Share

Kembar?

Part 2

Seorang perempuan paruh baya tengah duduk di sebelah sebuah tempat tidur khusus pasien di ruangan ICU. Raut wajahnya tampak sendu. Sekali-sekali dia menengadah untuk melihat seorang pria yang tengah terbaring, kemudian kembali menunduk dan meneruskan tadarus. 

Verda memperhatikan perempuan itu dari balik kaca jendela kecil yang menghadap ke taman. Sesekali terdengar suara isakan dari sebelah kanan, hingga akhirnya Verda merasa bosan dengan tangisan Kris. 

"Udah atuh, Kang. Cowok kok cengeng banget sih!" protes Verda. 

"Sedih atuh, Neng. Kasian sama Ibu, beliau sampai jarang tidur nungguin akang sadar," sahut Kris sembari menyusut kasar buliran air yang menetes. 

Verda menoleh dan menggigit bibir bawah untuk menahan tawa yang nyaris keluar. Pria di sebelahnya itu tampak sangat lucu bila sedang menangis. 

"Ngapain liat-liat?" tanya Kris sesaat setelah menyadari bahwa dirinya tengah dipandangi. 

"Ge er, kebeneran noleh doang," kilah Verda. 

"Oh, kirain naksir." 

Verda membeliakkan mata dan langsung mengulurkan tangan untuk mencubit Kris, tetapi pria itu lebih gesit menghindar dan langsung menghilang. Yang terdengar hanya gema tawanya yang tertinggal. 

"Ihh! Awas aja kalau muncul, aku tabok!" gerutu Verda sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling taman untuk mencari sosok Kris. Akan tetapi, sepertinya pria separuh hantu itu sudah benar-benar pergi. 

Verda kembali mengalihkan pandangan ke perempuan paruh baya di dalam ruangan ICU. Dalam hati dia merasa terenyuh melihat sosok ibunya Kris itu, yang tetap sabar dan setia menunggui anaknya. 

Beberapa saat kemudian, Verda beranjak pergi. Jalan menyusuri lorong rumah sakit menuju masjid, yang berada di dekat tempat parkir motor. 

Dering ponsel membuatnya berhenti sejenak untuk mencari benda pipih hitam yang keberadaannya tenggelam di dasar tas bahu. Baru saja Verda hendak mengambil ponsel, tetapi tiba-tiba tubuhnya ditabrak seseorang hingga Verda nyaris terjatuh. 

"Eh, maaf, Mbak. Maaf," ucap orang yang menabraknya itu sambil memegangi pundak Verda. "Mbak nggak apa-apa?" tanya pria tersebut sembari menatap sepasang mata beriris cokelat milik Verda yang tengah memelototinya saat ini. 

"Akang Kris?" Verda balas bertanya karena bingung melihat wajah pria tersebut yang mirip dengan Kris. 

"Loh, Mbak kenal akangku?" Pria itu yang sekarang tampak bingung dengan ucapan Verda. 

Keduanya sesaat terdiam dan saling menilai satu sama lain. Kemudian pria itu akhirnya paham bahwa perempuan di hadapan tersebut menyangka dirinya adalah Kris. 

"Namaku Tris, adik kembarnya Kris," jelas pria tersebut seraya menyunggingkan senyuman. 

Verda menghela napas lega dan mengusap dada. Merasa tenang bahwa orang di depannya ini ternyata benar-benar manusia, bukan roh yang gentayangan seperti Kris. 

"Oh, ya, maaf, kukira kamu Kris. Aku nggak tau kalau kalian itu kembar," sahut Verda seraya membalas senyuman Tris dengan hal yang sama. 

Saat itulah Verda baru menyadari perbedaan antara kedua pria tersebut. Kris hanya memiliki satu lesung pipi di sebelah kiri. Sedangkan Tris memiliki dua lesung pipi yang sangat menawan. 

Rambut Kris agak ikal dan diwarnai cokelat, sedangkan Tris berambut cepak. Tubuh keduanya pun sangat berbeda. Kris tinggi dan agak kurus. Sedangkan Tris sepertinya tidak setinggi Kris, tetapi lebih gagah dan membuat Verda membayangkan tengah menyandar di dadanya. 

"Mau jenguk Akang?" tanya Verda basa-basi. 

