Pagi ini, aku berangkat agak lebih pagi dari biasanya, karena ada jam praktik di laboratorium fisika di jam ke 0. Ibu menyiapkan bekal 2 rangkap roti isi selai kacang kesukaanku serta air putih hangat seperti biasanya. Aku tidak begitu suka pergi ke kantin. Aku hanya akan ke sana bila diseret paksa oleh teman-temanku. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi, aku tidak suka dengan keramaian. Satu-satunya keramaian yang aku suka hanya keramaian pada saat tim basketku melawan tim dari sekolah lain dalam suatu pertandingan.
Kembali ke masalah kantin tadi. Karena kantin selalu penuh saat jam istirahat, maka sebisa mungkin aku menghindari kantin. Aku tidak suka dengan perhatian lebih yang diberikan oleh gadis-gadis labil di sekolahku, bila aku berada di kantin. Aku tidak seperti Aji, sang Ketua OSIS, yang justru terlihat santai bila didekati oleh kaum hawa. Sejak dulu. Sejak pertama kali aku menapakkan kakiku di sekolah ini, aku sudah membatasi diriku sendiri untuk tidak pergi ke kantin, bila tidak terpaksa.
Sekolahku bukan lah sekolah biasa. Melainkan sekolah yang terkenal sebagai sekolah yang sarat prestasi, baik akademik maupun non akademik, meski bukan sekolah negeri. Kalian pasti tahu seperti apa siswa-siswi yang sekolah di sekolah swasta. Ya, sebagian besar mereka berasal dari keluarga dengan tingkat kemapanan sosial ekonomi di atas rata-rata. Dan tentu, itu berpengaruh pada cara berpakaian, sikap dan tutur kata mereka. Belum lagi berbagai label barang yang melekat pada tubuh mereka atau yang mereka bawa.
Jika aku ingin merasakan cinta monyet seperti teman-temanku, aku bisa tinggal pilih. Tinggal ku datangi mereka atau hanya mengirim selembar kertas yang bertuliskan, mau jadi pacarku?, maka dalam sekejap aku sudah bisa menggandeng salah satu gadis labil yang memujaku. Tapi sayang, aku tidak tertarik untuk hal itu. Aku tidak tertarik dengan hubungan yang menurutku hanya buang-buang waktu dan uang saja. Aku lebih nyaman berjalan sendiri, menikmati waktu bersama teman sebangku atau teman satu tim basketku.
Pernah suatu ketika, sahabatku Ivan mengatakan bahwa aku punya bakat untuk menjadi seorang don juan. Ck.. Aku hanya tertawa mendengarnya. Menurut Ivan, aku punya semua kriteria untuk menjadi seorang Don Juan. Untuk yang satu ini, aku tidak memberikan tanggapanku. Aku tidak suka mempermainkan hati seseorang terlebih lagi bila ia seorang perempuan. Aku takut. Bila aku menyakiti hati seorang perempuan maka aku beranggapan aku telah menyakiti wanita yang sangat aku sayangi, ibuku. Dan aku tidak mau itu terjadi.
Karena itulah, aku sangat menjauhi urusan dengan perempuan. Aku tidak mau terlibat jauh dengan salah seorang dari mereka, yang selalu berusaha menarik perhatianku. Aku bersikap dingin, cenderung angkuh malah. Tidak pernah kutampakkan senyumanku saat berhadapan atau secara tidak sengaja menyenggol mereka atau barang milik mereka. Hanya wajah datar yang ku pasang. Tanpa senyuman. Tapi anehnya, mereka justru semakin berusaha untuk mendekatiku. Terserah saja... Aku tidak perduli.
Hanya ada satu gadis yang berhasil menarik perhatianku.
Usianya jauh dariku. Tidak, tidak. Hanya terpaut 4 tahun dariku. Tapi entahlah, aku justru merasa ingin mengenalnya, lebih mengenalnya. Ia tidak pernah memandangku. Mencoba mencuri pandangpun tidak. Tidak seperti gadis-gadis di sekolahku. Ia berbeda. Apa karena ia masih kecil? Kurasa tidak. Karena setiap aku berangkat dan pulang sekolah, anak-anak SD, tempatnya bersekolah, yang setiap hari kulewati jalannya, selalu meneriakiku,"Kakak ganteng!".
