Share

Luka Lama

Aina terdiam, sebenarnya ia ingin menceritakannya, tapi ia takut jika Dea menjauhinya, apalagi melihat kejadian hari ini di luar akal sehatnya. “Aku tadi cuma mimpi buruk aja Dea, gak kenapa-kenapa kok,” ujar Aina.

Rasa penasaran Dea, membuat Aina merasa kalau Dea begitu peduli dengannya, Dea yang duduk manis langsung di pegang Aina pundaknya, bentuk ucapan betapa berterima kasihnya ia karena Dea telah mau berteman dengannya. 

Lagi-lagi Aina tidak mampu menahan air matanya, sakit di masa lalu, masih terasa jika ia mengingatnya, perlakukan teman-temannya rupanya menggerogoti kenyamanan Aina selama ini. Sudah ada Dea yang mau berteman dengannya, tetap saja Aina terus di hantui rasa takut jika Dea akan ikut meninggalkannya. Dengan cepat ia mengusap air mata ini, takut jika Dea melihatnya seperti ini sekarang.

“Itu rumahku,” ujar Aina menunjuki dari balik kaca mobil. 

“Mampir dulu, Dea,” tambah Aina dan berlalu turun.

“Kapan-kapan ya Ai, soalnya aku harus buru-buru pulang,” sahut Dea dari dalam mobil dan melambaikan tangannya.

Aina langsung buru-buru berteduh di depan rumah, sambil melihati kepergian mobil Dea tersebut.

Aina pun segera masuk, kebetulan rumah tidak di kunci, dan juga udara di luar begitu dingin.

Menggigil tubuhnya, ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi umum di bawah, untuk mengganti baju dan bersih-bersih. Di hidupnya shower membasahi tubuhnya yang dingin dengan air hangat. Lumayan nyaman.

Mengguyurkan shampo sedikit demi sedikit di kepalanya yang terasa amat nyaman, bernyanyi santai ala Aina yang selalu percaya diri jika sudah berada di dalam kamar mandi. Selang beberapa detik, Aina mematikan shower yang begitu mengguyur tubuhnya, ia terdiam sejenak kala mendengar sesuatu seperti mendekati kamar mandi ini, begitu jelas.

Aina yang mudah peka langsung mendekatkan telinganya di badan pintu untuk memperjelas apa yang ia dengar, langkah itu, benar-benar terdengar di telinganya, begitu mendekat. Kembang kempis dada Aina menarik menghembuskan napas kasar.

Aina segera menarik handuk yang tergantung dan membalutkan di tubuhnya, untuk mengecek siapa yang berada di luar.

Turun naik jantung rasanya tak karuan berdetak kencang, ia benar-benar takut kejadian tadi terjadi lagi sekarang. Begitu gemetarannya sudah tangannya, yang benar-benar tidak sanggup rasanya membuka pintu kamar mandi ini. Perlahan namun pasti, ia terus terbawa kepada ketakutan yang terjadi di sekolah tadi, namun ia juga penasaran.

Ceklek! Aina membuka pintu ini namun dengan mata yang tertutup karena takut. “Aina, kapan kamu pulang nak?” spontan! Aina langsung membuka matanya mendengar suara tersebut.

“Bunda?” ujar Aina dengan mata yang membulat lebar.

Bu Nilam heran melihat Aina, terlebih melihat rambutnya penuh dengan busa-busa shampo. Meleleh lagi ke leher-lehernya. “Aina kamu belum selesai mandi, mau kemana?” ujar bu Nilam.

"Gak kemana-mana, Bunda," sahut Aina langsung kembali masuk ke kamar mandi.

Di balik pintu, Aina bersandar sambil memegang dadanya yang tak karuan berdetak, ia mencoba menenangkan dan kembali untuk melanjutkan mandinya.

Menyisir rambutnya menggunakan ke lima jarinya, sambil merenung kejadian aneh yang menimpanya hari ini. Aina terus berusaha mencari tau ada apa dengan dirinya sekarang.

******

Aina sudah selesai, dan kembali menuju kamarnya di atas di lantai dua. Ia berdiri dari atas anak tangga melihati bu Nilam bolak balik menuju pintu bawah tanah, heran. Namun aina tidak terlalu penasaran, ia pun langsung menuju kamarnya. Mengambil daster yang biasa ia pake, Lalu Aina menghempaskan tubuhnya di atas kasur berukuran king size tersebut, hari ini benar-benar melelahkan.

Lelah membuatnya terlarut dalam rasa kantuk yang begitu dalam, hingga memberatkan kedua matanya untuk membuka.

