“Iya gak papa,” ujarnya dan berlalu pergi.
Aina terus melihati langkah orang tersebut, seperti seumuran dengan mereka, tapi ia tidak mengenakan seragam, apakah dia guru baru? Aina menerka-nerka orang yang ia tabrak itu.
“Ai, ayo! Kamu kenapa masih bengong di situ,” kejut Dea dan membuyarkan apa yang Aina pikirkan.
Aina bangkit dan mereka pun melangkah cepat menuju kelas, lagi ketika Aina menoleh ke belakang, pria tersebut sudah tidak ada, langkahnya begitu cepat sekali padahal tidak sampai semenit Aina menoleh ke arah Dea di depannya, ia sudah menghilang bak kecepatan cahaya. Lagi-lagi kepala Aina kembali nyeri.
Pikiran Aina langsung linglung, bukankah ditolong seseorang itu biasa saja, tapi kenapa Aina begitu dihantui rasa penasaran, pertanyaan siapa dia? Memenuhi kepalanya.
Tepat di depan pintu kelas. “Aina, tugas dari pak Wilan gak ada lagi kan?” tanya Boni selaku wakil ketua kelas menghampiri Aina yang baru tiba.
“Iya gak ada lagi, catatan untuk hari ini udah selesai,” sahut Aina.
Aina dan Dea kembali ke tempat duduk mereka. Jam kosong, semua orang sibuk dengan kerjaan masing-masing, ada yang tiduran, menggosip, kejar target list perdrakoran, dan banyak lagi. Dea pun sibuk membaca buku yang ia bawa, begitu fokus.
Aina bingung mau ngapain, menulis juga lagi tidak mood, sebab itu Aina memilih untuk istirahat merebahkan kepalanya di atas meja sambil memandangi area luar kelas, begitu dalam.
Panas terik di luar serasa menyilaukan matanya, dalam beberapa detik Aina merasa pandangannya seperti buram kian buram, tampak di matanya pohon cemara di depan kelas serasa mendekati keberadaanya, Aina berusaha membuyarkan apa yang ia pikirkan sekarang, tapi cahaya ini kian mengkilat hingga menyilaukan dan merambat melalui balik kaca, ruangan tiba-tiba menghening, yang terdengar hanyalah engsel yang bergesekan di balik pintu. Angin juga ikut menghembus seakan berbisik di daun telinganya, ini benar-benar jelas, suara langkah kaki seakan mendekatinya sekarang.
Betapa membulatnya mata Aina, sebuah bayangan besar terlihat dari pantulan pintu depan kelasnya, ia lihat bayangan itu tampak mengikuti suara langkah kaki yang terdengar, semakin jelas hingga suara aneh itu seperti terdengar akan memunculkan wujud yang sebenarnya.
Ditambah melihat Dea tak ada di sampingnya sekarang, yang tersisa hanya buku yang ia baca, membuat Aina semakin tidak percaya dengan semua ini, ada apa hari ini, kenapa semua menghilang! Aina melihat ke belakangnya, Boni yang sedang sibuk menulis juga tidak ada, Aina langsung bangkit dari duduknya, berjalan melihat seisi ruangan ini, mereka yang tiduran juga tiba-tiba tidak ada, kemana mereka semua? Aina semakin bingung, kemana teman-temannya yang banyak tadi. Kenapa hanya tersisa barang mereka saja? Aina mulai panik dengan situasi ini, terdengar dengungan kencang memekik telinganya, membuat Aina menutupnya kuat. Menyakitkan! Aina menangis sesegukan tak karuan, yang lain dimana!
“Bunda! Ayah!” Aina berteriak sejadi-jadinya meluapkan ketakutannya.
Di ujung ruangan ia terduduk menutupi tubuhnya yang melemas, menutup telinganya erat, mengalir air matanya perlahan membasahi pipinya yang awalnya ranum kini memucat, kelas yang terang, kini seakan gelap, pengap, bising sana-sini mendengungkan telinganya lagi.
“Ai! Bangun, kamu kenapa?” suara itu langsung mengejutkan Aina dan menyadarkannya.
Kerumunan teman-temannya membuat Aina mendengus napas kasar karena pengap.
Mereka pun bubar atas perintah Boni yang terbawa panik melihat Aina. Aina masih linglung melihat di sekitarnya sekarang, napasnya tidak teratur, wajahnya begitu pucat, lagi-lagi Aina memainkan kukunya kasar jika sudah gugup begini.
Aina menekan pelipisnya pelan, pandangannya kembali buram, pusing. Dea pun mengambil air mineral yang kebetulan ia beli di kantin pagi tadi. Aina pun meneguk air mineral dengan tangan yang gemetar, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Bulu tangannya semua berdiri mengikuti kegugupan dan kepanikan Aina. Ia mencoba menenangkan pikirannya lagi, menarik napas pelan, dan membenamkan matanya beberapa detik agar lebih tenang.
“Kamu kenapa Ai?” tanya Dea penasaran.
“Kamu tadi kemana?” sahut Aina.
“Aku gak kemana-mana, dari tadi aku baca buku aja di sini, aku langsung kaget pas dengar kamu teriak,” jelas Dea yang membuat Aina semakin bingung.
