Share

Kembali Tersenyum

Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira. 

Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun.

Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan.

Aku menghela nafas, lalu beranjak dari dudukku, membawa masuk sepedaku dan meletakkannya di garasi, di samping mobil sedan ibu. Aku mengganti baju seragamku yang basah oleh keringat, dengan kaos oblong berwarna biru, setelah sebelumnya membersihkan tubuh dari lengketnya keringat yang melekat di tubuhku akibat tadi berlari dan bersepeda mengejar waktu. 

Aku melangkahkan kaki ke meja makan, mengisi perutku yang sudah berteriak meminta jatah makan siang. Ibu berjalan mendekatiku lalu menarik kursi di seberangku dan duduk menghadap ke arahku. 

"Barusan Om Gunawan menelpon, menitip ucapan terimakasih untukmu karena sudah menolong Hira. Telat sedikit Hira mungkin tidak bisa tertolong," ibu berkata dengan suara rendah, sembari menatapku sendu. Aku diam tercenung mendengar perkataan ibu. " Nanti malam selepas Isya kita menjenguk Hira ya.." ucap ibu kembali menatapku. Aku menjawab dengan nada pelan,"Iya, Bu,".    

Sore harinya, aku menghabiskan waktu dengan mengerjakan semua tugas yang kudapat hari ini. Kebiasaan mempelajari pelajaran esok hari kulakukan setelah aku menyelesaikan semua tugas-tugasku. Makan malam yang biasanya berlangsung selepas sholat Isya kulakukan ba'da maghrib. Pikiranku hanya satu, selesaikan semuanya secepat mungkin, sehingga ketika aku dan ibu menengok Hira, sudah tidak ada lagi beban yang harus aku tanggung.

Pak Hadi mengendarai mobil sedan putih milik ibu dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam sambil menatap ke jalan yang dipadati mobil-mobil yang beranjak pulang ke tempat peraduan sang tuan. Ibu pun demikian. Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi, memasuki halaman parkir rumah sakit yang luas. Pak Hadi memarkirkan mobil tepat di depan jalan masuk lobby utama rumah sakit. Aku dan ibu melangkah keluar dari mobil. Aku mengambil bingkisan yang sudah dipersiapkan ibu untuk diberikan kepada Hira, yang diletakkan di bagasi mobil.

Aku melangkahkan kaki ke arah meja resepsionis, mendahului ibu. Setelah mendapat informasi di ruang mana Hira mendapat perawatan, aku menyusul ibu yang duduk di kursi tunggu. Kami berdua berjalan menuju sayap kiri gedung menyusuri selasar rumah sakit, menuju paviliun yang berada  di ujung gedung sayap kiri, tempat Hira di rawat. 

Berjalan selama lima menit, langkah kaki kami akhirnya terhenti di depan bangunan ber cat putih khas rumah sakit, dengan sebuah papan berukir indah yang bertuliskan "Paviliun Bougenville 3A". Pada daun pintu terpasang nama pasien, Hira dan nama dokter yang merawat Dokter Indra. 

Kuketuk pintu di hadapanku. Tak berapa lama kemudian daun pintu itu terbuka dari dalam. Tante Ratih tersenyum seraya memelukku, tangannya berulang kali mengusap-usap punggungku. Punggungku terasa basah. Samar terdengar di pendengaranku, isakan pelan Tante Ratih. "Terimakasih.. Terimakasih ya sayang.." ucapnya lirih disela isak tangisnya. Aku membalas pelukannya sembari menepuk punggung beliau pelan. Beliau justru semakin erat memelukku dan isakannya berubah menjadi tangisan panjang. Aku menghentikkan tepukan tanganku di punggungnya, dan menatap ke arah Hira yang terbaring dengan mata terpejam.

Om Gunawan berjalan ke arah kami, dan merengkuh istrinya ke dalam pelukannya, meminta maaf atas sikap istrinya yang belum bisa mengendalikan perasaannya. Ibu menatap Tante Ratih dan berjalan ke arahnya. Om Gunawan melepas rengkuhannya dan membiarkan ibu mendekap tante Ratih dalam pelukan hangatnya.

"Mbakyu.." tangis tante Ratih kembali pecah dalam pelukan ibu.

"Iya.. Sudah.. Tidak apa-apa.. Hira sudah dalam penanganan dokter terbaik.. dan kondisinya pun sudah berangsur membaik.. tidak apa-apa.." ujar ibu menenangkan.

Aku berjalan mendekat ke arah Hira berbaring. Wajah gadis itu masih pucat tapi tidak sepucat tadi saat ku gendong tubuhnya. Nafasnya pun sudah teratur. Aku duduk di kursi yang terletak persis di samping tempat tidur Hira. Kugenggam tangannya. Hangat. Lalu kuletakkan kembali tangannya di samping badannya. 

"Hira mengalami dehidrasi. Kondisi dehidrasi Hira lumayan berat. Tubuh Hira kekurangan air sebesar 6% dari jumlah yang seharusnya, dan ini sangat berbahaya bila tidak segera ditangani. Oleh karena itu, Om dan Tante sangat berterimakasih karena kamu sudah bertindak cepat menolong Hira. Untung ada kamu, Sat," terdengar suara Om Gunawan yang sudah berdiri di samping kananku.

"Sama-sama Om," jawabku singkat setelah mengalihkan pandanganku dari wajah cantik Hira ke wajah tampan Om Gunawan. 

"Berapa lama Hira akan dirawat di sini Om?" tanyaku pelan.

"Belum tahu,Sat. Yang jelas sampai Hira benar-benar sehat. Om akan memastikan anak Om yang manja ini harus mendapatkan pelayanan dan perawatan terbaik di rumah sakit ini," tegas Om Gunawan sambil tersenyum saat mengucapkan kata manja untuk anak gadisnya itu.

"Kamu kelas berapa Sat?" tanya lelaki tampan itu.

"Kelas 2 Om," jawabku singkat.

"Anggota tim basket ya?" tanyanya lagi.

"Kok bisa tahu Om?" tanyaku heran.

"Perawakanmu itu perawakan pemain basket. Om dulu main basket waktu masih sekolah, jadi  tukang dribble bola," ujarnya terdengar bangga, memulai ceritanya mengenang masa remaja dulu.

Satu jam berlalu. Ibu akhirnya berpamitan pada Tante Ratih dan Om Gunawan. Sebelum pergi meninggalkan kamar tempat Hira dirawat, aku berpesan untuk tidak menceritakan pada Hira siapa yang membawanya pulang saat ia pingsan. Kedua pasangan suami istri itu sempat hendak mengajukan keberatan dan pertanyaan, namun Om Gunawan dengan cepat mengangguk setuju.

Aku berjalan dibelakang Ibu. Selasar yang saat kami datang masih ramai kini sudah mulai sepi. Tampak para penjaga keamanan berkeliling untuk mengingatkan pengunjung bahwa jam berkunjung sudah habis dan saatnya bagi pasien untuk kembali beristirahat.

Pak Hadi tampak bergegas masuk ke dalam mobil setelah melihat diriku dan ibu keluar dari lobby utama rumah sakit. Mobil putih kembali membawaku dan ibu menyusuri jalan untuk pulang. 

"Pulang sekolah kalau kamu sempat dan tidak sedang ada latihan basket mampirlah ke rumah sakit," tutur ibu setengah memerintah. Tanpa dimintapun aku memang akan menjenguk Hira di rumah sakit, gumamku dalam hati.

"Iya, Bu," kujawab perintah ibu singkat, dan aku kembali larut dalam anganku sendiri sembari memandang keluar jendela mobil, menikmati cahaya-cahaya yang berebut menerangi jalan.

Selamat beristirahat, Hira.

Semoga esok senyummu kembali menghias wajahmu seperti sediakala, doaku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status