“Bukankah, aku tidak benar-benar mengulangnya dari awal?” ucap Astro memperhatikan bundelan kertas di tangannya. “Pada akhirnya dia hanya menulis apa yang sudah dialami, tanggung jawab apanya? Kenapa dia juga kembali tidak bisa melihatku?”
Melihat Tiara membelakanginya, di tepi kasur Astro mengamati aktivitas Tiara yang sudah ia hafal itu. “Aneh, Aku berasa sedikit lega karena masih bisa melihatnya dari dekat.”
Astro tidak bisa melakukan seperti yang dulu ia lakukan, menjahili dan berusaha untuk keberadaanya diketahui. Setelah Astro tahu jika perbuatannya dulu itu sangat membuat Tiara tersiksa. Menunggu seperti ini adalah pilihannya.
***
“Dewi Amiola, Dewi yang sudah dipersiapkan sebagai Dewi Agung untuk bersama Dewa Asoka. Kecantikan, kepribadian, bahkan kepintarannya membuatnya mendapatkanbanyak pendukung dari bangsawan Suku Dewa. Dewi bersejarah di masa peperangan Suku Dewa dan Suku Iblis yang tidak pernah kete
Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
“Udah tahu Sisca begitu.” Tiara menanggapi sejenak curhatan Ilham. Ia mendengarkannya, tapi tidak ada ide untuk memberikan saran yang baik. “Lo nggak ada cita-cita bantuin gue apa?” pertanyaan terakhir itu, Tiara menekan tombol delete setelah mem-blok semua tulisannya. Srup~ Ilham menghabiskan minumannya sebelum siap bekerja untuk Tiara. “Apa yang bisa gue bantu?” Tiara menyodorkan flashdisk di atas meja. “Cari file tentang kutukkan Astro. Waktunya tinggal besok untuk up bab 2, kalau terlewat gue harus cari bahan lain untuk lanjut revisi bab 3.” Ilham mengambil flashdisk itu, lalu mengamati keseriusan Tiara. Ia semakin tidak tega melihat Tiara saat ini lebih depresi daripada ‘diganggu setan’ saat itu. “Kalau boleh tahu, Ti. Gimana sih perjanjian lo sama editor? Bukannya Madam Asri keras kepala masalah publish per-babnya setiap minggu? Dan setahu gue Editor nggak akan bisa berbuat apa-apa kala
Ruang rapat menjadi hening. Madam Asri, Kania, dan Nani mencoba memahami penjelasan Tiara yang seperti dongeng anak-anak. Seperti terjatuh pada dunia imajinasinya sendiri. Semakin meragukan saat Tiara mengatakan, “Aku terbangun dan tidak mengingat apapun. Tapi aku yakin kalau sudah terjadi sesuatu setelah aku pulang dari acara lauching.” Tuk tuk tuk. Suara ketukan pena dengan meja beradu. Itu perbuatan Madam Asri yang ingin mengatakan sesuatu, namun sangat ia pertimbangkan. “Bagaimana jika aku memberikan alternatif, tanpa harus menarik naskah yang sudah kamu kirim. Karena menghapus bab pertama yang sudah di-upload belum tentu menghapus jejak digitalnya. Bisa saja ada yang menyalinnya.” “Alternatif bagaimana Madam?” Tiara tahu betul emosinya begitu menggebu sampai memaksakan kehendak, jadi ia berusaha mendengarkan apa yang disarankan Madam Asri. Madam Asri memutar pena dengan jar
Ruang rapat menjadi hening. Madam Asri, Kania, dan Nani mencoba memahami penjelasan Tiara yang seperti dongeng anak-anak. Seperti terjatuh pada dunia imajinasinya sendiri. Semakin meragukan saat Tiara mengatakan, “Aku terbangun dan tidak mengingat apapun. Tapi aku yakin kalau sudah terjadi sesuatu setelah aku pulang dari acara lauching.” Tuk tuk tuk. Suara ketukan pena dengan meja beradu. Itu perbuatan Madam Asri yang ingin mengatakan sesuatu, namun sangat ia pertimbangkan. “Bagaimana jika aku memberikan alternatif, tanpa harus menarik naskah yang sudah kamu kirim. Karena menghapus bab pertama yang sudah di-upload belum tentu menghapus jejak digitalnya. Bisa saja ada yang menyalinnya.” “Alternatif bagaimana Madam?” Tiara tahu betul emosinya begitu menggebu sampai memaksakan kehendak, jadi ia berusaha mendengarkan apa yang disarankan Madam Asri. Madam Asri memutar pena dengan jar
Kantor T&J Publishing. Dalam sebuah ruang kerja dengan suasana panas yang dipenuh buku dari susunan di rak yang sangat rapi sampai yang bergeletakan di atas meja dan lantai. Editor Kania. Begitulah pemandangan ruang kerjanya, ia tidak peduli dengan keadaan sekitar asalkan pekerjaanya selesai dan tidak ada masalah yang berarti. Hanya saja Editor yang terlihat lemah lembut di mata para Penulis, sebenarnya sangat apatis pada sesutu yang tidak berhubungan dengan pekerjaanya. Sekarang ia disibukkan dengan seorang Penulis dengan naskah yang sudah sempurna, namun bermasalah. Maka Kania akan lebih keras kepada dirinya sendiri, seakan hidup hanya didedikasikan untuk bekerja. “Ekspresi itu ... Benar, Penulis Tiran terlihat depresi. Hanya saja saya terganggu dengan sorot matanya,” gumam Kania mengingat negosiasinya minggu lalu. “Ada apa Editor Kania? Anda melamun?” Editor Nani, Editor penerjemah semua karya yang dipegang oleh Kania. Tadinya ia datang untuk memberika