“Orang-orang berlarian, klakson mobil bersahut-sahutan, berkerumun menyesakkan tempat ini, terlihat anak kecil yang sedang membawa boneka terdiam di tengah jalur lampu merah sambil menangis, tidak ada satupun yang menghiraukannya, ia terus menangis semakin nyaring tapi semua orang tetap fokus kepada wanita yang pingsan itu, hingga dari arah yang tidak terduga melaju truk pengangkut tangki minyak menghantam gadis itu, hingga ia terlempar jauh beberapa langkah dari orang yang berkerumunan, truk tersebut tak terkendali hingga melanggar tiang listrik di depannya, boneka yang gadis itu pegang terlempar jauh dari keberadaannya hingga darah gadis itu mengalir di atas jalan raya bersih ini, namun satupun tidak ada yang menolongnya,”

“Bunda! Tolong aku! Sakit bunda!” ujar gadis kecil ini menahan sakit di kepalanya yang terus mengeluarkan darah, namun tidak ada satupun orang yang menolongnya.

Ditariknya sprai di atas ranjang yang kencang ini, hingga berantakan. Teriaknya membuat bu Nilam terkejut dan bergegas ke atas menuju kamar Aina. Betapa paniknya bu Nilam kamar anaknya ini terkunci.

Di gedornya berkali-kali namun Aina tidak juga membukainya, hingga bu Nilam berlari lagi ke bawah untuk mengambil kunci serep. Tapi lagi-lagi kunci lemari yang menaruh kunci serep tersebut lupa di mana ia menaruhnya. Bu Nilam semakin kalut, dan panik kalau terjadi apa-apa kepada putri semata wayangnya itu.

Bu Nilam langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil ponsel, untuk menelpon suaminya pak Hilman. Telepon tersebut hanya berdering, berkali-kali dihubungi pak Hilman tidak juga mengangkatnya. Bu Nilam semakin panik, suara teriakan Aina semakin menjadi, ia pun berlari lagi menuju kamar anaknya. Untuk menggedor-gedor pintunya namun untuk ke sekian kalinya juga Aina tidak membukainya.

Tiba-tiba suara bel dari lantai bawah berbunyi, bu Nilam berharap itu adalah suaminya, ia pun langsung turun ke bawah untuk membukakan pintu dengan langkah cepat.

Namun sayang ini bukanlah pak Hilman melainkan yang datang hanyalah tukang paket yang mengantarkan pesanan suaminya. Tanpa pikir panjang bu Nilam yang bingung harus minta tolong dengan siapa lagi, ia pun meminta bantuan pria paruh baya ini untuk mendobrak pintu kamar Aina, mereka berlari kecil menuju ke kamarnya, namun saat menaiki anak tangga yang terakhir, langkah bu Nilam terhenti kala melihat tv menyala di ruang tengah.

Betapa membulat lebarnya mata bu Nilam, kala melihat Aina yang sedang duduk di sofa ruang tengah, sontak bu Nilam tersentak mundur langkahnya kaget melihat Aina sekarang. Ia bolak-balik mencari cara membuka pintu kamar Aina, tapi saat ada bantuan tiba, Aina sekarang malah duduk di sofa. Bu Nilam mencengkram dadanya sesak, karena lelah bolak-balik turun tangga, keringat dingin membasahi dahinya.

Bu Nilam pun menghampiri Aina yang sedang duduk menonton tv. “Aina, kamu tadi kenapa? Bunda panik, sampai minta tolong dengan bapak ini,” ujar bu Nilam yang begitu paniknya.

“Aina tadi ketiduran, terus Aina turun karena haus,” jelas Aina yang membuat bu Nilam semakin bingung.

“Kamu tadi, teriak-teriak ada apa?” sahut bu Nilam yang begitu penasaran.

“Aina gak ada teriak-teriak,” sahut Aina melihat bu Nilam heran.

Tukang paket tersebut pun pamit untuk pulang, bu Nilam yang mengantarkannya ke depan rumah masih bertanya-tanya dalam pikirannya, kenapa dengannya hari ini, ia begitu jelas mendengar anaknya itu berteriak begitu nyaringnya, tapi saat mendengar jawaban Aina, bu Nilam semakin bingung, mana ponsel suaminya tidak bisa di hubungi, padahal ujar suaminya sore ini ia akan pulang, tapi hingga sekarang belum juga datang.

“Apa mungkin ini cuma halusinasi aku saja,” batin bu Nilam sambil mengigit kukunya dengan gemeteran.

“Bunda kenapa?” tanya Aina yang langsung berdiri menghampiri bu Nilam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status