah pas dikenakan.Kaluna malam ini sangat gugup karena ini pertama kalinya Ia mengikuti acara formal seperti ini dan diluar jam kantor. Biasanya Ia tak pernah ikut acara besar seperti ini apalagi sebagai putri seorang Pak Bos."Gugup mbak?" tanya Evan."Enggak," elak Kaluna.Evan mengambil tangan sang kakak dan melingkarkan pada lengannya. Kaluna hanya bisa mengulum senyum dengan tingkah lucu adiknya.Semua mata tertuju pada mereka berdua saat keduanya masuk ke area acara yang b
Kaluna menatap kearah Anna tanpa minat. Sebenarnya Ia sendiri tak tak tahu apa alasan dirinya mau datang kesini karena terakhir kali mereka bertemu, Ia sudah menetapkan bahwa itu adalah pertemuan terakhir keduanya.“Apa Ann, kenapa?” tanya Kaluna.“Luna, ternyata kamu itu-”“Aku kenapa?” potong Kaluna.“Dengerin dulu,” omel Anna.Kaluna hanya mengangguk kecil dan membiarkan Anna meneruskan ucapannya. Sebenarnya sejak kedatangannya, Kaluna sangat penasaran dengan isi amplop itu.“Kamu ada kesempatan Na,” ucap Anna ambigu.“Jelasin yang bener, jangan setengah-setengah,” kesal Kaluna.“Oke dengerin baik-baik, kamu tahu kasus runtuhnya jembatan di kota kita?” tanya Anna.Kaluna mengangguk, kasus itu terjadi beberapa minggu yang lalu padahal setahu Kaluna itu adalah jembatan yang baru dibangun. Kaluna tahu karena beritanya sudah ada di televis
Kaluna terbangun dari tidurnya karena ketukan asal yang terdengar dari pintu kamarnya. Ia sejenak bingung dengan ruangan ini karena ini bukan kamarnya yang biasanya, namun setelah beberapa detik Ia baru ingat bahwa dirinya menginap di rumah Pak Bos. “Mbak bangun!!”teriak Evan dari luar. Kaluna dengan langkah gontai berjalan menuju pintu, hal ini sedikit asing karena biasanya di kontrakan jarak kasur ke pintu hanya tiga langkah namun sekarang memerlukan waktu cukup lama beberapa detik untuk sampai di pintu akibat kamar yang terlalu luas ini. “Apa sih Van? Masih pagi,” omel Kaluna. Adiknya kini sudah terlihat segar namun ada keringat menetes dipelipis Sang Adik. “Kamu dari mana?” tanya Kaluna. “Gym, ternyata di belakang ada gym nya,” jelas Evan yang hanya direspon Kaluna seadannya. “Buruan mandi, di ajak sarapan sama Pakde,” ucap Evan. “Pakde gundulmu,” seru Kaluna sambil menutup pintunya rapat-rapat mengabaikan omelan Sa
Kaluna baru saja hendak berpamitan pulang namun niatnya terhenti saat melihat seorang nenek-nenek keluar dari rumah Delvin dengan menggunakan tongkat. Delvin menghampiri nenek itu, Kaluna yakin itu adalah nenek Delvin."Nenek mau kemana?" tanya Delvin."Kamu ada tamu?" tanya Sang Nenek sambil menatap ke arah Kaluna."Teman Delvin Nek," jelas Delvin.Kaluna segeran menghampiri keduanya dan memberi salam dengan sopan. Nenek Delvin ikut tersenyum dan mempersilahkan Kaluna untuk masuk ke dalam rumah."Delvin jarang bawa teman ke rumah, paling sering itu Kama. Makannya Nenek senang sekali Kaluna main kesini, nenek khawatir dia gak punya teman," ucap Nenek Delvin.Kaluna tersenyum manis dan sesekali menatap Delvin yang memperhatikan neneknya dengan sayang. Kebanyakan laki-laki akan protes saat ada orang yang berkata hal itu, namun Delvin hanya diam dan memperhatikan."Delvin temennya banyak Nek, cuman sem
Angin berhembus kencang membuat rambut Kaluna yang tadinya tertata rapih menjadi sedikit berantakan dan berterbangan. Kedua kakinya melangkah keluar dari area pemakaman ke arah barat.Lima menit berjalan, Kaluna sudah sampai di sebuah rumah bercat biru dengan sebuah warung kecil di depannya. Ia mampir sebentar untuk membeli minum di sana guna beristirahat dan melepaskan dahaga sejenak."Loh, Kaluna?" pekik seorang ibu-ibu yang datang dari rumah sebelah.Kaluna segera berdiri dan menghampiri ibu tersebut dengan sopan."Beneran Kaluna toh?" ucap ibu itu tak percaya.Kaluna mengangguk dan menyalami ibu itu dengan sopan."Ini bener Kaluna Bu Dwi, Ibu gimana kabarnya?" tanya Kaluna."Alhamdulillah nak baik, kamu sama Evan gimana kabarnya?" jawab Bu Dwi sambil menuntun Kaluna untuk duduk di teras rumahnya."Kami baik Ibu," ucap Kaluna.Kaluna memperhatikan halaman rumah Bu Dwi. Tak ada yang berbed