Hahaha.. Katakan aku baper tapi itulah kenyataannya. Terkadang dirumah, ketika ibu menyuruhku untuk menggantikan beliau menjaga toko saat beliau hendak melaksanakan kewajiban sholat, selalu saja aku dibuat risih karena gadis-gadis itu, tak kunjung menentukan pilihannya. Mereka baru mengambil sesuatu ketika Ibu keluar kembali menjaga toko, entah sesuatu itu yang memang ingin mereka beli atau tidak enak karena sudah berada terlalu lama di toko.
Dan hari itu, saat aku mengayuh sepedaku dalam perjalanan pulang, aku kembali bertemu dengan gadis kecil itu. Aku menghentikan sepedaku beberapa rumah sebelum melewati sekolahnya. Tampak olehku, ia keluar dari sekolahnya bersama teman-temannya, namun ia berjalan sendiri menyisir jalanan yang mengarah ke rumahnya. Aku mengawasinya dari jauh. Saat dirinya berbelok ke kanan, baru aku mengayuh kembali sepedaku, menyusulnya dari belakang dan masih menjaga jarak dengannya.
Aku merasa ingin menjaganya tanpa sepengetahuannya. Dirinya yang beberapa waktu lalu menangisi keadaanku yang babak belur karena dihajar sekelompok pemuda yang tidak jelas identitasnya, berhasil menarik perhatianku. Ia tidak mengenalku tapi begitu merasa cemas akan keadaanku. Tangisnya yang pecah telah menggoyahkan kesombonganku untuk tidak menaruh asa dan rasa terhadap seorang wanita selain Ibuku.
Gadis itu melangkahkan kakinya dengan pelan. Dan itu tidak luput dari penglihatanku. Aku merasa ada yang tidak beres. Kulihat semakin pelan ia melangkahkan kakinya. Tanpa berpikir panjang, aku turun dari sepedaku, dan kuletakkan begitu saja di pinggir jalan. Aku langsung menyusul dirinya dengan berlari secepat-cepatnya. Kurang dari satu langkah jarak antara aku dan dia. Tiba-tiba tubuh gadis kecil itu limbung ke belakang. Untung aku sudah berdiri di belakangnya hingga aku masih dapat menangkap dirinya.
Kurengkuh tubuhnya dalam pelukanku. Wajahnya yang putih tampak pucat. Ku tempelkan tanganku pada keningnya, panas. Nafasnya tampak tersengal. Mendadak rasa khawatir dan ketakutan yang dulu pernah aku alami kembali menyergapku. Aku berusaha berdiri dari posisiku saat ini yang setengah berdiri sambil menggendong dirinya. Aku berjalan setengah berlari menuju rumahku yang masih beberapa blok dari tempatku saat ini.
Kala itu, matahari tepat berada di atasku. Peluh membanjiri diriku. Beberapa keringat menetes dari wajahku mengenai keningnya. Aku terus menggumamkan namanya.
Hira.. Hira..Hira..tetaplah sadar.
Hira..Hira..Hira.. jangan pernah menyerah.
Hira..Hira..Hira.. Kita belum sempat saling menyapa.
Bangunlah Hira...Bangunlah...
Masih banyak cerita yang harus kita rangkai bersama.
Aku berlari masuk ke toko sembari memanggil-manggil ibuku dengan begitu panik. Ibu yang mendengar suaraku yang berteriak dan bergetar, keluar dengan tergopoh-gopoh.
"Kenapa, nak?" suara ibu ikut panik, dan beliau menjadi lebih panik begitu melihat sosok gadis yang berada dalam gendonganku.
"Astaghfirullah.. Kenapa dengan Hira.." teriaknya dengan suara tertahan. Aku membawa Hira masuk ke dalam rumah. Kubaringkan tubuhnya di atas sofa yang ada di ruang tamu. Aku pamit kepada ibu untuk mengambil sepeda yang tadi aku tinggalkan begitu saja dipinggir jalan tak jauh dari rumah. Ibu yang hendak mengambil kain dan air hangat untuk mengompres Hira, mengangguk setuju.
"Sekalian kamu kabari Om Gunawan atau Tante Ratih, atau siapapun yang ada dirumah," perintah ibu. Aku mengangguk dan langsung berlari cepat mengambil sepedaku.
Hira... Bertahanlah... Bertahanlah.
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag