Share

12. Pertemuan Singkat

Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud. 

"Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat. 

"Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna. 

Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk. 

"A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih. 

"Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna. 

Terdengar helaan nafas dari Anna, mata perempuan itu mulai berkaca-kaca. Ia tak menyangka sahabat terbaiknya dari kecil tiba-tiba membencinya. Anna selama ini tak tahu letak kesalahannya dimana. Yang Anna ingat pertemuan mereka terakhir kali baik-baik saja namun keesokan harinya Ia menemukan keduanya sudah berbeda, Kaluna pergi tanpa pamit dan menghilang bak ditelan bumi. 

Anna sudah mencoba mencari ke rumah keluarga Kaluna yang lain tapi semua orang menolak memberi tahu, lebih tepatnya mereka tak mau tahu. Hal itu membuat Anna putus asa, Ia kehilangan sahabatnya. Dan setelah pertemuan keduanya setelah bertahun-tahun beberapa hari yang lalu membuatnya senang bukan main, namun perasaannya kembali dijatuhkan saat melihat respon Kaluna yang seperti membenci dirinya, Anna tak tahu dimana letak kesalahannya. 

"Aku kangen kamu Na," lirih Anna. 

Air mata Anna turun perlahan mengenai pipinya, Kaluna yang melihat hal itu berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri. Jauh dilubuk hati Kaluna yang paling dalam, Ia juga rindu pada sahabatnya itu namun Kaluna tak ingin terlihat selemah itu. Kaluna yang sekarang berbeda dengan Kaluna yang dulu. Semua sudah berbeda dan Kaluna meyakini hal itu. 

Akhirnya Kaluna memilih untuk diam, Ia membiarkan Anna mengutarakan semua isi hatinya sesuka hati. Mungkin ini kesempatan terakhir mereka bertemu. 

"Bahkan aku gak sempat nanyain kabar kamu gimana karena kamu terlalu keras menolak aku," sambung Anna. 

Kaluna mempererat genggaman tangannya. Ia berusaha menahan emosi, bukan amarah namun sebuah simpati yang menurutnya berlebihan. 

"Papa sama Mama selalu nanyain kabar kamu setelah aku bilang aku nemuin kamu disini, mereka khawatir sama kamu," ucap Anna. 

"Aku juga pingin ketemu Evan, Ayah sama Ibu kamu." 

Mendengar hal itu Kaluna mengalihkan perhatiannya dan memilih untuk menyesap minumannya guna menghilangkan perasaan mengganjal dihatinya. 

"Ayah sama Ibu udah gak ada," jelas Kaluna masih dengan nada yang datar namun tangannya muali gemetar.

Anna menghentikan tangisnya namun beberapa saat kemudian Ia kembali menangis, kali ini lebih keras dari yang pertama sehingga membuat Kaluna makin panik. 

"Gak usah nangis, mereka udah tenang disana," ucap Kaluna. 

"Aku tahu kalau keluargamu baik sama keluargaku, bahkan sampai saat-saat terakhir Ibu dan Ayah, mereka masih mempercayai kalian. Tapi aku cuma mau melupakan semua yang ada dimasa lalu, aku sama Evan udah hidup dengan tenang jadi aku mohon sama kamu, stop. Berhenti An, jangan hubungi aku lagi," pinta Kaluna dengan frustasinya. 

"Dan berhenti datang ke rumah, aku gak mau Evan kembali mengingat semua kejadian pahit itu, dia udah punya banyak trauma dihidupnya, dengan kedatangan kalian itu membuat Evan bisa kembali jatuh ke memorinya yang paling menyakitkan, aku gak mau adikku sakit lagi." 

Anna kembali terisak bahkan kini Kaluna meneteskan air matanya. 

"Kamu gak salah apapun, aku yang menjauh dari semuanya. Jadi jangan bikin diri kamu menderita An. Kamu juga berhak bahagia dengan hidupmu yang sekarang. Kamu gak perlu urusin kami yang ada di masa lalu mu. Kamu juga berhak bahagia Anna," imbuh Kaluna. 

Keduannya kembali terdiam, Anna masih dengan isak tangisnya sedangkan Kaluna hanya menunggu sampai Anna menjadi lebih baik. Ia tak bisa meninggalkan Anna menangis sendirian walaupun Ia ingin sekali segera pergi dari tempat ini. Dari dulu Kaluna selalu menangis sendirian dan itu rasanya sakit dan mencekik seakan semua orang meninggalkannya dan dia sendiri, itu sebabnya Ia sebisa mungkin tidak menjadi orang jahat yang meninggalkan orang lain saat menangis. 

Kaluna memutuskan untuk pergi ke toilet sebentar untuk kembali menata perasaannya. Ia tak bisa terus-terusan bersikap kuat seperti ini, Kaluna butuh istrirahat sejenak. 

Baru saja Ia keluar dari toilet, Kaluna terkesiap dengan Delvin yang sudah menunggunya disamping pintu.

"Kamu ngapain disini?" tanya Kaluna bingung.

Delvin hanya diam menatap Kaluna dari atas sampai bawah sehingga yang ditatap menjadi salah tingkah sendiri. 

"Kamu gak papa?" tanya Delvin. 

Kaluna tersenyum, raut wajahnya memancarkan perasaan cerah namun matanya tak bisa berbohong. Tersirat ada kepedihan disana dan Delvin bisa dengan jelas menangkap hal itu. 

"Saya gak kenapa napa, disini pihak jahatnya saya Vin," jelas Kaluna dengan tenang. 

"Tapi saya bisa liat jelas kalau kamu-" cecar Delvin namun belum selesai berbicara ucapannya langsung dipotong oleh Kaluna.

"Kamu belum kenal saya sejauh itu, kalau saya bilang saya gak papa, itu artinya saya benar-benar baik - baik saja," potong Kaluna. 

Delvin tersenyum kecil dan tanpa berbicara lagi laki-laki itu menjauh dari Kaluna dan kembali ke meja kasir. Kaluna yang melihat hal itu tiba-tiba merasa bersalah. Mungkin Ia sudah keterlaluan, bukankah keduanya memutuskan untuk berteman kemarin, jika seperti ini Kaluna yang salah. Wajah jika Delvin mengatakan hal itu, karena mereka berteman. 

Kaluna kembali ke meja nya dan menatap Anna yang sudah mulai tenang. Saat Ia hendak membereskan barang-barangnya dan pergi, namun tiba-tiba Anna mengatakan sesuatu yang berhasil membuat Kaluna terdiam kembali di tempatnya. 

"Papaku mau bantuin kamu untuk urus semuanya, kita harus perbaiki nama baik keluarga kamu Lun."

Tentu saja itu yang dari dulu diinginkan Kaluna namun sejak delapan tahun lalu Ia memutuskan mengubur hal itu bersama dengan kepergian orang tuanya. Kaluna tak tau bagaimana memulainya dan Ia memutuskan untuk mengakhiri semua dan hidup sebagai orang asing di tempat yang baru. 

"Buat apa?" tanya Kaluna sinis. 

"Aku udah tahu semuanya Lun, tentang keluarga kamu, papa udah cerita semuanya. Kita punya celah untuk memperbaiki semuanya," ujar Anna. 

"Memangnya aku punya apa An? Aku bukan siapa-siapa lagi, dan hal-hal itu terlalu besar untuk anak yatim piatu kayak aku," ucap Kaluna. 

Saat Anna hendak menyahut tiba-tiba terdengar dering telfon milik Kaluna. Kaluna menatap ragu siapa yang menelfonya siang bolong seperti ini. Kaluna makin dibuat bingung saat yang menelfonnya adalah wali kelas Evan. 

Kaluna dengan segera pergi dari hadapan Anna tanpa penjelasan, yang Ia butuhkan sekarang adalah dengan cepat sampai di sekolah adiknya. Namun saat Ia hendak berjalan menuju pintu keluar, kakinya tak sengaja tersandung kaki kursi, untungnya ada Delvin yang menangkapnya tepat waktu sebelum lutut dan badannya merasakan kerasnya lantai. 

"Kamu kenapa?" tanya Delvin dengan penuh perhatian. 

"Adikku," ucap Kaluna dengan nada bergetar dan manik mata yang tak fokus, hal itu membuat Delvin tak tega membiarkan Kaluna pergi sendiri. 

"Saya antar," ucap Delvin. 

Laki-laki itu segera melepas celemeknya dan menyambar kunci motor yang ada disaku. Delvin menuntun Kaluna ke motornya. 

Disepanjang jalan Kaluna hanya terdiam memikirkan alasan-alasan yang membuat adiknya menyebabkan masalah di sekolah. Seingat Kaluna adiknya selalu baik-baik saja dan tak pernah bertingkah apalagi bertengkar. Melihat kucing yang kakinya tergores saja Evan sedih apalagi menyakiti manusia, adiknya tidak segampang itu tersulut emosi. 

Kaluna meredam semua rasa khawatirnya, Ia tak mungkin tidak mengenal adiknya. Adiknya bukan orang seperti itu. Namun jauh dilubuk hatinya, apakah Ia sudah benar mendidik Sang Adik? Apakah Ia sudah paham betul perasaan anak remaja itu? Apakah Kaluna sudah menjadi sosok Ayah, Ibu dan Kakak yang baik untuk adiknya? 

Disepanjang jalan Kaluna menangis, mengeluarkan semua emosinya. Namun Ia mencoba berpikir positif, adiknya pasti punya alasan meskipun Kaluna tahu, Ia tak bisa menerima apapun alasannya jika itu menyebabkan terjadinya kekerasan. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status