Aku menatap buku-buku jari tangan dokter muda dihadapanku, yang saling terkait satu dengan yang lain. Aku memang sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk dari perkembangan penglihatan Hira. Namun, rasa kecewa tetap saja datang menghampiriku. Ingin rasanya membuang semua yang ada di depanku, tapi itupun tidak akan membawa perubahan pada Hira.
"Tapi, Hira tetap bisa pulang hari ini kan?" tanyaku menatap laki-laki berkacamata di depanku.
"Bisa, Tuan. Tapi kontrol dan pengawasan akan tetap saya lakukan dengan kunjungan setiap hari," jelasnya dengan nada penuh penekanan.
"Karena saya ingin lebih cepat memperoleh kepastian pengobatan yang tepat untuk Nona Hira sebelum semuanya menjadi terlambat meski kemungkinannya hanya beberapa persen saja. Terkadang yang kecil persentasenya ini bisa mendatangkan keajaiban," sambungnya.
"Lakukan yang terbaik dan secepat mungkin. Bila memerlukan sesuatu, katakan saja pada Erick." Aku bangkit dari dudukku dan beranjak
Ivan berjalan dengan tertatih ke arahku. Tak tega melihatnya, aku langsung berjalan cepat menyongsongnya dan mengajaknya duduk di kursi yang ada di depan kamar Hira. Di belakangnya tampak Rony berjalan menyusul. "Mengapa kamu perbolehkan pria ini turun dari kasurnya?" tanyaku pada Alex yang baru saja sampai di dekat kursi yang barusan kami duduki. "Ah, Ivan bandel, Tuan Muda. Terus saja mengoceh ingin bertemu dengan Tuan,"Lapor Alex yang di sambut kekehan sumbang Ivan. "Kau ini. Lukamu belum sembuh benar. Jadi, jangan suka bandel. Nanti aku suruh bayar sendiri tagihan rumah sakitmu." Ancamku. Ivan langsung terdiam. "Ada apa menyusulku kemari? Jangan katakan kalau kau sudah merindukan diriku." Ivan terbatuk tapi kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku ditelpon Beni tadi, katanya kau tidak akan kembali ke kastil gara-gara Mr. Smith membawa anak perempuannya. Aku hanya ingin minta ijin, boleh tidak aku menyelidiki modus perempuan itu
Aku berjalan keluar dari mobil sambil menggendong tubuh Hira yang masih terlelap. Madam Catty sudah menungguku di pintu masuk dengan beberapa asistennya, serta pak Dar penjaga gerbang. Mereka semua menyambut kedatanganku karena ini adalah kali pertama aku datang setelah satu bulan vila ini selesai dibangun. Selama ini, pak Dar dan istrinya yang menjaga dan merawat vila ini, sesekali aku menyuruh Beni untuk datang mengecek keadaan di sekitar vila. Madam Catty berjalan di depanku menuju kamar yang akan di tempati Hira, yang memiliki satu pintu yang menyambung langsung dengan kamarku. Aku membaringkan tubuh Hira dengan hati-hati agar gadis itu tidak terbangun, menyelimutinya dengan selimut tebal, karena daerah ini akan menjadi semakin dingin ketika malam semakin larut hingga subuh menjelang. Aku mematikan lampu utama, menggantikannya dengan lampu tidur yang terletak di meja kecil tepat disamping tempat tidur Hira. Aku menatapnya lekat sebelum meninggalkannya menuju ke kam
Aku melangkah masuk ke dalam kamarku dan membiarkan pintu penghubung kamarku dan Hira tetap terbuka. Baru saja aku membaringkan badanku di atas ranjang besarku, terdengar suara ketukan di pintu kamar. "Masuk". Pintu hitam itu terbuka pelan, lalu masuklah Erick. Ia berjalan mendekati ranjang tempatku berbaring. "Tuan, Mr. Smith ingin bertemu dengan anda". Aku menghela nafasku. Tampaknya aku harus segera bertemu sahabat mendiang ayah. "Oke, kita berangkat ke kastil setelah kedatangan Ibu, jadi Hira tidak akan sendirian di sini". Erick mengangguk dan berjalan keluar dari kamar. "Kakak..." terdengar panggilan Hira dari kamar sebelah. Aku bergegas bangun dari rebahanku menuju ke kamar sebelah. "Sudah selesai?" Aku berjalan mendekati Hira yang sedang berusaha merapikan rambutnya dengan sisir di tangan kanannya. Aku mengambil sisir itu dan menyisir ulang rambut Hira yang panjangnya sebahu. H
Mr. Smith diam di tempat duduknya. Aku sebenarnya tidak tega untuk berkata kasar kepadanya, bagaimanapun ia adalah sahabat ayah. Akan tetapi, aku benar-benar tidak bisa mentolerir keputusannya. Aku tidak suka orang melanggar privasiku kecuali dengan ijinku. Aku menghela nafasku. Tidak baik juga bila aku teruskan situasi ini. Aku memandang laki-laki paruh baya dihadapanku. Pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan tidak juga ia jawab. "Apakah Mr. Smith berusaha untuk menjodohkanku dengan Donna?" Pertanyaanku sontak membuatnya terkejut. Aku bisa menangkap ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan. "Salahkah pertanyaan, Satya?" Pria itu masih diam namun kali ini duduknya tak lagi tenang seperti sebelumnya. Tebakanku kelihatannya tidak seratus persen salah. Aku terus menunggu jawabannya. Hening. Suara detak jarum jam dinding terdengar jelas, karena malam semakin kelam dan angin malam semakin dingin menusuk kulit hingg tembus ke tulang "Satya
Beni mengambil kontak mobil yang tergeletak di atas meja kerjaku. Pada akhirnya aku memntanya untuk menjemput Ivan dari rumah sakit. Aku melangkah ke arah sofa besar yang ada di tengah ruangan, dan mulai membaringkan tubuhku yang seharian ini belum sempat kurebahkan.-0- Suara kicauan burung membangunkan ku dari tidurku yang singkat. Ya, akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuhku selama 4 jam. Waktu yang cukup untuk mengembalikan kekuatanku untuk melakukan pekerjaan hari ini, yang kurasa akan cukup menguras emosi dan pikiran. Belum tuntas permasalahanku dengan paman, kini bertambah Donna yang mulai menyita perhatianku.Aku bangun dari tidurku dan mulai merenggangkan otot-otot badanku, lalu beranjak ke kamar mandi melakukan ritual seperti biasa. Ketukan di pintu ruang kerja mengalihkan perhatianku. Aku berjalan lalu membuka pintu itu. Aku terkejut. Hira berdiri tepat di depanku. Bagaimana gadis itu tahu aku tidur di sini? Apakah semalam i
Aku turun dari mobil dan mulai melangkah masuk ke teras kastil dan terus melangkah masuk ke dalam. Suara Mr. Smith terdengar nyaring ketika sepatu pantofelku menapak masuk ke dalam kastil. "What happened to you?" "Whats on your mind?" Suara derap pantofelku dan Erick serta Rony yang saling bersahutan, membuat Mr. Smith menurunkan kedua tanggannya dari lengan Donna. Lelaki paruh baya itu menghadapkan badannya ke arahku dan langsung menganggukkan kepalanya, memberi salam. Tampak guratan lelah hampir di seluruh wajahnya. "Oh, Hai..! We meet again Satya." Donna bangkit dari duduknya dan hendak menjabat tanganku, namun dirinya langsung ditarik duduk tepat di samping laki-laki paruh baya itu. Aku hanya diam dan mengambil duduk agak jauh dari tempat duduk Mr. Smith. Erick dan Rony, masing-masing duduk di samping kanan dan kiriku. Aku sepintas menatap ke arah Donna. Gadis itu duduk diam, dengan terpak
Aku menjatuhkan tubuhku di sofa yang terletak tepat di belakangku. Kata-kata Donna berputar-putara di benakku dan terus terngiang di telingaku. "Marry me!" Ujarnya dengan suara keras, tanpa rasa malu. Aku terperangah. Terkejut bukan main. Apa yang sedang terlintas di benak gadis itu. Terobsesi memilikiku, begitu Erick memberikan pendapatnya ketika aku bertanya sebab kekeras-kepalaan Donna yang begitu sulit aku terima. Mengerikan. Ya, satu kata untuknya. Mengerikan. Gadis yang mengerikan. Kata-kata yang ia ucapkan selanjutnya semakin membuatku ingin segera melakban mulutnya saat itu juga. Tanganku mengepal keras hingga buku-buku jariku terlihat jelas dan kaku. Aku berusaha menahan emosi ku dan tetap menjaga kewarasanku. Kata-kata Ivan benar adanya. Kecurigaan Ivan terbukti sudah. Ada peran yang sedang dimainkan oleh Donna. -0- Mr. Smith terduduk lemas. Ia berusaha menenangkan jiwanya yang terguncang. Ia benar-benar merasa kecolongan. Bedeba
"Apa aku boleh memulai menginterogasi?" tanya Ivan saat aku hendak masuk ke dalam mobil. Aku membalikkan badanku. "Tunggu aku." Ivan mengangguk dan menutup pintu mobil. Erick membawaku melesat menembus teriknya panas matahari. Aku menyandarkan kepalaku dan menyelonjorkan kakiku. Pertemuan tadi tidak begitu lama namun cukup menguras emosi dan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan di ujung pembicaraan. "Rick, apakah kau tidak mencurigai seseorang?" tanyaku seraya memejamkan mataku. "Belum, Tuan. "Belum ya.." jawabku dengan suara semakin lirih, karena kantuk mulai menyerangku. Aku membuka mataku, dan kini aku berada dalam sebuah ruangan gelap. Hanya ada satu cahaya temaram di pojok ruang dengan satu meja yang menjadi penghalang dua kursi yang saling berhadapan. Tampak seseorang tengah duduk di sana. Seorang wanita lebih tepatnya. Wanita itu duduk di kursi yang dekat dengan dinding sedang kursi di hadapann