Share

Kembali Tersenyum

last update Last Updated: 2021-03-14 15:08:45

Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira. 

Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun.

Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan.

Aku menghela nafas, lalu beranjak dari dudukku, membawa masuk sepedaku dan meletakkannya di garasi, di samping mobil sedan ibu. Aku mengganti baju seragamku yang basah oleh keringat, dengan kaos oblong berwarna biru, setelah sebelumnya membersihkan tubuh dari lengketnya keringat yang melekat di tubuhku akibat tadi berlari dan bersepeda mengejar waktu. 

Aku melangkahkan kaki ke meja makan, mengisi perutku yang sudah berteriak meminta jatah makan siang. Ibu berjalan mendekatiku lalu menarik kursi di seberangku dan duduk menghadap ke arahku. 

"Barusan Om Gunawan menelpon, menitip ucapan terimakasih untukmu karena sudah menolong Hira. Telat sedikit Hira mungkin tidak bisa tertolong," ibu berkata dengan suara rendah, sembari menatapku sendu. Aku diam tercenung mendengar perkataan ibu. " Nanti malam selepas Isya kita menjenguk Hira ya.." ucap ibu kembali menatapku. Aku menjawab dengan nada pelan,"Iya, Bu,".    

Sore harinya, aku menghabiskan waktu dengan mengerjakan semua tugas yang kudapat hari ini. Kebiasaan mempelajari pelajaran esok hari kulakukan setelah aku menyelesaikan semua tugas-tugasku. Makan malam yang biasanya berlangsung selepas sholat Isya kulakukan ba'da maghrib. Pikiranku hanya satu, selesaikan semuanya secepat mungkin, sehingga ketika aku dan ibu menengok Hira, sudah tidak ada lagi beban yang harus aku tanggung.

Pak Hadi mengendarai mobil sedan putih milik ibu dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam sambil menatap ke jalan yang dipadati mobil-mobil yang beranjak pulang ke tempat peraduan sang tuan. Ibu pun demikian. Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi, memasuki halaman parkir rumah sakit yang luas. Pak Hadi memarkirkan mobil tepat di depan jalan masuk lobby utama rumah sakit. Aku dan ibu melangkah keluar dari mobil. Aku mengambil bingkisan yang sudah dipersiapkan ibu untuk diberikan kepada Hira, yang diletakkan di bagasi mobil.

Aku melangkahkan kaki ke arah meja resepsionis, mendahului ibu. Setelah mendapat informasi di ruang mana Hira mendapat perawatan, aku menyusul ibu yang duduk di kursi tunggu. Kami berdua berjalan menuju sayap kiri gedung menyusuri selasar rumah sakit, menuju paviliun yang berada  di ujung gedung sayap kiri, tempat Hira di rawat. 

Berjalan selama lima menit, langkah kaki kami akhirnya terhenti di depan bangunan ber cat putih khas rumah sakit, dengan sebuah papan berukir indah yang bertuliskan "Paviliun Bougenville 3A". Pada daun pintu terpasang nama pasien, Hira dan nama dokter yang merawat Dokter Indra. 

Kuketuk pintu di hadapanku. Tak berapa lama kemudian daun pintu itu terbuka dari dalam. Tante Ratih tersenyum seraya memelukku, tangannya berulang kali mengusap-usap punggungku. Punggungku terasa basah. Samar terdengar di pendengaranku, isakan pelan Tante Ratih. "Terimakasih.. Terimakasih ya sayang.." ucapnya lirih disela isak tangisnya. Aku membalas pelukannya sembari menepuk punggung beliau pelan. Beliau justru semakin erat memelukku dan isakannya berubah menjadi tangisan panjang. Aku menghentikkan tepukan tanganku di punggungnya, dan menatap ke arah Hira yang terbaring dengan mata terpejam.

Om Gunawan berjalan ke arah kami, dan merengkuh istrinya ke dalam pelukannya, meminta maaf atas sikap istrinya yang belum bisa mengendalikan perasaannya. Ibu menatap Tante Ratih dan berjalan ke arahnya. Om Gunawan melepas rengkuhannya dan membiarkan ibu mendekap tante Ratih dalam pelukan hangatnya.