"Iya, sekalian nganterin makan malam buat ibu," jawab Tris sambil mengangkat satu kantung plastik di tangan kiri. 

Verda mengangguk seraya berucap, "Oke, aku pergi dulu, ya." 

"Iya, sekali lagi maaf tadi nabrak Mbak ... ehh kita belum kenalan," sahut Tris. 

"Namaku Verda." Gadis berkulit putih itu mengulurkan tangan dan dijabat Tris dengan erat. 

"Aku ulangi, ya, Tris Bramasta. Umur dua puluh tujuh tahun, singel dan tampan." 

***

Secarik senyuman terbit di wajah Verda kala mengingat pertemuannya dengan sepasang pria kembar tadi di rumah sakit. Senyumannya bertambah lebar saat menyadari bahwa pria kembar itu memiliki sifat yang sama, yaitu narsis.

Gadis bermata sipit itu menatap rembulan yang keluar dengan kekuatan penuh. Jutaan bintang bertaburan menemani bulan. Menambah semarak langit malam yang tampak terang. 

"Ver," panggil seseorang dari belakang. 

Gadis itu menoleh dan mendapati sang kakak yang tengah jalan mendekat sambil memegangi perutnya yang buncit.

"Kakak, kenapa? Sakit, ya?" tanya Verda sambil lari menghampiri Vika. 

"Hu um, udah kontraksi dari sore," jawab Vika sembari mengatur napas agar lebih tenang. 

"Mas udah ditelepon?" Verda menuntun kakaknya untuk duduk di tempat tidur. 

"Udah, tapi kayaknya dari Jakarta masih macet ini." 

"Ya udah, kita langsung aja ke rumah sakit, ya. Takut nggak keburu kalau nungguin mas." 

Verda bergegas berganti pakaian. Menyambar tas dan memasukkan pakaian gantinya, karena feeling-nya mengatakan bahwa dia harus bergadang semalaman menemani Vika. 

Gadis berambut panjang itu lari menuju kamar Vika dan kembali dengan menyeret koper merah, yang berisi berbagai perlengkapan bayi dan sang kakak, yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. 

"Ayo, Kak," ajak Verda sambil memakaikan jaket ke Vika. 

Kedua perempuan itu jalan dengan pelan, menuju teras rumah. Vika duduk di kursi teras dan menunggu Verda yang kembali memasuki kamar untuk mengambil koper dan tas travel biru. 

"Aduh, taksinya lama amat!" gerutu Verda beberapa menit kemudian. Dia jalan mondar-mandir di teras dengan gelisah. 

Sementara Vika masih berusaha mengatur napas sesuai arahan dokter yang menanganinya. Sekali-sekali dia mengecek ponsel di tangan kiri dan berdoa dalam hati agar suaminya bisa segera sampai. 

Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan pintu pagar yang sudah terbuka lebar. Verda langsung mendekat dan seketika tertegun saat melihat sosok sang supir. 

"Ehh, ternyata Mbak Verda yang order," ucap Tris seraya tersenyum. 

"Iya, tapi kok di ponselku bukan nama kamu yang muncul?" tanya Verda dengan bingung. 

"Anu, itu id teman, dia lagi off, jadi kupake dulu buat nyari tambahan," jelas Tris. 

"Oh, oke, bisa tolong bantuin ngangkat koper?" 

Tris mengangguk dan segera keluar dari mobil. Sejenak pria itu memandangi Vika yang tengah meringis kesakitan, kemudian segera mengangkat koper dan tas travel, lari ke mobil. Setelah meletakkan kedua benda tersebut di bagian belakang, Tris kembali lagi dan membantu menuntun Vika hingga masuk ke kursi tengah. 

Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama bila sedang terburu-buru seperti ini. Beberapa kali Tris sampai membunyikan klakson untuk memberi tahu kendaraan di depan, bahwa mobilnya tengah dalam mode darurat. 

Setibanya di rumah sakit tempat Verda bekerja, beberapa temannya yang merupakan perawat telah menunggu di depan Unit Gawat Darurat. 

Dalam waktu singkat Vika telah dipindahkan ke tempat tidur khusus pasien dan sedang ditangani dokter jaga. Sementara Verda menemani di sisi kanan sambil memegangi jemari sang kakak, yang sesekali meremas tangannya saat kontraksi rahim kembali terasa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status