The Stalker Part 1
Sebuah motor matik berhenti di tempat parkir rumah sakit besar di Bandung Timur. Pengendaranya melepaskan helm dan mengaitkannya secara sembarangan di spion.
Braakk!
Helm motif sailormoon itu terjatuh dan sukses beradu dengan aspal. Diiringi bunyi dengkusan dari si pemilik motor, helm itu kembali diambil dan dikaitkan di gantungan kecil di bagian bawah jok.
"Diam di sini, jangan jatuh-jatuh lagi, oke?" Pemilik helm itu bermonolog dengan sailormoon yang menatapnya dengan mata membulat sempurna. Tentu saja tidak ada balasan dari benda bulat biru yang sudah tergores di beberapa bagian itu.
Sang pemilik helm kemudian membalikkan tubuh dan jalan. Di langkah keempat dia berhenti dan kembali ke motor. Mencabut kunci dan memasukkannya ke tas selempang sambil menggerutu.
Angin pagi berembus lembut menyentuh rambut panjang terurai sang gadis. Dia berjalan dengan langkah ringan dan membalas sapaan dua petugas keamanan yang membukakan pintu untuknya.
"Selamat pagi, Neng Verda," ujar kedua petugas keamanan nyaris bersamaan.
"Selamat pagi, Pak Sanip dan Pak Ochad," balas Verda seraya mengulaskan senyuman manis.
Verda meneruskan langkah menyusuri lorong rumah sakit yang masih lengang. Tampak beberapa petugas kebersihan tengah mengerjakan tugas mereka. Verda membalas sapaan mereka dengan lambaian tangan.
Setibanya di lorong yang menuju ruangan kerjanya, gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut berhenti dan mengatur napas. Hal yang selalu dilakukan bila hendak melewati persimpangan jalan yang menuju kamar mayat.
Bukan tanpa alasan Verda melakukan hal itu, dia hanya mencoba untuk membentengi diri dari gangguan makhluk halus yang gentayangan di tempat tersebut.
Berbeda dengan sudut ruangan lain di rumah sakit ini, persimpangan jalan tersebut merupakan titik berkumpulnya para makhluk astral. Tanpa malu-malu mereka akan memperlihatkan sosok asli di hadapan manusia yang lewat.
Beruntung bagi yang tidak bisa melihat makhluk-makhluk tersebut. Namun, berbeda dengan Verda. Gadis bermata sipit beriris cokelat muda yang memiliki indra keenam tajam. Dia selalu diganggu para makhluk itu.
Seperti halnya hari-hari sebelumnya, kali ini sudah ada empat makhluk astral yang berdiri di sudut kanan dan kiri. Mereka menatap Verda dengan mata berkilat. Menyeringai lebar saat gadis itu melangkah maju dengan tegak.
"Neng geulis, godain kita dong," ujar makhluk berbentuk pocong yang tiba-tiba sudah berdiri di tengah jalan. (geulis = cantik)
Verda jalan terus dan tanpa ragu menerobos makhluk tersebut. Tak peduli sang pocong menjerit karena tali di atas kepalanya ikut ditarik Verda hingga terlepas.
Gadis berhidung kecil tersebut tertawa kecil saat mendengar suara jeritan pocong yang memprotes tingkahnya. Verda meneruskan langkah dan memasuki sebuah ruangan yang sangat dingin.
Tampak ketiga rekannya tengah mengobrol di meja panjang di bagian depan kantor. Verda menepuk pundak perempuan terdekat yang langsung menjerit kaget.
"Verda! Kebiasaan kamu teh!" omel Riris, perempuan berjilbab hitam yang merupakan pegawai paling senior di tempat tersebut.
"Biasa aja atuh, Teh Riris. Jangan sambil teriak-teriak," balas Verda sembari mencomot kue bolu dari tempat plastik yang diletakkan di atas meja.
"Sumpah da, urang hayang nakol iyeuh budak!" Riris masih menggerutu, padahal Verda sudah jalan menjauh. (Sumpah deh, aku pengen jitak anak ini!)
Verda menanggapi omelan seniornya itu dengan menebarkan senyuman manis yang makin membuat Riris kesal dan bersungut-sungut selama beberapa menit selanjutnya.
Tanpa terasa jam makan siang pun tiba. Verda berdiri dan jalan ke luar ruangan, menyusul langkah rekan-rekannya yang telah lebih dulu keluar dari ruangan.
Langkah Verda terhenti saat melihat sesosok makhluk yang tengah berdiri membelakangi dirinya. Sosok yang bisa dipastikan bukan manusia itu tampak kebingungan. Dia menoleh ke sana sini, seakan-akan mencari seseorang atau sesuatu.
Verda meneruskan langkah dan melewati makhluk itu dari bagian samping kanan. Tanpa sengaja bibirnya menggumamkan kata, "punten," yang membuat makhluk itu menoleh.
"Tunggu, Neng. Tunggu!" serunya sambil memegang pundak Verda. Tatapannya mencelos saat melihat tangannya terus melewati tubuh gadis itu.
Verda bergegas jalan sambil menunduk. Dalam hati mengumpat saat masih merasakan dinginnya sentuhan tangan makhluk tersebut di pundaknya.
"Neng," panggil makhluk itu yang ternyata melayang mengikutinya. "Neng bisa liat akang?" tanyanya lagi dengan suara berdengung.
Verda berusaha untuk mengabaikan panggilan tersebut, tetapi akhirnya langkahnya terhenti saat sosok itu tiba-tiba menghadang tepat di depannya. "Apaan sih!" sungutnya.
"Aih, beneran Neng bisa liat akang?" Makhluk itu kembali mengulang pertanyaan yang mau tak mau dijawab Verda dengan anggukan.
"Aduh, senangnya. Akhirnya ada yang bisa liat." Makhluk itu bertepuk tangan dan membuat Verda melongo.
"Ehh, iya, kenalin. Nama akang Kris Bianglala ehh Bagaskara. Tapi fans akang mah kenalnya nama akang teh Ardan Azmoun," ucap makhluk tersebut yang mengenakan setelan piama khas rumah sakit tersebut.
"Fans?" tanya Verda dengan bingung.
"Iya, akang kan penyiar radio."
Verda manggut-manggut, paham kenapa makhluk astral itu tampak sangat periang.
"Kalau Neng namanya siapa?" tanya Kris.
"Verda."
"Lengkapnya?"
"Ngapain kudu nyebutin nama lengkap?"
"Biar kesannya lebih dekat gitu." Kris mengedip-ngedipkan matanya menggoda Verda.
"Verda Salaga."
"Naon? Jelaga?" (apa?)
"Salaga!"
"Sagala?" (semua)
Verda memelototi makhluk yang tengah menyeringai di hadapan.
"Ish, meni galak pisan!" Kris pura-pura menggeleng. (galak banget)
Verda mendengkus dan kembali meneruskan langkah. Tidak menghiraukan sosok Kris yang melayang di sebelahnya sambil bersenandung lagu khas Sunda.
Makhluk astral tersebut duduk di kursi seberang Verda dan terus memandangi gadis itu yang tengah menyantap makanan dengan semangat. Secarik senyuman terbit di wajah Kris saat melihat gaya makan Verda.
"Lapar atau doyan, Neng?" tanyanya dengan santai. Tak peduli Verda memelototi, Kris tetap memasang wajah tanpa dosa.
Gadis itu meneruskan menyuap hingga tidak tersisa apa pun di piringnya. Tetap mengabaikan sosok makhluk halus yang masih memandanginya seraya tersenyum lebar.
Saat Verda berdiri dan jalan ke tempat kasir, lagi-lagi Kris mengikuti dan berdiri di sebelah gadis itu. Tatapannya lurus ke depan dan ikut sibuk mengecek tulisan tangan sang kasir di atas buku kecil.
