Klara POV
Hmmm ... jadi, kalian berdua sudah berdamai sekarang?”
Seusai acara pesta, Mr. Jonathan memintaku untuk menceritakan hubungan kami berdua. Bukan tanpa alasan beliau memintaku untuk bercerita padanya. Seperti yang kalian tahu, di awal pernikahan aku dan Kak Nathaniel jauh dari kata harmonis.
Saat ini aku dan Kak Nathaniel sudah berada di rumah Mr. Jonathan dan Mrs. Emily untuk berkumpul bersama keluarga inti. Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Senyuman diwajah mereka berdua semakin merekah saat aku menceritakan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Kak Nathaniel hanya memandang ke arahku dalam diam, tidak berkata satu patah katapun.
“Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh jujur, kami berdua sangat bahagia mendengarnya,” ujar Mrs. Emily dengan nada lembut sembari tersenyum hangat, “maafkan Ibu bila terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kalia
KlaraPOV Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karena sejak awal aku sudah berprinsip tidak akan memberitahu siapapun tentang kegiatan sosial yang kulakukan. Tapi, bukankah sekarang aku bisa memberitahu Kak Nathaniel tentang hal ini? Saat ini kami berdua sudah menjadi sepasang suami istri, berarti tidak ada yang perlu dirahasiakan darinya, kan? Meskipun aku belum mengiyakan permintaannya untuk memulai hubungan dari awal. Tapi secara hukum negara dan hukum agama, kami sudah resmi sebagai suami istri. Baiklah, kalau begitu— “... Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kamu bisa bilang kalau kamu sudah siap,” selanya, lalu keluar dari mobil. Setibanya di unit apartemen, aku langsung menghentikannya. “Kak! Aku mau menjawab pertanyaanmu tadi!” seruku. Tampaknya ia sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menarik lengannya. “Emm, itu ... iya! Sejak kecil aku memang suka melakukan kegiatan sosial. Jadi, kumo
Nathaniel POV Saat kami berdua sudah berada di dalam mobil, seperti biasa tidak ada satupun dari kami yang membuka topik pembicaraan. Kami berdua sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Aku fokus menyetir, sedangkan Klara sibuk berkutat dengan ponselnya. Saat membuka ponselnya, wanita itu tiba-tiba tertawa pelan, membuatku sedikit penasaran. “Kenapa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. “Ah, tidak. Teman-teman rekan kerjaku saling memberi ucapan selamat natal digrup chat. Mereka suka sekali memakai emoticon lucu seperti ini hahaha ...,” sahutnya sembari memperlihatkan pesan yang ada di layar ponselnya padaku. “Kamu sangat akrab dengan semua rekan kerjamu ya?” tanyaku lagi. “Ah, tidak semuanya, cuma beberapa orang saja kok. Kenapa?” sahutnya kemudian bertanya balik padaku. “Tidak apa-apa, cuma mau bertanya saja,” sahutku singkat. Pandanganku tetap fokus pada jalan raya. “Kalau
Nathaniel POV Jadi, sekarang Kakak sudah tidak marah lagi padaku?” tanyanya dengan malu-malu sambil sedikit memainkan kedua jari telunjuknya. Wanita yang ada di hadapanku ini dengan polosnya mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin kujawab. “Well, sejujurnya aku masih kesal padamu. Tapi, melihat dirimu yang sangat ketakutan seperti tadi membuat rasa cemasku padamu lebih mendominasi,” sahutku terus terang. “Hmm ... apa Kakak marah karena tadi pagi aku menyebut nama teman kerjaku?” tanyanya lagi dengan nada polos. Well, akhirnya wanita ini peka juga. Kali ini dia butuh waktu lebih dari setengah hari untuk menyadarinya. Aku sudah tahu kalau dia sedikit lemot untuk peka pada hal seperti ini. Sepertinya aku butuh usaha ekstra untuk membuatnya peka. Tapi kalau kupikir-pikir lagi, karakternya memang unik. Di satu sisi dia bisa sangat peka pada orang lain, tapi di satu sisi dia bisa sanga
Nathaniel POV Hai, lama tidak berjumpa, Nathan ...,” sapa wanita yang pernah menjadi kekasihku. “Ada perlu apa kamu datang kemari, Stefani?” tanyaku dengan nada dingin. Mulai saat ini aku harus menjaga jarak dengannya. “Aku cuma mau tahu kabarmu saja. Tidak boleh ya?” sahutnya dengan memasang ekspresi polos. Entah kenapa saat melihat ekspresinya, aku malah jadi merasa jijik padanya. “Ayah dan Ibu sudah datang ya—” Seketika Klara menghentikan langkahnya saat melihat sosok Stefani di depan pintu unit. Ia langsung menatapku dengan ekspresi kaget dan bingung. “Halo Klara, senang berjumpa denganmu juga.” Kini ia menyapa Klara dengan memasang senyum ramah di wajahnya. “Oh, hai Kak ... ada perlu apa kemari?” sapa Klara saat menghampiriku dan Stefani di depan pintu unit. ”Hmm ... kalau kuperhatikan, kalian sedikit mirip.” Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengannya saat ini.
