"Mama, Rebecca sama sekali enggak ada pernah melukai Delilah." Kilahnya sambil bergelayut manja di lengan milik wanita paruh baya yang kuduga adalah ibunya.
Wanita itu memiliki wajah angkuh yang mirip dengan anak semata wayangnya itu.
Saat itu aku merasa sedikit iri dengan interaksi mereka. Apalagi ketika Ibu Rebecca terus mengelus kepala anaknya dengan lembut sambil memasang wajah ketus ke arahku.
Bu Hafni kembali masuk ruangan dengan wajah sedikit panik setelah ia menelpon rumahku untuk ketiga kalinya. Ia sepertinya was-was karena Ibu tak kunjung datang.
Kami berada di ruang rapat. Ada empat kursi sofa panjang berwarna cokelat tua dalam ruangan bercat putih ini. Sebuah meja kaca berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan. Membatasi kami yang duduk berhadapan.
Aku menundukkan kepala dan menatap ubin putih di lantai. Pandangan Ibu Rebecca membuatku tidak nyaman. Seolah m
Keesokan harinya, aku tak melihat Rebecca lagi. Bahkan sampai saat ini, kabarnya tak pernah sampai di telingaku.Di lain pihak, rumor mengenai aku yang membuat Rebecca pindah sekolah mengantarkanku pada puncak hierarki di sekolah. Dalam semalam, aku mendadak disegani. Atau mungkin ditakuti.Yang jelas, hari-hari di sekolah terasa ringan.Tidak ada lagi yang merundungku.Tidak ada lagi kejahilan-kejahilan kecil.Tidak ada lagi yang berani membuat kontak mata denganku.Apalagi semenjak rapat itu, Bu Nahfi jadi semakin lunak padaku. Bahkan ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah atau terlambat masuk sekolah, ia memberikan banyak kelonggaran.Hal ini membuat rumor yang beredar semakin parah. Sampai-sampai mereka menyimpulkan bahwa siapapun yang kubenci akan menghilang dari dunia ini. Berkat rumor itu aku jugatak pernah mendapat undangan reuni
"Kejedot lagi?" Tanya Andra ketika melihat lebam di lipatan lenganku. Aku mengangguk dan terus mengerjakan essay. Andra menggeleng lemah, suara decakan lidahnya lolos dari mulutnya. Seragamku di sekolah sudah bukan lengan panjang lagi. Tapi tetap saja Ayah berulah lagi. Saat itu kadang ia pulang dalam keadaan sadar dan memukuliku seperti samsak. "Ayo nanti ke rumahku." Aku mengalihkan pandangan dari buku tugasku ke arah manik mata cokelatnya, "Apa?" "Tugas geografi 'kan dikerjakan secara berkelompok. Di rumahku saja." "Aku saja yang mengerjakan." Seumur-umur aku belum pernah diajak kerja kelompok, ini hal yang baru untukku. Sayangnya waktu itu aku hanya berpikir bahwa ini merepotkan daripada menyenangkan. "Sudahlah ikut saja. Rumahku deket sekolah sini kok. Nanti kubelikan seblak." Perutku berbunyi pelan. Seblak kedengarannya enak. Langsung
Aku merasa sudah melewati koridor yang sama selama belasan kali. Dan di sinilah aku. Di depan pintu kamar sebelumnya.Nafasku terengah-engah meski mataku terus nyalang mencoba jalan lain yang kemungkinannya tetap sama."Sial!" Umpatku. Harusnya aku keluar selagi bisa. Lalu kucium wangi aroma dupa yang kuat dari pintu di seberangku. Ada sesuatu yang magis, menarik diriku untuk mendekatinya. Aku sudah berusaha untuk tidak mendekatinya, maksudku, ini 'kan bukan rumahku.Tujuanku adalah keluar dari tempat sialan ini. Tapi tahu-tahu, aku menemukan diriku di depan pintu dan mendorongnya. Kamar itu gelap. Refleks, tanganku meraba dinding, mencari saklar lalu menekannya. Tempat itu memiliki perabotan dan dan tata letak yang sama dengan kamarku."Astaga!" Satu-satunya perbedaan adalah seorang wanita yang tergantung di langit-langit dengan tal
Lorong koridor di bangunan ini membuatku pusing. Berbeda dengan rumah yang sebelumnya, tempat ini lebih kecil dan tidak banyak ruangan di sini.Anggota sekte itu tidak mengejarku atau lebih tepatnya, belum. Karena aku tak mendengar suara apapun dari belakangku."Sebelah.. kiri." Suara parau Gilang nyaris mengagetkanku. Ia masih berada di atas punggungku. Kedua tangannya terkulai lemah di pundakku. Sama sekali tak kusangka akan ada hal semacam ini dalam hubungan kami."Kamu sudah sadar?" tanyaku setengah berteriak."Kiri." Katanya sebelum kesadarannya menghilang.Aku mengangguk sebelum berlari ke arah yang ditunjuk Gilang. Tapi, ini jalan buntu.Ada satu pintu di sebelah kiri dan tidak terkunci ketika aku membukanya. Sayup-sayup terdengar suara berisik dari belakang.Celaka, sepertinya mereka sudah dekat. Tak ada pilihan lain dan aku terpaksa masuk
Aku merasa seperti seorang pendekar. Sialan. Bagaimana bisa aku terjebak dalam hal seperti ini? Kugendong Gilang di belakang punggungku. Tubuhnya lunglai jadi aku berusaha untuk memeganginya dengan satu tangan. Sementara tanganku yang lain memegang pedang. Aku tidak tahu teknik menggunakannya dengan benar. Tapi asalkan dapat melukai mereka, kurasa itu lebih dari cukup. Semua ini demi bertahan hidup, itu kilahku saat ini. Sekaligus untuk memompa keberanian kalau-kalau mereka menyerangku. "Oke." kataku sambil membuka pintu dengan kaki kananku setelah itu aku mulai berlari menuju pintu keluar. "Kak! Itu dia orangnya!" Seeseorang bertudung hitam menunjukku. Dia sendirian saat di persimpangan. Aku harus membungkamnya sebelum teman-temannya datang. Kuayunkan pedang itu ke arah wajahnya, tapi dia cukup cepat menghindar dan berla
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aku bahkan tidak memelankan laju kendaraan di jalanan berbatu itu. Tujuanku saat ini adalah Penginapan Merinda. Bagaimanapun, aku tak tahu letak rumah sakit atau klinik terdekat. Masih kupikirkan cara agar mereka tidak menolak saat ada seorang laki-laki melambaikan tangan di tengah jalan. Mataku terbelalak tapi kakiku bergerak lebih cepat karena mobil berhenti tepat beberapa senti di depannya. "Tono? Tono, kan?" tanyaku saat menyadari pemilik wajah familiar itu. Lelaki itu mengerutkan alisnya saat mengajakku bicara dari jendela mobil. "Waduh, Mbak Delilah ini kemana saja, tho?' "Maaf. Tapi yang lebih penting, antarkan aku ke rumah sakit. Gilang sekarat." Kataku sambil menunjuk kursi di sebelahku. Begitu Tono melihat si penumpang, matanya terbelalak. "EEEE, LHA DALAH??! MAS GILANG KENOPO, MBAK?" "Nanti saja ceritanya. Ayo k
"Sudah bangun?"Wajah Rani yang berlumuran darah adalah hal yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata. Harus kuakui, kalau itu bukan pemandangan yang menyenangkan.Tapi, untungnya aku tahu dengan jelas bahwa ini hanya mimpi.Kami berdua ada di kamar yang aku pinjam di rumahnya. Aku terduduk di tepi ranjang, sementara ia berdiri membelakangi jendela dan menatapku dengan senyum yang samar."Tenang saja, aku takkan datang lagi. Bagaimanapun aku sudah kalah darimu.""Baguslah. Katakan apa yang kau inginkan. Aku sedang sibuk."Wanita itu mengedikkan bahunya, "Kuberi kau sebuah peringatan sebagai hadiah. Kuakui tekadmu memang mengerikan. Hanya saja, kau pikir memangnya kami akan semudah itu untuk melepaskanmu?"Dahiku berkerut saat melihatnya menyeringai. Sejujurnya, aku tak merasa dimudahkan, sih."Kau sempat menanyakan padaku be
Dinar memegangi bahuku yang gemetar setelah pemeriksaan kandungan. Aku sudah diperbolehkan pulang dan urusan administrasi sudah terselesaikan. Namun alih-alih menjenguk Gilang, aku terduduk di lobby sambil memegangi foto hasil USG. Kehamilanku sudah berjalan selama delapan minggu dan sama sekali tidak kusadari. Ukuran janinnya sepanjang tiga senti. Ibu jariku bahkan lebih besar darinya. "Jangan diliatin terus. Ntar bisa bolong tuh fotonya." Kata Dinar sambil duduk di sebelah kursiku. Ia nampak lebih santai dari sebelumnya. "Njir. Gue enggak siap." "Lah? Terus mau lo bunuh? Darah daging sendiri? Beneran?" Aku bisa mendengar nada menyebalkan dari setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Entah kenapa kata 'bunuh' terasa amat kasar. Aku cuma ingin ia menghilang. Ah, sial! Aku memang manusia sampah. "Gue tanya Gi