Share

Pertemuan yang Menanti Jawaban

Napas Aina berlarut pelan. Membuat Aina menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.

Ia memejamkan matanya beberapa detik. Ia baru ingat, kalau hari ini ia ditugaskan untuk mencatat di kelas. Meski sakit kepalanya masih tidak sepenuhnya hilang. Aina berlari melewati koridor dengan cepat menuju kantor guru, karena tersisa satu menit lagi maka bel akan berbunyi.

Aina mendengus napas kasar, merunduk lelah berlari melewati koridor sepanjang ini. Masih pagi, tapi keringatnya sudah bercucuran kesana kemari. Tepat beberapa langkah dari keberadaannya, Aina seperti mengenali perempuan yang sedang duduk di anak tangga depan kantor.

Aina berlari kecil menghampirinya. "Kamu Dea?" Aina menebak seorang perempuan yang sedang duduk santai di bawah anak tangga ini.

"Hei! Gimana? Udah enakan?" sahutnya.

"Makasih ya, udah nolongin aku,” ujar Aina yang dibalas anggukan senyum oleh Dea.

Lagi – lagi Aina terbawa keingatan tadi, garis wajah itu, suara seraknya, sentuhannya meskipun hanya beberapa detik tapi otak Aina masih bisa mengingatnya. Entah kenapa Aina begitu penasaran, siapa yang menolongnya di awal, apakah Dea? Atau?

"Hei! Kok bengong." Dea mengibaskan kertas di tangannya mengejutkan Aina.

Aina merapikan rambutnya, dan memegang pelipis kepalanya beberapa detik, yang mulai terasa nyeri hebat lagi.

"Ehmm, kamu siswi baru?" tanya Aina penasaran.

"Iya, aku baru masuk hari ini," sahut Dea.

“Dea Yisha Azela?” panggil bu Anjela, wakil kepala sekolah di SMA Bina Jaya.

“Iya bu, Saya,” sahut Dea mengacungkan tangannya. “Aku masuk dulu,” tambah Dea berbalik menatap Aina dan berlalu meninggalkannya.

Aina pun ikut menyusul di belakang untuk menuju ke ruang wali kelas mereka, pak Wilan. Karena kebetulan pak Wilan ada urusan keluarga yang mendadak, mengharuskanya untuk pulang ke Bogor. Tersusun beberapa buku di atas rak meja beliau, Aina pun segera mencari buku yang ditugaskan untuk mereka.

*****

Tumpukan kertas memenuhi meja kecil di dalam ruangan ini. Panas matahari begitu terasa. Padahal Ac hidup saja, entah kenapa panas ini begitu menyengat, sampai Dea dari tadi keringatan.

"Ayo ikut saya, kita akan ke kelas kamu," ujar bu Anjela.

Wajah Dea berbinar senang, duduk di bangku SMA lagi dengan jurusan IPA yang merupakan minatnya, bukan tanpa alasan Dea sangat mencintai pelajaran ini, yang mana menurutnya, ini adalah ilmu mengetahui, lebih lanjut tentang benda dalam kehidupan, ujarnya.

Dea melangkah pasti masuk ke dalam ruangan ini, beberapa pasang mata menatapnya. Kelas yang begitu besar, dimana dihuni oleh orang-orang pintar, dan Dea memiliki kualifikasi yang memang mengharuskannya masuk ke sini.

Tok! Suara pintu kelas, Aina menarik napas kasar masuk ke dalam kelas, rupanya kedatangan Aina telah ditunggu oleh teman-temannya sebagian. Karena ia telah terlambat sepuluh menit dan ini membuat mereka terlambat juga mencatat.

“Kamu?” Aina menyeringai dengan kehadiran Dea di depannya sekarang.

“Ayo perkenalkan dirimu,” perintah bu Anjela memberikan kode ke Dea.

“Hallo, perkenalkan nama aku Dea Yisha Azela, biasa di panggil Dea, semoga kita bisa berteman,” ujar Dea.

“Pergi ke Sumatra membeli itik,” sahut yang lain.”Cakep,” terkekeh bu Anjela mendengar Jaylani mulai berpantun.

“Disana, buah mangga rasanya pisang, neng Dea yang cantik, salam kenal dari abang Jay yang tampan,” tambah Jay yang langsung dilempari tawa dan sorakan dari teman-temannya.

Dea tersipu malu menahan tawa akibat candaan dari Jaylani. Ia pun dipersilahkan duduk satu meja bersebelahan dengan Aina, karena kebetulan di kelas ini cuma Aina yang duduk sendiri.

“Baik semuanya, saya akan kembali ke kantor lagi, untuk tugas kalian, sudah dibawa oleh Aina,” ujar perempuan berambut pendek ini.

“Baik bu,” sahut mereka serempak.

Aina pun membuka halaman demi halaman buku tebal ini, mencari tanda yang kemaren ia bulati dengan pensil. Beberapa detik berlalu, tanda tersebut rupanya berada di halaman pertengahan. Semua murid di kelas ini bersiap untuk mengejar catatan yang super banyak ditugaskan. Hingga jarum jam terus berputar memakan waktu yang begitu cepat berlalu.

*****

Jam istirahat kali ini lumayan lama, karena kebetulan para guru juga pada rapat di kantor, alhasil jam kedua masih jam pelajaran pak Wilan, karena catatan mereka juga sudah selesai sudah di pastikan mereka akan jam kosong.

Semua siswa - siswi di kelas ini pada pergi ke kantin, sedangkan Aina duduk di mejanya, sambil menulis beberapa kata, beginilah Aina selain orangnya susah bergaul ia juga tampak pendiam.

