Siti terus menyunggingkan senyum manisnya sepanjang ia menjaga kasir hari ini. Ia merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Mengapa? Karena hari ini ia bertemu 3 cogan. Yang pertama adalah pelanggan baru sedang yang kedua baru 3 kali ini Siti bertemu dan yang terakhir, siapa lagi jika bukan Tuan Arken, pria idamannya, pria tampan berlesung pipi di pipi kanannya, berperawakan tinggi, berkulit putih, bola mata berwarna coklat gelap dan berhidung mancung.
Cogan pertama, datang di pagi hari, tak lama setelah gerai dibuka, tepatnya tiga puluh menit setelah ia dan rekan-rekannya selesai menata roti-roti dan kudapan yang baru saja keluar dari dapur. Menggunakan setelan jas dan celana panjang berwarna navy dengan kemeja berwarna biru langit dibalik jasnya yang berwarna senada dengan celana panjangnya. Berkulit putih dengan mata tajamnya yang dinaungi alis berwarna hitam pekat bak busur panah. Hidungnya yang mancung dengan bibir tipisnya benar-benar berhasil membuat Siti terpana.
Meskipun si pria tadi hanya bersuara ketika menanyakan total uang yang harus ia bayar, Siti memakluminya, karena pria itu tampak sedang terburu-buru. Ia hanya mampu menyunggingkan senyumnya yang paling manis untuk pelanggan barunya itu, berharap esok dan lusa nanti, si pelanggan baru akan menjadi pelanggan setianya seperti Tuan Arken.
Cogan kedua, Tuan Arya. Sebenarnya Tuan Arya ini termasuk kategori pelanggan baru karena ia baru empat kali datang di toko roti nya. Namun, karena Tuan Arya orangnya sangat ramah dan selalu berbincang ringan dengannya sambil menunggu belanjaannya dikemas dan dihitung, maka tak heran bila Siti langsung hafal dengannya. Terlebih lagi, sejak kedatangannya yang pertama, Arka selalu memborong aneka kudapan bila ia datang berkunjung ke toko roti tempatnya bekerja. Sudah tampan, royal pula. Itu yang Siti sukai dari Tuan Arya.
Cogan ketiga adalah pģelanggan setianya sejak ia pertama kali bekerja disini. Entah sebelumnya sudah menjadi pelanggan toko roti ini atau belum. Yang jelas, pelanggannya ini sangat irit bicara tapi murah senyum. Sikapnya yang terkadang bingung saat memilih roti justru sangat dinanti-nantikan Siti dan temannya, Asih. Mereka terkadang saling berebut agar bisa melayani si pelanggan, yang bernama Arken itu.
Jam dinding menunjukkan pukul 19.00. Saatnya Siti untuk pulang, karena jam kerja Siti hanya sampai jam 18.00. Ia berpamitan pada rekannya. Siti keluar dari toko dan menghampiri sepeda mininya yang disandarkannya disamping toko. Kuatir hilang? Tentu tidak, karena para tukang parkir di daerah itu, sudah hafal sepeda Siti. Jadi, ia tidak perlu kuatir karena para tukang parkir yang sudah berteman dengannya, akan menjaga sepeda Siti apapun yang terjadi.
"Sudah selesai kerjanya, ka?" tanya Maman sang tukang parkir begitu melihat Siti keluar dari toko dan berjalan menghampiri sepedanya.
"Iya, cukup untuk hari ini. Lanjut besok lagi," jawabnya sambil bersiap menaiki sepedanya.
Tin. Suara nyaring klakson mobil yang tiba-tiba berhenti di hadapannya, mengagetkan Siti. Pintu belakang mobil terbuka lebar. Keluarlah sosok tampan lengkap dengan kacamata hitamnya.
Ih, ada cogan lagi nih, teriak Siti dalam hati setengah ganjen. Namun, ia teringat pesan emaknya barusan. Ia disuruh membelikan martabak telur yang ada di pojok perempatan sebelum sampai ke gang rumahnya.
Ia lalu menaiki sepedanya dan mengayuh sepedanya. Namun, ketika ia baru mengayuh dua kali, sepedanya mendadak berhenti dan ia hampir terjengkang ke depan.
Maman ini pasti, omelnya kesal dalam hati, dan Siti mengambil nafas sebanyak mungkin, bersiap menyemprot Maman.