“DOR! Hahaha ....” Dengan usilnya Tiara mengagetkan seseorang yang tengah memunggunginya. Ia tertawa lebih dulu untuk menganggapnya sebuah candaan, padahal itu tidak lucu bagi korban. Dan Tiara yang ingin berlari pergi agar tidak dimarahi dicekal cepat oleh korban. Matanya hanya menatap Tiara dingin cukup mengintimidasi, namun gadis itu tanpa rasa bersalah tertawa semakin kencang. “Oke-oke gue minta maaf. Lepasin, Ba. Tangan gue sakit.” Korban itu adalah Bayu, lelaki yang sedang fokus dengan tugas makalahnya. Bayu langsung melepas tangan Tiara. Ia tidak bermaksud menyakiti gadis itu, tapi posisi mereka memang tidak bagus. “Gitu banget, kenapa Beb? Kangen gue ya?” Tiara duduk di samping Bayu dan meledek tatapan tajam yang lelaki itu berikan. Entah bagaimana ekspresi dingin Bayu seperti hiburan baginya. Karena wajah itulah yang membuat Tiara jatuh cinta. “Tiara, jangan bercanda!” Tiara yang menurutinya langsung d
“Bayu, gue cinta sama lo.” “Hah?” Bayu yang tiba-tiba mendengar itu terkejut. Ini memang bukan pertama kalinya ia mendengar pernyataan cinta dari Tiara, dan bukan pertama kalinya Tiara berbicara tidak nyambung seperti ini. Tapi kata-kata itu ... seperti bukan ditujukan padanya. Deg deg! Deg deg! Tiara meremas dada sebelah kirinya. Perasaan jantung yang berdebar ini membuatnya mual. Ia pikir karena sedang berada di dekat Bayu, tapi setelah menyatakan cinta Tiara baru sadar jika ritmenya berbeda. Tiara ketakutan. “Akh!” Nging~ Dengung di telinga Tiara bersamaan dengan sesuatu di kepalanya terasa sakit. Tiara meremas lengan kemeja Bayu dengan tangan yang lain memegang kepalanya. “Lo kenapa?” Bayu terkejut melihat keadaan Tiara yang tiba-tiba, namun tidak menunjukkan sikap kekhawatiran. Ia hanya merespon seperlunya. Tiara yang merasa tidak mendapatkan perhatian dari Bayu mendekatkan tubuhnya hingga menempel. Kesempa
Single bad berukuran 200 cm × 90 cm. Kaki jenjang itu hanya bisa terbaring dengan setengah duduk. Buku ilmiah, novel, dan buku pengetahuan umum lainnya berserakan di bawah ranjang dengan keadaan terbuka di halaman terakhir. Dan si pemilik kaki jenjang itu memegang buku terakhir yang sedang di bacanya. Tanpa pencahayaan, mata merahnya bercahaya dan mampu melihat di dalam kegelapan. Bola matanya bergerak cepat, tanpa gerakan tangan yang berarti lembar buku terbuka dengan sendirinya. Cekrek! Seketika mata merah yang bercayaha itu redup, mata yang beralih pada pintu membuatnya cepat menjentikkan jari dan ia hilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Klik! Lampu di kamar menyala. Mengedarkan pandangannya, gadis pemilik kamar seperti men-scan keadaan. Suhu kamar yang sedikit sejuk terasa wajar bila diingat sudah tidak ditempati hampir 3 minggu. Kondisi dan tata latak barang di kamarnya pun tidak ada yang berubah dari yang terakhi
Karena hari libur, Tiara hanya berbaring menatapi ponselnya. Balasan pesan yang ia tunggu-tunggu tidak ada kelanjutan, padahal ia sudah spam termasuk sosial medianya juga. Tiara ingin mengajak Bayu pergi keluar. Tidak ada lagi teman yang bisa diajak, Sisca ada urusan keluarga dan Ilham sibuk kerja sampingan dengan Madam Asri. Dengan rasa tanggung jawab ingin Tiara membuka laptopnya untuk menulis, tapi rasanya mual, tidak ada yang bisa membuat Tiara menulis. Tiara sempat terlintas sebuah alur percintaan dengan latar belakang keranjaan Tiongkok bergenre fantasi. Sebuah kisah tragis yang berakhir pengorbanan sang Guru untuk negara dengan keegoisan cinta seorang pemuda, tidak lain murid Guru tersebut. Sementara Tiara ingin menulis terlebih dahulu di ponselnya untuk memulai adegan apa yang cocok untuk pembukaan, kepala Tiara berasa berdenyut. Seketika sebuah memori muncul hingga membuatnya jatuh dari kasur sakin terkejutnya. Bruk!