Ia terpilih menjadi sekretaris juga bukan melalui ajang vote di kelas, melainkan atas pilihan pak Wilan, karena Aina sangat disiplin, dan begitu rajin jadi itulah yang membuat pak Wilan tertarik untuk menjadikan Aina bagian penting di kelas ini.

Sangat cerdas, dan suka membantu siapapun jika memerlukan bantuannya. Namun karena kemampuan di bidang akademis dan non akademisnya yang sudah cemerlang sejak lama, itulah membuat teman-temanya iri dan begitu tidak menyukai Aina. Aina jauh dari kata pertemanan, ia sendirian, begitu di kucilkan, tapi ia anak emas para guru-guru di sekolah ini, dibanggakan, disanjung, dan selalu mendapat perhatian lebih dari para guru. Hal ini semakin membuat teman-temannya menjauh dan tidak meanggap Aina ada di sekolah ini.

“Permisi,” ujar perempuan yang berdiri di depan pintu.

“Iya? Ada apa?” tanya Aina.

“Disini, ruangan kelas Neo kan?" tanya perempuan yang satu seragam dengannya.

“Neo lagi ke luar kota ada urusan keluarga, jadi ia tidak hadir,” sahut Aina yang diangguk perempuan tersebut dan berlalu pergi.

Neo adalah ketua kelas di kelas 11 IPA satu ini, nama lengkapnya Neo Aldraputra, bisa di katakan dari 150 murid di kelas ini, Neo adalah teman yang begitu care dengan Aina, sejak pertama bertemu mereka sudah saling membantu dan bekerja sama mengurus kelas ini baik dalam urusan apapun. Seperti yang diketahui Neo dan Aina tidak pernah berganti kedudukan dari kelas sepuluh, bahkan pak Wilan pernah meminta Aina untuk menjadi wakil, tapi Aina selalu menolak, karena ia ingin memberikan kesempatan kepada yang lain, dan memilih menjadi sekretaris karena kebetulan ia juga senang menulis.

“Nih, buat kamu Ai.” Aina mendongakkan wajahnya, ternyata ada Dea teman di sebelah duduknya. Aina mengambil ice cup pemberian Dea dan melemparkan senyum di sudut bibirnya, ini baru pertama kali bagi Aina diperlakukan baik oleh teman perempuannya.

“Makasih, Dea,” ujar Aina yang diangguk senyum oleh Dea dan beristirahat duduk di sebelahnya sambil melihat apa yang Aina tulis.

“Angin melaju kencang, membawa serpihan bunga mawar kesayanganku, mereka terpisah menjadi banyak, berlari menjauhiku, kini tersisa tangkai yang setia, mengakar di tanganku, entah apakah tangkai ini akan ikut pergi menyusulmu, atau akan tetap diam dan bertahan untuk hidup bersamaku.”- Rose-

“kata-kata kamu dalam sekali Ai, aku tersentuh, sepertinya kamu senang menulis ya?” ucap Dea begitu kagum dengan karya tulis Aina.

“Iya, dari kecil aku sudah menghabiskan waktu menggeluti kehobian ini, rasanya sehari saja tidak menulis aku seperti kehilangan sesuatu,” tambah Aina yang diangguk Dea begitu serius mendengarkan ucapannya.

“Ai, kita ke luar yuk, kamu gak bosan di dalam kelas?” ucap Dea.

“Kemana?” tanya Aina.

“Gimana kalau kita duduk di taman aja, di sanakan udaranya sejuk banget, banyak pepohonan,” ujar Dea yang diangguk setuju Aina.

Mereka pun berlalu pergi ke taman, di koridor tak sengaja Aina berpapasan dengan teman-temannya, mereka menatap Aina sinis, tidak suka melihatnya. Aina hanya menunduk dan berusaha tersenyum, namun ini tidak menutup dari pandangan Dea, ia merasa ada sesuatu yang Aina pendam, tapi ia tidak berani menanyakan itu.

“Tuhkan! Disini nyaman,” ujar Dea sambil menghirup kasar udaranya.

Sepanjang Dea merentangkan tangannya bebas menghirup udara segar, Aina berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi ranum pipinya, ia tidak mau Dea mengetahui apa yang ia alami. Kebetulan Aina membawa buku di tangannya dan sebuah pensil, ia melukis wajah Dea yang sedang berdiri di depannya dengan alat seadanya. Polesan demi polesan pensil mengukir garis wajah perempuan di depannya ini, dengan lembut penuh perasaan, gambar yang begitu nyata tampak bernyawa terlukis di kertas biasa miliknya.

Dea berbalik menghampiri Aina yang sedang duduk di kursi taman.” Kamu melukis apa Ai?” tanya Dea penasaran.

“Ini untuk kamu, Dea.” Aina meyodorkan kertas tersebut.

Betapa senangnya Dea melihat dirinya dilukis Aina begitu indah sekali, garis wajahnya, matanya, semuanya begitu mirip dan tampak nyata. Tidak lupa tanggal pembuatan dan tanda tangan Aina di bawah gambar terselip kecil, harapannya agar Dea selalu mengingatnya.

Bel berbunyi mengejutkan Aina dan Dea, mereka pun bangkit dan bergegas kembali ke kelas. Berlari kecil menyusuri koridor yang terasa begitu panjang ini, karena kebetulan kelas mereka lumayan jauh.

Bruk!!!

Sialan! Dada bidang ini begitu keras hingga membuat dahi Aina rasa terpantul diulahnya, berserakan buku-buku di lantai koridor sekarang. Aina tak sengaja, menabrak orang ini, karena mereka begitu terburu-buru.

"Maaf," ujar Aina sambil membantunya memungut buku-buku yang terjatuh ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status