Share

Namaku Satya

Seminggu sudah kejadian penganiayaan itu berlalu. Kini aku kembali masuk sekolah. Aku sekarang duduk di tingkat menengah pertama, kelas 2. Kali ini aku berangkat dengan sepeda. Iya, ibu membelikanku sepeda agar tidak perlu melewati jalan tikus yang selalu digunakan tempat nongkrong anak-anak yang tidak jelas identitasnya.  Namun sejak kejadian yang aku alami jalan tersebut sepi. Tidak ada lagi anak-anak nongkrong yang sering kali memeras orang yang sedang melintasi jalan tersebut, atau pesta minum-minuman keras yang ujungya berakhir dengan kericuhan diantara mereka sendiri.

Perangkat kerukunan warga bersama warga memutuskan untuk membangun pos keamanan yang dijaga oleh hansip dan warga dengan jadwal bergiliran. Hal ini untuk mencegah kejadian penganiayaan dan pemerasan berulang kembali. 

Aku mengayuh sepedaku. Saat hendak berbelok ke kanan, aku melihat seorang gadis kecil berjalan bersama seorang wanita yang usianya tidak jauh dari ibuku, sambil memanggul tas di punggungnya. Sepertinya sang ibu bercerita  sesuatu hal yang lucu sehingga terdengar gelak tawanya yang renyah saat aku melewatinya. Tawa itu, sama dengan tawa yang ku dengar beberapa hari  kemarin.  

Sepeda ku parkir di tempat paling pojok dari tempat parkir khusus sepeda. Aku berjalan keluar dari tempat parkir menuju kelas ku yang berada di tingkat 2 bangunan tiga lantai sayap kanan.

Aku bukanlah sosok yang suka dengan keramaian. Aku justru lebih senang dengan kesunyian yang bisa membuat hatiku tenang. Aku melewati aula, kemudian gedung olahraga tempat dimana aku sering menghabiskan waktu bersama tim basketku. Belum habis langkahku meninggalkan gedung olahraga itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menghentikkan langkahku dan menoleh ke belakang. Tampak Pak Yuda berdiri sambil memegang bola basket di tangannya 

"Sudah siap untuk latihan nanti sore?" tanya pelatih basketku itu. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku. "Siap, Pak,"jawabku. Ia membalas senyumku lalu berlalu ke ruang guru yang berada di lantai satu gedung yang sama dengan kelasku.

Aku melanjutkan langkahku. Ketika kakiku mulai menaiki tangga, aku mendengar bisik-bisik di samping kanan-kiriku. Aku heran mengapa gadis-gadis labil itu selalu berbisik-bisik saat mereka melihatku, apalagi saat seperti ini, ketika aku berada tak jauh dari mereka. Aku hanya fokus dengan langkahku. Tak kuhiraukan teriakan histeris mereka, pandangan beserta senyuman yang mereka lemparkan padaku saat tanpa sengaja aku menatap atau membalas tatapan mereka

"Hai..hai..hai, bintang basket kita sudah kembali.." teriak Ivan yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku hanya diam mendengar teriakannya. 

"Kenapa tidak kamu lawan saja mereka?" tanyanya. Aku tetap diam. 

"Ikut kelas bela diri deh Sat, biar kamu lebih pede buat balas mereka," Ivan kini berjalan dihadapanku. Aku hanya mengedikkan bahuku sembari membenarkan tas selempang yang hampir melorot dari bahuku. 

Badanku memang kecil. Tidak terlalu kecil tapi bila dibandingkan teman-teman sebayaku yang masuk dalam tim basket, aku termasuk yang paling kecil diantara mereka. Pernah aku protes kepada ibuku soal tubuhku yang tak kunjung tinggi seperti teman-temanku lainnya. Namun, ibu hanya tersenyum dan berkata,"Sabar, kamu kelak akan lebih tinggi dibandingkan teman-temanmu". Begitu jawaban yang kudapat setiap aku mengajukan protes perihal postur tubuhku.

Di tim basket, aku  termasuk pemain inti dan bertugas sebagai penembak bola. Tim basket berjumlah 10 orang dengan , 5 sebagai pemain inti dan 5 lainnya sebagai pemain cadangan. Biasanya aku melakukan tugasku  dengan teknik set shoot dan jump shoot. Set shoot adalah teknik menembak yang dilakukan dengan diam di tempat lalu memasukkan bola dengan satu atau dua tangan. Sedangkan jump shoot adalah teknik memasukkan bola dengan melompat.

Tanpa terasa kelas kami 2 G sudah di depan mata. Aku dan Ivan memasuki kelas dengan berjalan beriringan. Melihat kedatanganku, seisi kelas mulai merubungiku, menanyakan perihal kejadian yang menimpaku minggu lalu. Aku menceritakan dengan singkat, intinya saja. Kemudian mereka membubarkan diri setelah mendoakan kebaikan untukku yang langsung ku amini saat itu juga.

Bel tanda masuk berbunyi. Jam pertama hari ini adalah matematika. Aku tidak begitu mengalami kesulitan untuk mapel yang satu ini. Bu Santi yang mengajar matematika sudah sangat hafal denganku karena sering mendampingiku saat mengikuti perlombaan matematika antar sekolah baik tingkat lokal maupun nasional. Beliau  memasuki kelas dan menaruh buku di meja guru, kemudian  menghampiri mejaku dan menanyakan keadaanku dan sedikit tentang hal yang aku alami minggu lalu. Beliau menepuk bahuku setelah mendengar cerita singkatku dan memberiku nasihat agar tetap semangat. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku dengan takzim.

Hari itu kulalui seperti biasa, hanya saja, begitu banyak orang yang menaruh simpati kepadaku atas peristiwa tempo hari, yang ternyata tersebar luas sehingga mengundang perhatian masyarakat di kotaku. Aku menjadi paham mengapa jalan tempat aku dianiaya kemarin menjadi sepi dan dialihkan fungsinya oleh perangkat lingkungan sekitarku. 

Pelajaran hari ini berjalan normal tanpa kendala. Begitu bel tanda selesainya pelajaran berbunyi, Ivan dan aku berjalan keluar kelas bersama menuju gedung olahraga untuk mengikuti  latihan basket yang rutin dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu. Latihan berlangsung selama 90 menit. Rony, sang kapten datang agak terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS terlebih dulu. Setelah sesi latihan pertama selesai, Rony dan Pak Yuda terlibat percakapan serius. 

Setelah latihan sesi kedua selesai, Pak Yuda mengumumkan bahwa 2 bulan lagi akan ada turnamen bola basket antar sekolah menengah pertama. Berhubung pelaksanaan turnamen berbenturan dengan jadwal try out Rony maka untuk sementara waktu, kedudukan kapten tim akan diserahkan pada Ivan yang sebelumnya menjabat sebagai wakil kapten tim. 

Aku berjalan mengambil sepedaku usai latihan basket selesai. Tiba-tiba seorang gadis mencegatku di pintu keluar parkiran. Aku mengernyitkan keningku, memandang heran gadis yang berdiri di depanku. Aku hanya diam tanpa menanyakan apa maksud sikapnya itu. Ia memberikan sebuah kartu undangan ulang tahun, dan dengan terpaksa aku terima. Tanpa basa-basi aku mengayuh sepedaku menjauh darinya meninggalkan tempat parkir sepeda.

Kartu undangan itu adalah kartu undangan yang kesekian puluh yang kuterima selama aku bersekolah disini. Kata Ivan, meski aku bertubuh kecil tidak seperti dirinya atau bahkan Rony, aku memiliki jumlah penggemar yang jumlahnya tak kalah banyak dengan Aji, sang ketua OSIS yang terkenal karena ketampanannya. Aku hanya tertawa dingin mendengar nya.

Aku mengayuh sepedaku pelan, dan kembali, aku melihat gadis yang sama dengan yang kutemui tadi pagi sedang bermain dengan kucing di depan halaman rumahnya. Gadis yang sama dengan yang beberapa hari lalu datang ke tokoku. 

Hira. Aku  menggumamkan namanya. Saat melintas depan rumahnya, aku menatap lekat wajahnya, agar aku bisa mengingat lekat dalam memori otakku. 

Hira. Kembali aku gumamkan namanya. Namaku Satya, aku menggumamkan namaku sendiri.

Sampai berjumpa esok pagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status