"Mbakyu.." tangis tante Ratih kembali pecah dalam pelukan ibu.

"Iya.. Sudah.. Tidak apa-apa.. Hira sudah dalam penanganan dokter terbaik.. dan kondisinya pun sudah berangsur membaik.. tidak apa-apa.." ujar ibu menenangkan.

Aku berjalan mendekat ke arah Hira berbaring. Wajah gadis itu masih pucat tapi tidak sepucat tadi saat ku gendong tubuhnya. Nafasnya pun sudah teratur. Aku duduk di kursi yang terletak persis di samping tempat tidur Hira. Kugenggam tangannya. Hangat. Lalu kuletakkan kembali tangannya di samping badannya. 

"Hira mengalami dehidrasi. Kondisi dehidrasi Hira lumayan berat. Tubuh Hira kekurangan air sebesar 6% dari jumlah yang seharusnya, dan ini sangat berbahaya bila tidak segera ditangani. Oleh karena itu, Om dan Tante sangat berterimakasih karena kamu sudah bertindak cepat menolong Hira. Untung ada kamu, Sat," terdengar suara Om Gunawan yang sudah berdiri di samping kananku.

"Sama-sama Om," jawabku singkat setelah mengalihkan pandanganku dari wajah cantik Hira ke wajah tampan Om Gunawan. 

"Berapa lama Hira akan dirawat di sini Om?" tanyaku pelan.

"Belum tahu,Sat. Yang jelas sampai Hira benar-benar sehat. Om akan memastikan anak Om yang manja ini harus mendapatkan pelayanan dan perawatan terbaik di rumah sakit ini," tegas Om Gunawan sambil tersenyum saat mengucapkan kata manja untuk anak gadisnya itu.

"Kamu kelas berapa Sat?" tanya lelaki tampan itu.

"Kelas 2 Om," jawabku singkat.

"Anggota tim basket ya?" tanyanya lagi.

"Kok bisa tahu Om?" tanyaku heran.

"Perawakanmu itu perawakan pemain basket. Om dulu main basket waktu masih sekolah, jadi  tukang dribble bola," ujarnya terdengar bangga, memulai ceritanya mengenang masa remaja dulu.

Satu jam berlalu. Ibu akhirnya berpamitan pada Tante Ratih dan Om Gunawan. Sebelum pergi meninggalkan kamar tempat Hira dirawat, aku berpesan untuk tidak menceritakan pada Hira siapa yang membawanya pulang saat ia pingsan. Kedua pasangan suami istri itu sempat hendak mengajukan keberatan dan pertanyaan, namun Om Gunawan dengan cepat mengangguk setuju.

Aku berjalan dibelakang Ibu. Selasar yang saat kami datang masih ramai kini sudah mulai sepi. Tampak para penjaga keamanan berkeliling untuk mengingatkan pengunjung bahwa jam berkunjung sudah habis dan saatnya bagi pasien untuk kembali beristirahat.

Pak Hadi tampak bergegas masuk ke dalam mobil setelah melihat diriku dan ibu keluar dari lobby utama rumah sakit. Mobil putih kembali membawaku dan ibu menyusuri jalan untuk pulang. 

"Pulang sekolah kalau kamu sempat dan tidak sedang ada latihan basket mampirlah ke rumah sakit," tutur ibu setengah memerintah. Tanpa dimintapun aku memang akan menjenguk Hira di rumah sakit, gumamku dalam hati.

"Iya, Bu," kujawab perintah ibu singkat, dan aku kembali larut dalam anganku sendiri sembari memandang keluar jendela mobil, menikmati cahaya-cahaya yang berebut menerangi jalan.

Selamat beristirahat, Hira.

Semoga esok senyummu kembali menghias wajahmu seperti sediakala, doaku dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 2 (End)

    Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 1

    "What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest

  • The Secret Admire's Love   The Truth

    Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?

  • The Secret Admire's Love   Tell Me The Truth

    Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b

  • The Secret Admire's Love   Here They Are

    Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa

  • The Secret Admire's Love   A Tough Decision

    Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status