"Maamaaaaaa....n," teriak Siti yang awalnya kencang mendadak menjadi tak berdaya di belakang.
Sosok tampan berkacamata hitam itu masih memegang sadel bagian belakang sepedanya.
"Aah, maaf Tuan, ada masalah apa ya? Apakah ban saya kempes atau sepeda saya tidak boleh lewat dekat mobil tuan?" tanya Siti seramah mungkin sambil menekan rasa kesalnya melihat perbuatan pria tampan itu terhadapnya.
Pria itu tidak menjawab pertanyaan Siti, justru melempar pertanyaan kepada Siti.
"Nama kamu siapa?" tanya pria tampan itu tanpa basa basi.
Haaah!? Siti justru melongo, tidak kunjung menjawab pertanyaan pria berkacamata hitam itu.
Tak kunjung mendapat jawaban, pria itu langsung menyebutkan nama seseorang yang semakin membuat Siti melongo.
Maman yang berada tak jauh dari situ, langsung menimpali.
"Orang yang Tuan cari ya, yang Tuan ajak bicara itu," timpal Maman dengan suara lumayan keras.
Kini giliran Rayhan yang terkejut. Rasa terkejutnya tak berlangsung lama karena ia langsung tersenyum tipis. Ditariknya tangan Siti, sehingga Siti kini berada dalam pelukannya, sama persis dengan posisi saat ia hendak mengenalkan calon istri pura-pura nya itu kepada rekan bisnis papanya.
Dia tidak mungkin keliru. Karena hanya Siti yang bisa ia peluk seperti itu. Hanya Siti yang bisa berdiri sedekat ini tanpa ada penolakan dari dirinya.
Biasanya dirinya akan langsung merasa merinding dan merasa tidak nyaman bila berdekatan dengan seorang gadis atau wanita, meski hanya membayangkan saja. Namun berbeda dengan Siti. Tubuhnya justru merasa sangat nyaman.
"Tuan!... Apa-apaan sih ini?" Siti berteriak meronta berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Rayhan. Mendapat reaksi seperti ini, Rayhan semakin yakin, gadis ini adalah calon istri pura-puranya tempo hari.
Maman yang berdiri tidak jauh dari dana berjalan, melihat Siti yang berusaha melepaskan diri dari pria berkacamata hitam itu, berjalan mendekat. Ia khawatir Siti hendak diculik paksa oleh pria itu.
" Tuan, apa ada masalah?" tanya Maman tanpa nada takut sedikitpun.
"Tidak ada apa-apa," jawab Rayhan melepaskan pelukannya pada Siti namun tangannya menggenggam tangan kanan Siti.
"Dia calon istri saya dan sekarang saya ada perlu dengan dia. Kamu tolong simpan sepedanya. Dia akan saya antar pulang," ujar Rayhan sambil menyerahkan dua lembaran kertas berwarna merah.
Dasar Maman mata duitan. Ia langsung mempersilahkan Rayhan untuk segera membawa Siti pergi dari situ. Siti langsung mencak-mencak sambil mengata-ngatai Maman dengan sumpah serapah yang ia ingat. Maman hanya tertawa acuh, berjalan menjauhi mobil Rayhan.
Kini Siti sudah berada di dalam mobil Rayhan yang sedang melintasi jalanan tengah kota yang semakin padat.
"Sebentar.. Ini saya mau dibawa ke mana?" tanya Siti dengan nada kesal sembari memandangi Rayhan dengan tatapan penuh kemarahan.
"Kamu lupa sama saya?" tanya Rayhan.
Siti hanya diam. Lah, emang situ siapa, tanya Siti dalam hati. Orang yang nggak aku kenal dan yang nggak penting buat diingat. Siti mendengus kesal sambil melirik kesal ke wajah Rayhan yang masih menggunakan kacamata hitam.
"Sudah ingat?" ujar Rayhan sambil melepas kacamata hitamnya, dan menghadapkan wajah tampannya ke arah Siti.
Siti menghadapkan wajahnya ke arah Rayhan dan langsung terbelalak dan berteriak tertahan.
"Kau...!?! Siti tidak percaya dengan penglihatannya. Mengapa ia bisa berjumpa lagi dengan pria gila tempo hari, yang mendadak mengakui dirinya sebagai calon istrinya pada relasi bisnis papa pria itu.
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b