Author POV
"Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis.
"Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya.
Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian.
"Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung.
Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau."
Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya.
"Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan.
"Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Seperti kisah dongeng The Little Mermaid, di mana tokoh utama wanita, yakni putri duyung bermimpi untuk menikah dan hidup bahagia bersama sang tokoh utama pria, yakni seorang pangeran yang telah dicintainya sejak lama. Begitu pun dengan Klara, tokoh utama wanita dalam kisah ini yang bermimpi untuk hidup bahagia bersama dengan tokoh utama pria yang telah dicintainya selama sembilan puluh enam purnama. Pria itu adalah Nathaniel, berwajah tampan nan rupawan seperti sosok prince charming yang berasal dari negeri dongeng. Dengan sorot mata yang tajam, tulang hidung yang kokoh, bentuk bibir yang padat dan seksi, suara bariton yang terdengar merdu, gagah beran. Dada bidang dan perut six-pack serta kulitnya yang kecoklatan terlihat begitu menawan, mampu membuat semua wanita tergila-gila padanya. Seperti dongeng The Little Mermaid pula, ketika si putri duyung mengalami patah hati karena tahu pujaan hatinya sudah memiliki kekasih. Akhirnya, putri duyung tersebut memilih untuk mengubur perasaa
Klara POV Halo, namaku Klara. Aku adalah seorang wanita yang bermimpi untuk mendapatkan sedikit perhatian dari seorang pria yang kucintai sejak lama. Nama pria itu adalah Nathaniel. Saat ini ia sudah resmi menjadi suamiku, namun bukan karena kami saling mencintai layaknya suami istri, namun karena suatu hal ... Apa kalian penasaran seperti apa ceritanya? Baiklah, akan kuceritakan awal mula aku bertemu dengannya. Saat aku berumur tujuh tahun, adik dan kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan mobil. Sejak saat itu aku diasuh oleh pamanku, beliau merupakan adik dari mendiang ibuku, ia memang baru saja mendirikan sebuah yayasan panti asuhan. Akulah anak asuh pertama di panti asuhan miliknya. Ketika aku menginjak usia sepuluh tahun, aku bertemu dengan salah satu donatur tetap di panti asuhan milik pamanku, yang saat ini menjadi ayah mertuaku. Ia bernama Mr. Jonathan, beliau datang bersama Kak Nathaniel, yang saat itu masih berusia dua belas tahun. Ketika pertama kali melihatnya, aku
Nathaniel POV Sudah empat tahun sejak aku menjalin hubungan dengan Stefani. Aku selalu punya rencana untuk melamarnya. Oleh karena itu, aku ingin membicarakan hal ini dengan Ayah dan Ibu untuk meminta restu mereka terlebih dahulu. Setelah menunggu sampai langit menggelap, mereka baru tiba di rumah. Setibanya mereka di ruang tamu, aku memberanikan diri untuk mengajak mereka membicarakan rencana pernikahanku. Kami langsung duduk di sofa ruang tamu untuk membicarakannya. Aku memulai percakapan, " Begini, Ayah, Ibu ... sebenarnya ini sudah direncanakan sejak lama, tapi aku baru bisa bilang sekarang ...." "Ada apa, nathan? tanya ibuku, memasang senyum tipis di wajahnya. "Err ... begini, aku berencana untuk melamar Stefani ...," ungkapku kemudian. Jantungku mulai berdegup dengan cepat. Mendengar perkataanku membuat mereka terlonjak. "Apa katamu?! KAMU INGIN MENIKAHI PEREMPUAN ITU!??" Wajah ayahku menjadi merah padam, seperti menahan amarah yang sudah memuncak. "Ya, aku ingin menikahi
Nathaniel POV Siang hari seperti biasa, Stefani mengajaku makan siang bersama di tempat yang biasa kami kunjungi. Tempat itu adalah tempat favorit kami untuk berkencan. Aku masih tidak mengerti alasan Ayah dan Ibu sangat menentang hubunganku dengan Stefani. Faktanya, dia adalah wanita yang sangat baik dan juga lembut. Dia juga sangat cantik dan berpendidikan. Apa yang kurang darinya? Apakah Stefani tidak memenuhi standar mereka? Atau karena mereka tidak ingin aku menikah seumur hidupku? Memikirkannya saja sudah membuatku sakit kepala. "Ada apa? Kenapa kamu melamun? Makanannya tidak enak ya?” tanya wanita yang masih berstatus menjadi kekasihku itu sambil tersenyum lembut. “Ah tidak, makanannya enak ... aku hanya memikirkan sesuatu ...," ujarku dengan sedikit terbata-bata. “Memikirkan tentang apa? Sepertinya cukup penting untuk membuatmu melamun,” ujarnya penasaran. “Erm, sepertinya aku tidak bisa memberitahumu sekarang, mungkin nanti ... di waktu yang tepat,” ucapku sedikit gugup
Klara POV Hari ini merupakan hari pertama kami sebagai suami istri. Pagi ini aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Nathaniel. Aku memasakan makanan favoritnya, yaitu capcay. Aku diberitahu oleh Mrs. Emily, yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap untuk berangkat. "Kakak sudah mau berangkat? Tidak mau sarapan dulu?" tanyaku. Namun, ia tidak menghiraukannya dan langsung berangkat tanpa pamit terlebih dahulu. Melihat perilakunya membuatku sedikit sedih. Akhirnya, aku membungkus makanannya untuk kubawa sebagai bekal di tempatku bekerja. Tak terasa langit sudah kehilangan cahayanya, aku menunggu bus di halte dekat tempat kerjaku. Setiap berangkat maupun pulang aku selalu menggunakan bus, karena menghemat ongkos. Beberapa saat kemudian, bus tiba, kebetulan transportasi tersebut sudah penuh dengan penumpang. Mau tak mau aku harus mengalah dan menunggu bus selanjutnya. Selang du
Klara POV Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang. Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily. “Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat. “Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengiku