Klara POV
Hei ... Klara?” Kenapa tiba-tiba aku mendengar suara Kak Nathaniel?
Lho, kok aku tidak bisa melihat apa-apa? Semuanya berwarna putih, ini di mana?
“Klara ...,” Lagi-lagi aku mendengar suaranya, tapi aku tidak bisa melihat sosoknya. Kakak di mana?
“Klara....” Dia memanggilku lagi, tapi aku tidak bisa menemukannya. Kakak di manaaa?? Kakaaaa—“Klara, bangunlah!” Aku langsung membuka mataku dan melihat sosok yang sedari tadi memanggilku sedang menatapku dengan cemas.
“Oh, astaga ....” Jadi aku baru saja bermimpi?
“Kamu menangis saat tertidur. Jadi, aku terpaksa membangunkanmu ...,” ujarnya sembari mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya.
“Maaf, aku ... membuatmu khawatir ...,” sahutku pelan. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba aku bermimpi? “Oh iya, sudah jam berapa sekarang??”
“Kamu tidak perlu minta maaf ...,” ujarnya setelah mengecup dahiku dengan lembut.
Klara POV Hmmm ... selamat pagi, Nathan ...,” ucapku saat melihat pria bersurai coklat yang berbaring di sampingku mulai membuka matanya secara perlahan. Tampaknya ia begitu lelah akibat aktivitas panas kami semalam. Kalau kalian ingin tahu, ini adalah pertama kalinya aku mengucapkan tiga kata itu padanya. Aku sangat senang bisa mengucapkan selamat pagi padanya seperti ini, kuharap bisa kulakukan setiap hari setelah bangun tidur. “Ehhmm ... selamat pagi, Klara ...,” balasnya sambil tersenyum tipis. Tanpa aba-aba, ia langsung memindahkan posisi tubuhnya ke atasku, memelukku dengan erat sembari mengecup bibirku dengan lembut. Secara perlahan ia melumat bibirku, menggigitnya pelan lalu memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Membuat lidah kami beradu dan saling bertukar saliva selama beberapa saat. Tak bisa kupungkiri, aku sangat menikmati momen-momen seperti ini bersamanya. Bahkan, momen saat kami berhubun
Nathaniel POV Halo, selamat pagi ...,” ucapku dengan lugas. “Selamat pagi, saya mau menginfokan kalau ada kiriman paket untuk Ny. Klara Hamilton ...,” jelas sang receptionist. Hah, paket? Dari siapa? “Oh ... terima kasih, akan saya ambil nanti,” balasku, kemudian menutup teleponnya. Aku langsung bergegas menghampiri Klara lagi untuk menanyakan soal kiriman paket tersebut, “Klara, tadi receptionist bilang kalau ada kiriman paket untukmu. Apa kamu memesan sesuatu?” “Hah? Aku tidak memesan apa-apa kok,” sahutnya sedikit terkejut, “kalau ada yang mengirimiku paket, biasanya mereka akan mengabariku sebelumnya.” Kalau begitu, siapa yang mengiriminya paket? Tidak mungkin Ayah atau Ibu, tidak mungkin Natalie, apalagi Alex. Atau jangan-jangan ini salah satu ulah si peneror itu. Tapi sebelum itu, aku harus mengetahui isi dari paket tersebut. “Klara, kamu tunggu di
Klara POV Iya Bu, tidak perlu khawatir ... kami sudah melaporkannya ke kantor polisi,” ujar Nathan via ponsel. Saat ini ia sedang menelepon Mrs. Emily untuk menceritakan soal kiriman paket pisau tersebut. “Maafkan aku, sudah membuat Ayah dan Ibu khawatir ...,” ujarku setelah Nathan memberikan ponselnya padaku. “Tidak perlu sungkan pada kami, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga. Jadi, Ibu harap kamu mau meminta pertolongan pada kami bila kamu memang membutuhkannya,” balasnya dari seberang telepon. “Baik Bu, terima kasih. Selamat malam,” ucapku lalu mematikan sambungan ponselnya, kemudian ku kembalikan pada Nathan. “Apa kamu sudah mengantuk?” tanyanya sembari meletakan ponselnya di atas meja sebelah kanan ranjang. “Hmmm, iya ...,” sahutku lalu naik ke atas kasur secara perlahan. Begitupun dengannya, malam ini ia mengenakan kaus lengan panjang dan celana training. Sa
Author POV Di sebuah kafe yang terbilang cukup sepi pengunjung itu, terdapat sosok wanita bersurai biru navy yang sedang duduk terdiam di sebuah kursi. Sosok itu tak lain adalah Klara. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang. ‘Dia pasti akan datang, kan?’ batin Klara. Selang beberapa menit kemudian, sosok yang ditunggu-tunggu datang. Sosok pria bersurai hitam dengan memakai hoodie dan celana jeans berwarna senada. “Halo, Klara. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” ujar pria itu dengan nada sinis. “Tidak perlu basa basi. Cepat katakan apa tujuanmu melakukan itu, Robert?” tegasnya pada pria yang diketahui bernama Robert itu. “Ooouh ... sudah lama tidak mengobrol begini, kamu jadi semakin dingin padaku ... bukankah kamu yang meminta untuk bertemu?” ujarnya lagi, masih dengan nada sinis. . . *FLASHBACK: ON* “Halo, dengan siapa saya berbicara?” ujar Klara
Author POV Dua hari berlalu sejak kejadian itu, Klara masih setia menunggu Nathan—suaminya di rumah sakit sampai pulih. Oleh karena itu, ia minta ijin tidak masuk sampai hari ini. "Nathan ...," panggil Klara dengan suara lirih. Namun, sosok yang dipanggil itu belum kunjung membuka matanya. Sosok itu masih terbaring lemah di atas kasur rumah sakit, dengan berbalut baju pasien dan selimut putih yang menutupi dada sampai kakinya. "Kak Nathan ...," panggil seorang gadis bersurai pirang dengan nada lirih dari balik pintu ruangan. Gadis itu tak lain adalah Natalie, adik Nathan. Natalie langsung berjalan ke sisi sebelah tempat tidur, lalu menatap sejenak wajah kakaknya yang terlihat cukup pucat itu. "Apa yang terjadi, Kak?" Kini gadis itu bertanya pada Klara. "Kakak tertembak di bagian kiri perutnya, oleh karena itu dokter mengoperasinya. Sekarang dia hanya butuh istirahat untuk pemu
Author POV Siang berganti malam, tahun lama berganti tahun baru, begitu pun Januari yang juga telah berganti menjadi Februari. Begitulah Nathan menjalani hari-harinya selama masa pemulihan pasca operasi. Pria bersurai coklat itu belum diperbolehkan melakukan aktivitas apapun selain berbaring di tempat tidur. Mungkin bagi sebagian orang, berbaring di atas ranjang tanpa mengerjakan apapun adalah nikmat surga yang tak terbantahkan. Tapi tidak bagi Nathan. Bagi pria itu, berbaring di atas ranjang sama saja dengan siksa neraka. Pria itu tidak menikmatinya sama sekali, bahkan ia sering mengeluh terang-terangan karena tidak bisa melakukan aktivitasnya seperti biasa. “Nathan ...!” tegur Klara saat memergokinya duduk di kursi PC nya. “Uuurrgh ... Klara, kumohon sekali sajaa ...! Aku ingin memeriksa beberapa dokumen—” “Tidak Nathan. Ingat kata dokter? Kamu harus istirahat sampai benar-benar puli
Klara POV Di pagi hari yang cerah namun dingin ini, terjadi suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Kalau kalian ingin tahu, pagi ini aku dan Dorothy naik satu bus yang sama saat menuju tempat kerja. "Klara ... bagaimana keadaan suamimu sekarang?" tanya Dorothy sembari menoleh ke arahku. "Hmm ... sekarang dia sudah kembali bekerja seperti biasa," sahutku pelan. "Syukurlah kalau begitu. Aku dengar dari Alex kalau kondisinya cukup parah," ujarnya lagi. "Yaah, begitulah ... ceritanya panjang ...," sahutku seadanya. "It's okay kalau tidak mau cerita, itu pasti jadi momen yang sangat berat untukmu beserta keluarga," ucap Dorothy dengan sedikit bersimpati. "Terima kasih ...," ucapku sembari tersenyum tipis. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku dan Dorothy sampai di halte dekat studio. . . . "Oh my God, Klaraaa!! Akhirnyaa k
AuthorPOV "Klara ... tadi Ibu kasih tahu, kalau besok asistennya akan kemari untuk mengantarkan dress dan jas untuk kita," ujar Nathan sembari fokus menyetir. "Oh iya, minggu depan Ibu ulang tahun ya. Hmmm ... kira-kira kita beri hadiah apa ya?" sahut Klara sembari mengerutkan alisnya, seperti sedang berpikir keras. "... Kamu masih ingatkan jawaban Natalie sewaktu kita tanya soal hadiah? Yaa ... aku yakin seribu persen jawabannya akan sama persis," ujar pria itu lagi dengan ekspresi datar. "Ooohh ... oke, sama-sama susah yaa ...," balas wanita itu dengan alis berkerut. "Umm, kalau dipikir-pikir lagi, soal itu ... kita belum benar-benar membicarakannya, kan ...," ujar Klara lagi, timbul rona merah di pipinya. "Hmmm ... soal anak?" ujar pria itu, memperjelas maksudnya. Wanita bersurai biru navy itu mengangguk pelan, masih dengan rona merah.