"Jangan ngikutin terus!" desis Verda saat jalan ke luar kantin.
"Akang teh mau minta tolong ke Neng," sahut Kris tanpa sungkan.
"Tolong apaan?"
"Sampein ke keluarga akang, bahwa akang teh belum meninggal."
Seketika langkah Verda berhenti. Gadis itu menoleh sambil menyipitkan mata pada makhluk astral yang tengah cengar-cengir di hadapannya. "Belum meninggal?" ulang Verda.
"Hu um."
"Lah kok bisa gentayangan?"
"Akang teh koma, Neng. Udah tiga hari keliling rumah sakit ini buat nyari orang yang bisa ngeliat akang. Akhirnya bisa ketemu Neng." Kembali Kris bertepuk tangan dengan riang, tampak sangat gembira hatinya.
"Komanya udah tiga hari?" tanya Verda memastikan.
Kris mengangguk.
"Keluarga udah tau?"
Kris kembali mengangguk. "Tapi kemaren akang dengar mereka ngobrol, nggak sanggup bayar biaya rumah sakit," keluhnya sambil menunduk.
TS 28Hari berganti menjadi minggu. Kondisi Kris masih belum ada perubahan. Meskipun dia sudah bisa menanggapi pembicaraan dengan menggerak-gerakkan kelopak mata ataupun jemari, tetapi Kris masih belum sanggup menyatukan jiwanya ke raga. Tris yang telah berhasil menggadaikan tanah kebun pada Edi, bisa bernapas sedikit lega karena berhasil melunasi biaya pengobatan akangnya, sekaligus tabungan untuk beberapa bulan mendatang. Untuk biaya hidup sehari-hari, Tris mencari tambahan dengan menjadi sopir taksi online saat ada waktu senggang. Seperti hari itu. Seusai salat Subuh, Tris membersihkan mobilnya di pekarangan. Selanjutnya dia mandi dan berganti pakaian. Tris menyempatkan diri menikmati sarapan yang disiapkan sang bibi. Baru kemudian dia melangkah ke luar dan memasuki mobil. Belasan menit berlalu, Tris tiba di sebuah perumahan kelas menengah. Dia berhenti di depan pagar sebuah rumah dua lantai bercat krem. Seorang perempuan muda bermata sipit keluar dengan didampingi kedua pria be
TS 27Hari pertama masuk kerja merupakan hal yang menyebabkan Tris deg-degan. Namun, kekhawatirannya akan rekan-rekan baru ternyata tidak beralasan. Hampir semuanya bersikap ramah, walaupun mereka baru bertemu. Tris duduk di kursi area khusus staf dan menyalakan laptopnya. Seorang pria berkacamata yang merupakan asisten Reno menghampirinya dan memberikan berkas-berkas yang menjadi tugas Tris. Pria berkemeja putih yang bernama Adam, menerangkan berbagai hal yang dulunya adalah tugasnya dan sekarang dilimpahkan pada Tris. Selama beberapa jam berikutnya Tris fokus bekerja. Dia mengoptimalkan semua kemampuan otak yang sudah hampir setahun tidak digunakan, terutama setelah dia terkena perampingan karyawan di perusahaan lama. Menjadi sopir taksi online merupakan jalan singkat bagi Tris agar bisa terus mendapatkan penghasilan. Akan tetapi, setelah Kris koma, pendapatan sebagai sopir taksi habis untuk biaya hidup sehari-hari. Satu demi satu harta warisan dijual demi membiayai pengobatan Kr
TS 26Langit senja telah turun ketika kedua mobil memasuki pekarangan rumah milik orang tua Verda dan Varen. Semua penumpang turun dan mengeluarkan barang-barang dari belakang, kemudian mengangkatnya ke teras. Pintu terbuka dan Sita keluar. Perempuan berusia lima puluh dua tahun menyunggingkan senyuman saat menyambut kedua anaknya beserta sang menantu. Sita menepuk-nepuk pundak Tris saat pria muda itu menyalaminya dengan takzim. "Masuklah, Ibu udah nyiapin puding dan es buah," tutur Sita. "Aku pikir Ibu nyiapin gulai ikan," sahut Varen sembari merangkul pundak sang ibu yang hanya sebatas dadanya. "Ada, itu lauk untuk makan malam. Sekarang makan yang dingin-dingin dulu," jawab Sita sebelum berhenti dan menoleh ke belakang. "Tris, ikut makan di sini, ya. Ayah mau ngomong sesuatu sama kamu," ajaknya yang membuat Tris tertegun sebelum mengangguk. Sesampainya di ruang tengah, Reno hendak mencium anaknya, tetapi didorong Vika yang meminta suaminya mencuci tangan dan wajah terlebih dahu
TS 25Dua buah mobil berbeda jenis dan warna melesat keluar dari pekarangan rumah di daerah Lembang. Yahya dan Ali memandangi hingga kedua kendaraan menghilang di kejauhan. Kemudian mereka memasuki rumah dan mengemasi barang-barang. "Ditumpuk aja, Li. Minggu depan Non Verda dan teman-teman mau kembali ke sini," ucap Yahya pada sang putra yang tengah menggulung kasur di kamar paling belakang. "Semuanya datang?" tanya Ali sembari melanjutkan aktivitas. "Katanya sih nggak. Cuma Non, Den Tris, Den Reno dan Den Varen. Kalau Mas Hendra dan yang lainnya belum pasti. Mereka udah sering cuti, nanti bisa kena surat peringatan." "Yah, aku penasaran. Siapa orang yang mengintai di kebun waktu itu." Yahya tidak langsung menjawab. Dia menghentikan gerakan dan keluar kamar. Ali mengekori ayahnya dan duduk di kursi ruang tamu. Pria yang lebih muda mengamati lelaki paruh baya yang tengah berpikir sambil melipat tangan di depan dada. "Awalnya Ayah pikir itu si Jaya. Dia kan suka mancing sampai mal
TS 24Kabut yang menggantung di pepohonan menjadi pemandangan pertama yang terlihat di seputar area bangunan besar di tanah luas. Sekeliling tempat ditutupi rerimbunsn pepohonan hingga sulit bagi matahari menembus dengan sinarnya. Titik dingin yang masih sama dengan kemarin malam membuat penghuni rumah enggan beraktivitas di luar. Mereka hanya melakukan kegiatan di dapur dan ruang tengah. Selebihnya membetahkan diri di kamar. Seorang perempuan berambut sepundak berdiri di depan jendela yang terbuka lebar. Kedua tangannya memegangi jeruji yang menghalangi jendela. Tatapan perempuan berkaus ungu lengan panjang dan kulot senada mengarah pada langit yang tidak terlalu terang. Perempuan bermata sipit menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara penuh. Dia melakukan hal itu beberapa kali dan berharap bisa menentramkan hati. Namun, hingga tarikan terakhir kegundahan masih bercokol dan membuatnya kesal. Perempuan berdagu lancip mengingat sosok pria periang yang selalu membuatnya t
TS 23Hawa panas di sekitar menyebabkan Verda dan Veren kian mempercepat bacaan doa. Sekali-sekali tangan kanan Verda bergerak memutar membentuk setengah lingkaran ke depan. Sementara Varen mengarahkan telapak tangan kanan ke belakang. Keduanya sama-sama mengamalkan olah napas yang pernah diajarkan Kakek mereka beberapa waktu lampau. Verda membatin bila sepertinya sang kakek sudah memberi isyarat bila dirinya dan Varen akan terlibat penyelidikan kasus. Sebab beberapa bulan lalu kakeknya yang bernama Harso mengatakan bila Verda harus rajin melatih olah napas dan menguatkan batin, terutama dalam menghadapi makhluk tak kasatmata.Pada awalnya Verda mengira Harso mengatakan itu karena dia sering diganggu makhluk-makhluk astral di tempat kerja. Namun, sekarang Verda sadar bila apa yang dikatakan Harso ternyata berhubungan dengan kasus Kris. Verda mengingat-ingat wajah pria tersebut. Entah kenapa dia merasa bila Kris tengah berada di sekitar. Tiba-tiba Verda membuka mata dan memindai seki
TS 22Bunyi binatang malam terdengar nyaring di sekeliling kala kelompok yang dipimpin Hendra tiba di belakang warung milik Yahya. Pria berjaket kulit hitam mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar anggotanya berhenti. Setelahnya, Hendra memindai sekitar sebelum memberi kode pada Reno dan Tris agar mendekat."Aku sama Darwis nanti jalan paling depan. Kalian di tengah mengapit Verda. Bima dan Varen jalan paling belakang. Pak Yahya tunggu di sini," bisik Hendra. "Kalau kita semua nyeberang, nanti kalau ada apa-apa nggak ada yang bisa minta bantuan," sambungnya. "Siap," jawab Tris. "Tapi harus ada yang jagain tali, Dra," sela Reno. "Anak dan keponakan Bapak nanti ikut kalian. Ali dan Usep udah nunggu di dalam," sela Yahya sembari menunjuk ke bangunan semi permanen di depan mereka. "Tapi mereka jangan ikut ke bawah, Pak," tutur Hendra. "Justru Usep pengen bantu jadi penunjuk jalan. Dia sering masuk ke situ lewat jalan setapak buat nyari rumput untuk pakan kambing dan sapi," teran
TS 21Pekatnya malam menyelimuti area pegunungan di sekitar Lembang. Warga sekitar tidak ada satu pun yang keluar dan memutuskan menggelar diri di peraduan ataupun menikmati kopi sambil menonton siaran televisi. Desir angin yang pada awalnya lembut, perlahan berubah mengencang seiring malam yang bertambah larut. Binatang-binatang berlomba-lomba memperdengarkan suara, seolah-olah menyampaikan pada dunia bila merekalah sang pemilik gelap langit. Keheningan suasana terkoyak kala dua mobil memasuki area perkebunan milik kerabat Yahya yang bila ditelusuri akan mengurai jalan tembus menuju belokan tempat kejadian kecelakaan maut yang menimpa Kris dan Gita. Yahya yang menjadi pengantar meminta Hendra berhenti setelah mereka cukup jauh dari pemukiman. Pria parub baya tersebut membuka pintu mobil dan memindai sekitar sebelum menjejakkan kaki ke tanah kering. Satu per satu penumpang keluar dari kedua mobil. Mereka bekerja sama mengeluarkan peralatan yang akan digunakan sebagai penunjang petu
TS 20Suasana di kediaman Edi kembali ramai Minggu pagi. Namun, bukan karena acara keluarga, melainkan mereka kedatangan rekan-rekan Tris, Kris dan Hendra yang berniat membantu menjadi tim pendukung. Edi tidak ikut urun saran dan hanya memperhatikan kala Hendra serta Tris bergantian membeberkan rencana mereka pada rekan-rekan yang duduk bersila di ruang tamu. Sita dan Vika, serta Randi yang tengah menggendong Revi, mengamati jalannya rapat. Setelahnya mereka melakukan doa bersama memohon diberikan kelancaran pada tim inti yang akan segera berangkat. Reno, Verda dan Varen bergantian menyalami keluarga mereka. Tris, Hendra, Nindy dan beberapa orang lainnya yang akan bergabung di tim utama juga turut bersalaman. Kemudian mereka keluar bersisian dan memasuki beberapa mobil berbeda jenis dan warna. Tris yang mengemudikan mobil milik Reno, menekan klakson sebelum melaju sebagai mobil pembuka konvoi. Darwis dan pengemudi mobil lainnya menyusul, kemudian berpisah di perempatan jalan. Tris