Klara POV Hei ... Klara?” Kenapa tiba-tiba aku mendengar suara Kak Nathaniel? Lho, kok aku tidak bisa melihat apa-apa? Semuanya berwarna putih, ini di mana? “Klara ...,” Lagi-lagi aku mendengar suaranya, tapi aku tidak bisa melihat sosoknya. Kakak di mana? “Klara....” Dia memanggilku lagi, tapi aku tidak bisa menemukannya. Kakak di manaaa?? Kakaaaa—“Klara, bangunlah!” Aku langsung membuka mataku dan melihat sosok yang sedari tadi memanggilku sedang menatapku dengan cemas. “Oh, astaga ....” Jadi aku baru saja bermimpi? “Kamu menangis saat tertidur. Jadi, aku terpaksa membangunkanmu ...,” ujarnya sembari mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya. “Maaf, aku ... membuatmu khawatir ...,” sahutku pelan. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba aku bermimpi? “Oh iya, sudah jam berapa sekarang??” “Kamu tidak perlu minta maaf ...,” ujarnya setelah mengecup dahiku dengan lembut.
Klara POV Hmmm ... selamat pagi, Nathan ...,” ucapku saat melihat pria bersurai coklat yang berbaring di sampingku mulai membuka matanya secara perlahan. Tampaknya ia begitu lelah akibat aktivitas panas kami semalam. Kalau kalian ingin tahu, ini adalah pertama kalinya aku mengucapkan tiga kata itu padanya. Aku sangat senang bisa mengucapkan selamat pagi padanya seperti ini, kuharap bisa kulakukan setiap hari setelah bangun tidur. “Ehhmm ... selamat pagi, Klara ...,” balasnya sambil tersenyum tipis. Tanpa aba-aba, ia langsung memindahkan posisi tubuhnya ke atasku, memelukku dengan erat sembari mengecup bibirku dengan lembut. Secara perlahan ia melumat bibirku, menggigitnya pelan lalu memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Membuat lidah kami beradu dan saling bertukar saliva selama beberapa saat. Tak bisa kupungkiri, aku sangat menikmati momen-momen seperti ini bersamanya. Bahkan, momen saat kami berhubun
Nathaniel POV Halo, selamat pagi ...,” ucapku dengan lugas. “Selamat pagi, saya mau menginfokan kalau ada kiriman paket untuk Ny. Klara Hamilton ...,” jelas sang receptionist. Hah, paket? Dari siapa? “Oh ... terima kasih, akan saya ambil nanti,” balasku, kemudian menutup teleponnya. Aku langsung bergegas menghampiri Klara lagi untuk menanyakan soal kiriman paket tersebut, “Klara, tadi receptionist bilang kalau ada kiriman paket untukmu. Apa kamu memesan sesuatu?” “Hah? Aku tidak memesan apa-apa kok,” sahutnya sedikit terkejut, “kalau ada yang mengirimiku paket, biasanya mereka akan mengabariku sebelumnya.” Kalau begitu, siapa yang mengiriminya paket? Tidak mungkin Ayah atau Ibu, tidak mungkin Natalie, apalagi Alex. Atau jangan-jangan ini salah satu ulah si peneror itu. Tapi sebelum itu, aku harus mengetahui isi dari paket tersebut. “Klara, kamu tunggu di
Klara POV Iya Bu, tidak perlu khawatir ... kami sudah melaporkannya ke kantor polisi,” ujar Nathan via ponsel. Saat ini ia sedang menelepon Mrs. Emily untuk menceritakan soal kiriman paket pisau tersebut. “Maafkan aku, sudah membuat Ayah dan Ibu khawatir ...,” ujarku setelah Nathan memberikan ponselnya padaku. “Tidak perlu sungkan pada kami, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga. Jadi, Ibu harap kamu mau meminta pertolongan pada kami bila kamu memang membutuhkannya,” balasnya dari seberang telepon. “Baik Bu, terima kasih. Selamat malam,” ucapku lalu mematikan sambungan ponselnya, kemudian ku kembalikan pada Nathan. “Apa kamu sudah mengantuk?” tanyanya sembari meletakan ponselnya di atas meja sebelah kanan ranjang. “Hmmm, iya ...,” sahutku lalu naik ke atas kasur secara perlahan. Begitupun dengannya, malam ini ia mengenakan kaus lengan panjang dan celana training. Sa