Share

Memori Sebuah Album

“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam.

“Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.

Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.

Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. Bahkan di rumahnya ini saja ia tidak memerlukan pembantu, karena menurut bu Nilam selama beliau masih bisa mengerjakaannya, ia tidak akan membutuhkan pembantu rumah tangga.

“Di sini gelap sekali, Bunda,” ujar Aina sambil menutup hidungnya karena begitu banyak debu.

Bu Nilam langsung menekan sakelar yang berada di ujung ruangan, lampu yang terangnya tidak seberapa pun hidup, alhasil mereka bisa dengan nyaman melihat isi ruangan sesak ini.

Barang-barang yang begitu banyak, peralatan rumah tangga yang tidak terpakai terkapar begitu saja, tidak terurus.

Bu Nilam dan Aina pun memulai dari barang-barang dekat pintu, mengangkatnya dan memindahkannya menuju bagian belakang ruangan, menggeser benda-benda besar bersama, hingga membersihkan langit-langit ruangan yang penuh dengan debu berterbangan, alhasil berkali-kali Aina bersin karena debu yang begitu banyak.

Menyapunya, lanjut mengepel, hingga membersihkan kaca belakang yang begitu kotor, karena ruangan bawah tanah ini juga kebetulan baru di buka hari ini setelah tiga tahun tidak terurus.

Aina tersandar di dekat lemari kecil, begitu lelah, ia menyeka keringat yang terus mengalir membasahi dahi dan badannya, rasanya begitu pengap dan panas sekali di ruangan ini.

Aina mencoba mencari sesuatu yang bisa ia jadikan kipas untuk sementara, tentu jika ia kembali ke kamar untuk mengambil kipas rasanya begitu malas, kakinya sudah begitu lelah dan keram.

Dirasanya ada lemari di belakangnya, Aina yang penasaran langsung membuka lemari yang berukuran 150 sentimeter tersebut. Bu Nilam juga sibuk mengumpulkan barang-barang yang akan beliau buang, jauh dari Aina sekarang, namun masih di dalam ruangan ini.

Aina menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, heran melihat lemari di depannya ini, tampak begitu kuno. “Lemari apa ini?” pikir Aina heran. Dilihatnya lemari tersebut tidak terkunci, tanpa pikir panjang Aina langsung membukanya, yang terlihat hanyalah tumpukan kain, begitu banyak, namun berbau sekali, mungkin akibat dari kelamaan tertumpuk.

Saat Aina hendak menutup lemari ini, tak sengaja ia mendapati sesuatu yang tertutupi separuh dari kain ini. “Kalung?” ujar Aina sambil memegang kalung liontin tersebut, menatapnya heran kenapa kalung sebagus ini bisa ada di lemari kuno ini, pikir Aina penasaran.

“Aina, kamu sedang apa?” ujar bu Nilam mengejutkan Aina dari belakang.

Dengan spontan! Aina langsung menyembunyikan kalung tersebut di dalam kepalan tangannya. “Ini Bunda, Aina cuma penasaran sama lemari ini,” sahut Aina berdalih bingung harus menjawab apa.

“Ooh, ini lemari ayah kamu, udah lama, pasti kotor sekali dalamnya,” jelas bu Nilam yang langsung diangguk Aina paham.

Perkakas yang begitu banyak, begitu melelahkan, Aina harus mengangkat buku-buku tidak terpakai ini untuk di bawa ke belakang rumah.

Rumah yang lumayan besar ini, benar-benar membuat Aina harus ekstra kuat dalam menyelesaikannya apa lagi jarak ke belakang rumah lumayan jauh, terlebih sekarang lagi hujan. Aina membungkuk sambil mengatur napasnya. “Huh, benar-benar berat,” ujar Aina sambil menarik dan menghembus napas kasar.

******

Dihempasnya begitu saja, buku-buku yang tak terpakai ini, di dalam tempat sampah. Sudah tak tahan karena beberapa detik saja lagi urat-urat di tangannya masing-masing akan memunculkan wujudnya ke permukaan.

Saat aina hendak kembali, matanya langsung peka dan berlangkah mundur saat melihat buku yang terselip di antara buku-buku yang bertumpuk. Penasaran, Aina langsung mengambil buku tersebut dan membawanya pergi. Memasuki pintu depan, Aina yang berdiri di depan pintu melirik ke sekitar ruangan, ia segera mencepatkan langkahnya untuk menuju kamarnya. Yang ia takutkan jika bu Nilam akan melihatnya membawa buku aneh ini, tentu beliau akan bertanya panjang lebar.

Plak! Satu langkah kakinya dalam keadaan hampir menyentuh anak tangga. "Aina, apa yang kamu bawa?" ujar bu Nilam yang mengejutkan dan menghentikan langkah Aina.

Aina berbalik menatap bu Nilam. "Ini Bunda, buku Aina ketinggalan di luar," dalih Aina yang hanya diangguk bu Nilam, beliau pun berlalu pergi ke kamarnya.

Aina menghembuskan napas kasar, beruntung! Bundanya tidak curiga.

Aina langsung melangkah cepat melewati anak tangga, dan tiba di depan kamarnya, lalu kemudian ia kunci. Tanpa pikir panjang Aina langsung meregangkan pinggang bersandar di atas kasur, sambil membuka buku tersebut, buku yang berjumlah 210 halaman ini, lumayan tebal, cukup pikir Aina untuk dibaca jika ada waktu senggang. Untuk sementara, buku tersebut Aina taruh begitu saja di atas ranjang, dan beralih ke meja belajar untuk menulis sesuatu.

Today! Aku menemukan buku aneh di ruangan bawah tanah, penasaran? Nanti akan aku tulis disini cerita selanjutnya.

******

"Angin bertiup kencang menerpa pasir-pasir di tempat ini, kaki pendek menjuntai berlalu lalang menikmati silir semilir angin, ia semakin laju memainkan ayunan ini, begitu laju,"

"Brakk! Ia terjatuh tersungkur di atas pasir putih ini, dan mendapati darah di lututnya, ia hanya terdiam, sambil mengusap darah itu, dengan lembut, menatapnya seolah penasaran dengan cairan berwarna merah ini.

Di rabanya sekitaran tempat ia terjatuh, dan menemukan sebuah kalung di bawah pasir tepat berada di tempatnya terjatuh, terlihat bekas darah yang terdapat di liontin kalung ini, sekali lagi ia lihat lebih dekat, kenapa kalung ini melukaiku? Ujarnya menatap heran,"

Meringkuk tubuhnya, menarik selimut yang terkapar di bawah kakinya, Aina terbangun dan mematikan Ac yang begitu menusuk hingga dinginnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Di tengoknya jam dinding sekarang, ternyata masih jam tiga pagi. Aina yang sudah tak bisa tidur, mengambil ponsel yang tak jauh dari posisinya, namun ia malah menyenggol sebuah buku hingga terjatuh. Aina yang kaget, langsung mengambil buku tersebut.

"Buku deary?" Aina membaca judul buku tersebut.

Karena masih ada waktu dua jam lebih, Aina memilih untuk membaca buku ini untuk melewatkan waktu, pikirnya. Baru halaman awal Aina sudah merasa keanehan, buku ini diawali dengan cap tiga jari di depannya, di tambah materai zaman dulu, membuat Aina merasa begitu aneh, apakah deary harus seformal ini?

Ia melanjutkan lagi di beberapa lembar di depan, didapatinya beberapa catatan yang begitu sulit ia baca, entah karena penggunaan huruf, ditambah warna tintanya sudah begitu memudar, sehingga tulisan ini perlu kesabaran untuk Aina baca, semakin Aina bosan, semakin pula memuncak rasa penasarannya.

Tak ada jeda diantara tulisan ini, membuat tulisan ini lebih sulit daripada soal matematika, pikir Aina. Yang hampir satu jam cuma paham di paragraf pertama. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, kenapa bisa ada tulisan sekonyol ini.

Meski merasa jenuh, Aina terus beralih ke lembar berikutnya karena penasaran. Saat melihat lembaran ini, mata Aina membulat lebar kala melihat foto para pria yang berduduk rapi di dekat pohon besar, pohon yang Aina lihat sekarang, mirip dengan pohon besar di depan kamarnya ini. Tapi untuk di ingat lagi, ayahnya pernah bilang kalau rumah ini, adalah rumah baru yang tidak pernah ditinggali, seingat Aina bundanya juga pernah bilang begitu, yang mana mereka membeli rumah ini tahun 2010 dalam keadaan masih baru. Aina semakin heran. Dilihatnya tanggal di foto tersebut bertuliskan tahun delapan puluh, apa ini buku milik ayahnya atau bundanya? Dan kenapa foto ini bisa mirip sekali dengan pekarangan di depan rumahnya ini?

Lanjut di lembar berikutnya, Aina semakin menemukan hal yang tak terduga, terlihat foto seorang perempuan muda berambut pendek, yang tengah duduk di ayunan,tampak dari foto ini seperti berada pada tahun yang berbeda.

Mendadak dalam beberapa detik tiba-tiba kepala Aina merasakan sakit yang begitu hebat, telinganya tiba-tiba mendengung nyaring dan memekik, bahkan Aina ikut sulit meneguk liur, serasa kerongkongannya begitu sesak.

Saat Aina menengok di sekitarnya, tiba-tiba benda-benda di sekitarnya seakan berpindah tempat hanya dalam kedipan mata, dan melayang pelan di udara. Gorden kamarnya ikut terbuka, angin memasuki ruangan ini begitu kencang, hingga Aina merasakan dinginnya subuh ini begitu menusuk tubuhnya.

"Bunda!!! Tolong Aina!" Teriak Aina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status