Aina semakin buncah dengan apa yang ia lihat, ini nyata, tidak mungkin ia berhalusinasi. Bayangan orang tersebut begitu tampak mendekatinya, dan suara langkah kaki itu, juga benar-benar nyata terdengar. Sialan! Aina mencengkram roknya erat, ia tidak mungkin pikun di usia semuda ini.
“Ai, kamu belum jawab pertanyaanku, kamu kenapa?” ujar Boni mengulangi pertanyaanya lagi.
Aina mendongakkan wajahnya menatap Boni beberapa detik. “Aku gak tau apa yang terjadi, yang pasti kalian tadi seakan menghilang,” jelas Aina yang mengundang keanehan Dea dan Boni.
Semakin Dea penasaran, ia hanya berpikir kalau Aina cuma mimpi, dan ini diangguk setuju oleh Boni, karena sejak tadi mereka hanya berada di kelas ini. Semakin Aina menyangkal, ia berpikir teman-temannya pasti akan menganggapnya aneh, terlebih dengan pikiran yang tidak masuk akal ini.
“Sudahlah lupain saja, mungkin benar apa yang kalian katakan aku cuma mimpi,” ujar Aina yang langsung diangguk Dea dan Boni.
*****
Bel kepulangan sekolah berbunyi nyaring, para siswa-siswi berhamburan pulang.
Pensil-pensil berjatuhan dari atas meja, karena Aina tak sengaja menubruk meja tersebut.
Lagi-lagi ini meja Angel, cewek yang super ribet dan rewel itu, bisa-bisa Aina habis kena semburnya jika lambat mengumpulkan pensil miliknya yang terjatuh ini, apalagi sekarang sepertinya Angel bakalan ke sini untuk mengambil tasnya.
Jatuhnya pensil tersebut membuat Aina semakin ribet harus masuk ke bawah meja, menunduk menjangkau pensil yang tergeletak di sana, merepotkan.
Saat Aina keluar dari bawah meja. “Hah, ini sudah senja,” pikir Aina yang heran melihat cuaca dari balik jendela di luar mulai gelap.
Seingatnya ini masih jam satu siang, tapi kenapa sekarang sudah tampak begitu senja, Aina semakin bingung dan heran, ia langsung berlari menengok ke luar kelas, tidak ada tanda-tanda akan mau hujan, tapi kenapa? Hari sekarang begitu gelap. Ditengoknya sepanjang kelas seberang dan di samping semua kelas tertutup, ini tidak mungkin! Baru beberapa menit yang lalu ia masuk ke sini, kelas sebelah dan depan sana masih terbuka, ia masih ingat betul, Aina menyisir rambut di dahinya, heran.
Aina langsung berlari kecil kembali ke kelasnya, untuk melihat jam dinding di kelas. Dan betapa tersentaknya Aina melihat jarum tersebut berputar dengan sendirinya bertolak dari arah sebenarnya. Aina tersungkur tidak percaya, ia mencengkram dadanya kuat. Ini kenapa?
Brak!!! Suara tersebut menenggelamkan pandangan Aina kembali ke tempat awal, dan betapa kagetnya ia melihat Angel dan teman-temannya sudah berada di depannya menatap dirinya heran. Begitupun dengan Aina, ia juga bingung dengan apa yang terjadi sekarang, ia yang kalut langsung berlari keluar kelas untuk memastikan apa yang ia lihat tadi, dan benar saja, hari masih panas dan terang benderang, kelas yang tertutup tadi masih terbuka, dan?
“Lho, ngapain di meja gue?” tanya Angel penasaran yang mengejutkan Aina dari belakang.
“Itu, tadi aku gak sengaja nyenggol tempat pensil kamu,” jelas Aina yang ditatap Angel sinis dan memilih untuk berlalu meninggalkan Aina.
Langkah kepergian mereka ditatap Aina heran, ia terus memperhatikan kepergian Angel dan teman-temannya, ia takut jika mereka menghilang. Sialan! Aina mengacak-ngacak rambutnya bingung dengan apa yang ia alami sekarang.
“Ai, belum pulang?” tanya Dea yang tiba-tiba saja nongol di depan pintu.
“Eh, Dea, Ini aku mau pulang,” sahut Aina.
“Ya udah bareng aja yuk, kebetulan sopir aku jemput di depan,” ujar Dea dan diangguk Aina setuju kebetulan pak Yogo juga tidak menjemputnya dari tadi.
Beberapa menit di perjalanan hujan deras mengguyur ibu kota, angin tampak kencang. Aina menengok dari balik kaca mobil, titisan air hujan membasahi kaca menghalangi pandangan Aina melihat jalan.
Suara klakson mobil bersahutan, rupanya di depan, tengah ada macet yang begitu padat, alhasil mereka terkurung di himpitan mobil satu sama lain. Cukup lama, hingga memakan waktu beberapa menit.
“Ai, sebelumnya aku minta maaf nih nanya begini sama kamu,” ujar Dea terpotong kala gugup melihat tatapan Aina.
“Tanya apa Dea?” sahut Aina.
“Tadi waktu di kelas, kamu kenapa? Jujur aku penasaran,” jelas Dea.
"Kamu gak papa?" tanya Aina pelan. "Ai." Dea langsung terisak tak sanggup berkata lagi. Aina pun langsung memberikan sambutan sebuah pelukan hangat kepada sahabatnya ini. "Ai ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Dea menyeka air matanya. "Apa itu Dea?" jawab Aina. Obrolan me
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa