Aku meletakkan tas ransel yang kosong di atas tempat tidurku. Kemudian, aku mulai memilih beberapa potong pakaian, kaus t-hirt, kemeja, dan baju koko serta beberapa celana panjang dan pendek, untuk kubawa ke rumah Ibu.
Ya, beberapa hari kedepan aku akan kembali tinggal bersama Ibu. Ketika kemarin sore aku singgah sebentar di rumah Ibu, Ibu memberiku ijin untuk tinggal di sana tapi hanya untuk beberapa hari karena masih banyak hal yang harus aku pelajari dan kerjakan bersama Erick. Ibu sangat tegas untuk hal itu, karena beliau menaruh harapan yang begitu besar agar aku dapat membongkar semua permainan busuk musuh-musuh mendiang ayah. Akupun tidak dapat membantahnya, karena di dalam diriku sendiri, terselip keinginan dan dendam yang harus bisa aku wujud dan balaskan kepada mereka yang sudah bermain kotor di belakang punggung ayahku.
Erick datang mengetuk pintu kamarku, lalu masuk dengan membawa beberapa map yang harus aku baca saat itu juga. Aku mengh
Tahun ini adalah tahun terakhirku di sekolah abu-abu. Tahun ini pun menjadi awal diriku akan menginjakkan kaki bukan lagi di gedung sekolah melainkan gedung kampus, yang di dalamnya akan ada banyak orang-orang dengan pakaian bebas berkerah menuntut ilmu sesuai dengan minat mereka masing-masing. Sama halnya dengan Hira. Ini adalah tahun terakhirnya di sekolah menengah pertama sekaligus tahun awal menyandang identitas sebagai pelajar sekolah menengah atas. Ia mengikuti jejak diriku dengan meneruskan di sekolah yang satu yayasan dengan yang dulu, meneruskan jenjang menengah pertamanya di tempatku dulu. Aku masih asyik membolak balikkan beberapa pamflet yang diberikan seseorang saat mobilku berhenti di perempatan tak jauh dari komplek perumahan Ibu. Aku teringat sesuatu hal. Bukankah Hira hari ini sedang menjalani MOS? gumamku dalam hati. Terbersit keinginan untuk melihatnya mengikuti ospek hari ini. Kulihat anak-a
Sebuah ide yang kurasa bisa aku gunakan untuk membantu Hira terlintas dalam benakku. Aku menatap sosok Ivan yang duduk di hadapanku, yang masih asyik mengunyah roti bakar untuk kedua kalinya. Ivan menghentikan gerakan mengunyahnya karena merasakan pandanganku mengarah kepadanya cukup lama. "Ya...ya...ya... as you wish my friend," jawabnya tanpa bertanya apa yang aku minta. Aku tersenyum, tidak salah aku menempatkannya bersama Andrew dan Roy di tim Rajawali. Ivan bisa memahami perintah dan apa yang harus ia lakukan hanya dengan melihat mimik wajahku menyesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung di sekitarku. "Berpura-puralah sebagai mahasiswa yang akan kerja praktek lapangan di sini," ujarku. Ivan mengangguk, berdiri dan berjalan meninggalkanku. Tampak dari jauh Ivan terlibat percakapan singkat dengan Hira. Hira menunjuk-nunjuk wajahnya. Aku mengernyitkan keningku berusaha menebak apa maksud Hira. Lalu, Hira terlihat menganggukkan kepala sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Bukan karena hari ini aku akan mulai profesi baruku sebagai pelatih basket, tapi karena aku harus menghadiri kuliah umum perdanaku sebagai mahasiswa baru. Erick kemarin sempat mengusulkan aku untuk tidak perlu mengikuti kuliah umum yang tampaknya akan memakan waktu lama dan juga membosankan. Ide Erick itu sempat terlintas di benakku, tapi, sebagai mahasiswa yang baik aku harus mengikuti semua rangkaian acara yang sudah dipersiapkan untuk menyambut mahasiswa baru. Bukankah bila kita ingin dihormati, maka kita harus mulai menghormati orang lain terlebih dulu? Bila kita ingin seseorang menjadi baik, maka kita harus memulai dari diri kita sendiri?Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar mandi, dan mulai membersihkan tubuhku dengan air dingin. Lima belas menit kemudian aku sudah selesai memakai kemejaku dan bersiap mengenakan sepatu kets ku. Ibu sudah menyiapkan sarapan di meja makan dibantu bik Sum. Aku duduk berhadap
Kami memulai sesi pertemuan hari ni dengan bermain basket sebagai salam perkenalan kami. Ada sekitar sepuluh siswa yang datang hari ini. Menurut pak Yuda yang sempat mampir sebelum permainan perkenalan ini dimulai, yang datang adalah siswa kelas 11, pemain inti tapi itu belum semua hadir, ada beberapa yang belum datang. Untuk jadwal kelas 8 baru akan dimulai besok. Pengaturan jadwal setelah ini kedepannya akan mengikuti jadwalku.Dari kesepuluh yang hadir ditambah dengan diriku dan Ivan, maka dibentuk dua kelompok. Aku berada di grup Ring dan Ivan memimpin grup Basket. Kejar-kejaran angkapun terjadi. Yang awalnya gedung olahrga hanya berisi kami, 12 orang, tanpa disadari sudah dipenuhi banyak penonton. Teriakan - teriakan memberi semangat terdengar saling bersahutan. Keringat menetes di keningku, kaos oblongku basah kuyup. Tidak berbeda dengan yang lain. Kami terus menggenjot adrenalin penonton lewat atraksi jump shoot yang memang menjadi keahlianku dan atraksi long
Pertemuan di markas bersama para pengawalku memberikan banyak informasi untukku. Gerombolan preman yang dulu menghajarku dan Ivan ternyata direkrut menjadi pengawal Oom Johan, saudara sepupu ayah, tak terkecuali pemuda dengan tato pegasus di punggungnya. Aku tidak tahu ada kesalahan apa yang sudah dilakukan ayah hingga oom Johan begitu dendam pada ayah. Dendam? Aku menyangsikan bila rasa itu adalah rasa dendam, karena setahuku ayah tidak pernah berkhianat terhadap siapapun. Justru ayahlah yang dikhianati saudara-saudarannya tak terkecuali, oom Johan. Mungkin, rasa itu bukan dendam tapi lebih ke rasa iri dan dengki.Tentang pemuda bertato pegasus. Seingatku ia adalah keponakan dari oom Johan. Jadi bila dikatakan aku dan dia ada hubungan saudara, jawabnya tidak. Itu seingatku tapi entah Ibu. Yang lebih tahu soal ini Ibu.Erick melaporkan bahwa mereka merekrut preman-preman itu dengan iming-iming selain gaji besar juga dijanjikan kesempatan untuk m
Erick dan Ivan meninggalkan ruang kerjaku dan berjalan kembali menuju markas.Hari beranjak petang dan mulai merayap malam. Besok masih ada jadwal kuliah umum di auditorium, dan aku sudah berniat bolos ketimbang bertemu dengan cewek yang seperti kemarin bikin kesal. Dimarahin gimana, didiamkan tambah banyak saja tingkahnya, bikin emosi jiwa.Aku tidak begitu suka dengan perempuan yang model begitu. Aku suka yang biasa, seperti Hira. Iya, seperti Hira. Diamnya justru kusuka. Kata-kata yang ia keluarkan hanya untuk sesuatu yang memang perlu ia ucapkan, senyum dan tawanya tidak mudah juga untuk dilihat dan didengar. Perempuan yang tidak mudah untuk ditaklukkan.Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan kursi kebesaranku, mengambil ponselku dan mencari nama pak Yuda di daftar kontak. Ketemu. Aku langsung saja menekan angka yang muncul di layar ponselku. Aku meminta ijin untuk melihat rekaman cctv yang terpasang diparkiran sepeda motor dan gerbang jal
Ada apa?" tanyaku setelah menghabiskan kopi pahitku."Tuan, sebaiknya kita mengawal Nona Hira pagi ini. Beni mendapat info sudah ada gerakan mencurigakan di sekitar tempat tinggal Hira, sejak beberapa hari terakhir," lapor Erick.Tubuhku meremang. Dadaku mendadak berdegup tak beraturan mendengar nama Hira disebutkan."Rekaman cctv. Berikan aku rekaman cctv yang terpasang di komplek perumahan dan lingkungan sekitar," pintaku pada Erick."Ini Tuan Muda, sudah saya persiaokan," ujar Erick saat menyerahkan flash disk kepadaku.Aku bergegas masuk ke ruang kerjaku dan menghidupkan laptop. Setelah menunggu beberapa saat, kupasangkan flashdisk di laptop.Aku mulai memutar rekaman cctv satu minggu yang lalu. Tidak ada kejadian yang mencolok, hanya beberapa kendaraan yang lewat seperti biasa, itupun warga sekitar.Hari kedua, tidak jauh berbeda, hanya ketambahan 2 motor yang lewat berulang kali, itupun di depan gang jalan masuk menuju kom
Aku berlari menghampiri tubuh Hira yang sudah tergeletak lemah di tengah-tengah perempatan jalan. Aku tidak berani menyentuhnya, aku mencari-cari ponselku dan segera menekan panggilan darurat, meminta dikirimkan ambulance karena ada korban tabrak lari. Aku hanya mampu mengusap pipi Hira yang tidak tergores apapun. Darah tampak mengalir dari hidungnya meski tidak banyak. Hira termasuk pengendara motor yang sangat taat hukum, karena ia mengenakan semua perlengkapan standar untuk menaiki kendaraan motor.Aku melihat Erick yang setengah berlari menyusulku."Telpon Harun. Suruh dia kesini dengan membawa ambulance dalam waktu 5 menit!" perintahku dengan nada bicara sedikit bergetar. Tangan kananku terus memegang titik nadi yang terletak di leher Hira yang masih berdenyut.Panggilan darurat yang tadi aku lakukan tidak juga membawa hasil. Aku sempat hendak menggendong Hira dan membawanya langsung dengan mobilku, tapi aku tidak berani karena aku t