Dinar memegangi bahuku yang gemetar setelah pemeriksaan kandungan.
Aku sudah diperbolehkan pulang dan urusan administrasi sudah terselesaikan. Namun alih-alih menjenguk Gilang, aku terduduk di lobby sambil memegangi foto hasil USG.
Kehamilanku sudah berjalan selama delapan minggu dan sama sekali tidak kusadari.
Ukuran janinnya sepanjang tiga senti. Ibu jariku bahkan lebih besar darinya.
"Jangan diliatin terus. Ntar bisa bolong tuh fotonya." Kata Dinar sambil duduk di sebelah kursiku. Ia nampak lebih santai dari sebelumnya.
"Njir. Gue enggak siap."
"Lah? Terus mau lo bunuh? Darah daging sendiri? Beneran?" Aku bisa mendengar nada menyebalkan dari setiap pertanyaan yang ia lontarkan.
Entah kenapa kata 'bunuh' terasa amat kasar. Aku cuma ingin ia menghilang.
Ah, sial! Aku memang manusia sampah.
"Gue tanya Gi
Segalanya terasa berjalan lambat. Aku bisa melihat Dinar berusaha mengatakan sesuatu padaku.Ia sedang berada di kursi di sebelah kiriku, tapi suaranya terdengar sangat jauh.Sementara itu orang-orang nampak berjalan mondar-mandir atau mungkin, semacamnya. Entah mana yang benar, yang jelas mereka sedang bergerak.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah kuketahui mengenai kematian Gilang, rasanya ada sebuah dengungan yang sangat keras, menulikan kedua telingaku.Di saat bersamaan, aku tak bisa merasakan gravitasi. Tubuhku terasa ringan dan melayang. Melayang jauh hingga rasanya kepalaku mampu menyentuh langit-langit jika aku sedikit mendongak.Dinar sepertinya menarik pundakku lalu menyuruh untuk duduk di kursi lobi sambil terus mengatakan sesuatu yang tidak kupahami.Suaranya memang terdengar jauh tapi sedikit demi sedikit aku bisa mendengarn
Kepalaku terasa pening. Lagi. Mungkin ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari ini. Sepertinya, aku menjadi sering melupakan banyak hal. Dinar sampai 'menitipkan' aku pada ibunya yang tinggal di pinggiran kota Jogja. Beliau tinggal bersama seorang pembantu, yang sudah berusia lanjut, setelah orang tua Dinar bercerai. Ibu Dinar, yang biasa kupanggil Tante Inka, sangat menyambut hangat kedatanganku yang saat itu sedang hamil empat bulan. Ya, setelah malam-malam mengerikan itu, Dinar dan aku kembali ke Jakarta. Kujual apartemen yang belum lunas itu beserta semua perabotan. Perusahaan Gilang perlahan-lahan berjalan dengan baik setelah aku menggunakan hasil penjualan apartemen sebagai modal. Secara teori, aku sudah termasuk kategori tuna wisma. Alhasil, kalau tidak sedang menginap di rumah Dinar, aku sering sekali tidur di ruangan Gilang. Seminggu s
Namaku Ilyas Jingga Cakrawala. Umur lima belas tahun. Anak laki-laki biasa yang masuk ke SMA biasa dengan nilai yang biasa-biasa saja.Hari ini adalah hari pertama untuk masa orientasi siswa. Naas, aku harus menjalani hari penuh kesia-siaan selama satu minggu kedepan.Masih dengan seragam putih biru dengan kalung papan kardus juga topi kerucut sisa tahun baru, aku lebih tampak seperti badut daripada seorang siswa.Entah apa yang dipikirkan kakak kelas juga para guru yang mengawasi tingkah laku kami. Katanya sih untuk mempertahankan tradisi. Omong kosong, seharusnya mengajarkan tari reog atau mungkin, pertunjukan ketoprak saja.Itu lebih bermanfaat daripada menjemur anak-anak remaja tanggung di bawah terik sinar matahari pada siang bolong.Apa mereka tidak tahu bahwa hal itu bisa membakar kulit serta menyebabkan dehidrasi? Belum lagi, terpapar sinar matahari dalam jangka waktu panjang
Arun tertawa renyah begitu mendengar cerita di warung bakso itu.Kami bertiga duduk di food court, salah satu mall di Jakarta, sambil menyantap makan siang yang tertunda tadi.Nafsu makanku sempat hilang setelah melihat tetesan air liur itu. Tante Dinar sepertinya juga merasakan hal yang sama. Karena setelah itu, beliau menghabiskan waktu dengan berputar-putar di jalan sekitar sana sampai Arun pulang sekolah.Setelah itu kami mencari tempat yang 'bersih' dan malah, tergoda dengan aroma bakmi kuah."Untung Arun belum pernah makan disana. Warung itu soalnya sempet viral dulu. Sampe temen-temen Arun banyak yang nyobain."Tante Dinar mencibir, "Halah! Paling kalau kamu enggak tahu, pasti juga ikut ketagihan.""Enggak, Ma!" Seru gadis berambut hitam panjang itu tak mau kalah. "Sebelumnya, Arun sempet curiga sih. Kan warungnya rame tuh, jadinya banyak temen-temen yang bel
Mama tidak ada di rumah saat aku pulang. Arun dan Tante Dinar kembali ke rumah mereka yang terletak di perumahan sebelah. Sepertinya hari ini mereka tidak akan menginap.Setelah aku berganti baju, kuambil botol plastik berisi kalung ular itu untuk segera kulempar ke Kali Kuningan sebelum hari gelap.Dengan sepeda kayuh, perjalanan itu hanya memakan waktu lima menit.Daerah sekitar sungai adalah perkampungan yang rapat penduduk. Banyak orang lalu lalang disana. Anak-anak kecil berlarian sambil berteriak-teriak. Memaksaku untuk turun dan menuntun sepeda.Kalau dilihat dari jumlah sampah yang membludak, sepertinya semua warga juga membuang sampah di sana.Bahkan aku melihat ada kasur kapuk berwarna merah muda lusuh yang mengapung di sana, tapi anehnya, sama sekali tak menyumbat aliran air sungai.Itulah kenapa, pemandangan seorang anak laki-laki yang melemp
Kalau tidak salah, Bruce Lee si aktor film laga terkenal, pernah mengatakan bahwa ia ingin menjadi air. Karena meski air merupakan salah satu benda terlembut di dunia, tapi ia bisa melubangi batu.Naiad membuktikannya padaku.Gerakannya yang lemah gemulai mampu menghancurkan sepedaku menjadi dua.Alih-alih takut, aku merasa marah karena mereka semudah menghancurkan barang milik orang lain.Seolah mampu membaca pikiranku, Kanha berteriak, "Maaf, kami akan menggantinya! Tenang saja."Tapi, perkataannya malah membuatku semakin kesal.Serangan Naiad menjadi semakin cepat dan ia mengubah air menjadi tombak-tombak yang tajam.Aku menggenggam tang dengan erat dan terus berlari kesana-kemari menghindari serangannya.Hal ini membuatku teringat pada beberapa kejadian di masa lalu. Dimana arwah-arwah yang menyebalkan sering menyerangku.
Guru Gan menggangguk beberapa kali sambil mengunyah es batu saat aku mulai bercerita mengenai botol-botol yang pernah kubuang. Tentu saja, hanya poin pentingnya saja.Laki-laki itu nampak puas dengan jawabanku. Jadi, kuberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang kau ketahui tentang keluarga orang tuaku?""Aku punya beberapa dugaan." Katanya sebelum meminum isi gelasnya hingga tersisa separuh. "Boleh kutahu nama lengkapmu?"Begitu aku memberitahunya, ia mengangguk, "Sepertinya, ibumu menyembunyikanmu dengan baik. Tapi, bangkai bisa mengeluarkan bau meski disembunyikan rapat-rapat."Dahiku berkerut, "Apa maksudmu?""Raharjodiningrat. Itu nama keluarga ayahmu. Mereka cukup terkenal dalam beberapa kalangan.""Terkenal dalam artian baik?" Tanyaku hati-hati. Nama keluarga itu entah kenapa membuat jantungku berdebar agak kencang."Entahlah." Katanya sa
Mama memastikan bahwa semua pintu dan jendela telah terkunci. Beberapa kali, beliau mengecek ulang kompor di dapur sembari melakukan panggilan telepon dengan Tante Dinar.Wajah dinginnya yang biasa kulihat menguap entah kemana. Menampilkan ekspresi panik yang tak kuketahui."Iya, pokoknya elu enggak usah ke rumah dulu. Sori, sori…. Hah? Aduh, enggak tau. Gue pesen tiket buat sekali jalan doang… Oke. Iya. Thanks ya. Ntar gue kabarin lagi."Beliau mengakhiri panggilan dan memasukkan ponsel ke dalam tas jinjing merahnya. "Yuk, Yas. Enggak usah ganti baju. Ayo cepet!" Aku mengikuti dari belakang dan mulai menduga bahwa jangan-jangan omong kosong itu ada benarnya. Tingkah Mama nampak aneh setelah mendengar nama keluarga itu.Tapi, kalau keluarga itu sudah musnah, kenapa Mama sekalut ini? Nasib buruk tidak berhenti sampai di situ. Begitu Mama membuka