"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu.
"Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun.
Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar.
Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah."
Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu.
"Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu.
"Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan Leyna mengangguk perlahan. Dia mengambil napas sebanyak mungkin, Dion menjauhkan tangannya.
"Itu sudah lama sekali, dua tahun yang lalu kurasa. Kami berdua merusuh di dapur. Beruntung para asisten memiliki kesigapan yang bagus atau tidak mungkin kami harus mengungsi selama Red House direnovasi." Leyna menjelaskan serpihan kenangan tersebut.
Matanya kemudian bertabrakan dengan netra di depannya. Leyna mengagumi matanya sendiri walaupun sedikit menghitam, "Dion, kurasa kau harus kembali sekarang. Daddy bisa saja datang ke sini. Pakai eye cream yang ada di atas meja rias. Gunakan essence, toner, serum. Jangan lupa itu lip care harus digunakan setiap malam. Besok kau harus memakai sheet mask."
"Kenapa banyak sekali?" tanya Dion yang mengerutkan dahi saat mendengar nama-nama asing bagi pendengarannya.
Leyna terkekeh pelan, "Itu semua skincare dan penting bagi semua wanita. Kau harus menggunakannya karena kau sekarang adalah wanita muda kesayangan warga Burk's Falls. Kau kalau masih bingung ada banyak tutorial di internet, gunakan pagi dan malam."
"Tuan Dion Addison berada di tahanan nomor dua, Tuan."
Dion melebarkan matanya dan menatap Leyna yang tampak biasa saja di dalam jeruji tersebut. "Aku sudah menduganya. Kau harus cepat kembali ke atas. Jangan lupa pesanku." Leyna memberikan senyum tipis sebelum duduk di tempatnya dan menunduk seperti posisi awal.
Meninggalkan Dion membeku di sana dan menyiapkan dirinya menghadap Chayton secepat yang dia bisa. Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang nan melelahkan bagi pemuda Addison itu.
_The Stranger's Lust_
5 Februari 2030,
Burk's Falls
Dion melihat pemandangan dari jendela mobil yang tertutup. Dia harus ikut dan menjalani aktivitas baru dalam hidupnya. Di sebelahnya ada Quinza yang setengah mengantuk, mengerjakan algoritma sampai jam sepuluh malam. Di depan ada pasangan suami istri yang bercengkrama mengenai restoran.
Dia sempat bertanya hal itu pada Leyna, Hunt's Restaurant adalah kepunyaan Chayton, sebuah butik baju di perkotaan juga merupakan milik istrinya. Itulah yang membuat keduanya selalu pergi ke kota. Putri kedua pasangan itu hanya membantu sebisa mungkin.
"Jam dua siang nanti, Leyna ke studio, kan?" Aubrey menginterupsi acara sederhana Dion. Yang ditanya mengangguk senatural mungkin.
"Miss Caroline memberi kami undangan untuk opera bulan depan. Katanya Leyna juga ikut partisipasi. Kenapa kamu tidak mengatakannya pada kami?" timpal wanita yang terlihat sporty hari ini.
Dion mengitari satu mobil dengan matanya lalu membalas, "Aku berencana mengatakannya, Mom. Setelah aku mendapatkan tiket untuk kalian tadinya. Sebagai kejutan."
Jawaban konyol, Mister Addison, batin Dion yang merutuk diri sendiri. Namun setelah melihat kedua orang dewasa itu tidak menyanggah Dion berpikir Leyna mungkin sering seperti ini.
"Mau pulang bersama, Quinza?" tanya Dion kepada gadis tersebut yang segera membuka matanya.
"Hah?" ulang yang termuda.
Dion tersenyum, tangannya merapikan helaian rambut yang berantakan karena bergesek dengan sandaran mobil, "Mau pulang bersama nanti sore? Kau ada dance club, bukan?"
Quinza mengangguk dengan mata yang berusaha terbuka walaupun sulit. Dion gemas dengan tingkah anak tersebut. "Tapi, aku pulang jam lima." gumamnya dengan bibir yang terbuka kecil.
"Iya, aku juga. Kita pulang bersama. Aku akan menjemputmu."
Tidak ada suara lagi karena si bungsu memilih untuk melihat keluar area Burk's Falls yang terganti dengan gedung-gedung pencakar langit. Dion juga tidak bertanya lebih lanjut. Setidaknya, dia berhasil melewati seperempat hari dengan baik.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping
[Dion Addison] Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon. “Your uncle came again this morning.” Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya. “Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu pa
"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat. Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu. Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini. Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu. "Leyna
[Leyna Olivia POV] Aku menikmati sepiring roti isi sebagai hidangan makan malam. Kudengar itu atas perintah Nona Muda Olivia dari para penjaga. Tentu saja itu berarti adalah perintah Dion yang mungkin sedang mengistirahatkan dirinya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Satu-satunya yang mengganjal adalah hubunganku dengan Uncle Lancelot. Entah apa yang terjadi tadi pagi dengan pria yang menjadi favoritku kalau berhubungan tentang hunting food. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Dion juga bukan tipikal pria yang ceroboh atau tidak bisa berpikir dengan cepat dan matang. Apapun yang terjadi juga dia harus bisa menjalaninya dengan baik. Lagipula, kalaupun dia salah melangkah. Masih ada alasan yang bermutu untuk menopang langkah tersebut untuk tidak terendus oleh siapapun. “Aku bosan,” kataku sambil duduk di papan kayu yang menjadi tempat tidurku selama ini. Aku diinterogasi oleh Kepala Divisi Hukum tadi pagi dan berjalan d
[Dion Addison POV] Aku mengencangkan ikatan tali sepatu di sekitar pergelangan kakiku. Masih ada lima jam sebelum latihan di studio dimulai. Dengan skirt di tanganku, kubawa ke ruang rapat yang sebenarnya cukup luas dijadikan studio tari. Kemarin Hakim Johnson mengatakan hasil sesi wawancaranya dengan Leyna. Aku mengiyakan dan meminta hari esok aku yang akan mengintrogasinya. Di sinilah sekarang, di jam sembilan pagi. Leyna dibawa ke dalam ruang rapat. Aku membiarkan para pengawal tahanan berdiri di luar ruangan rapat, menyisakan aku dan Leyna yang berseberangan. "Hakim Johnson sudah mengatakan semuanya padamu?" tanyanya memulai sesi percakapan. Aku tahu dia mulai menerima kehadiranku di sekitarnya karena kondisi aneh ini. Aku mengangguk, mataku bertabrakan dengan matanya dengan seulas senyuman di wajah, "Thank you for telling the truth." "That's what I've to do," katanya dengan tenang.
10.45 a.m Burk’s Falls, Ontario Dion menekan bel rumah yang disediakan di samping pagar. Di tangannya terdapat banyak kantung penuh dengan hadiah untuk anak kecil yang sedang berlari dari arah pintu untuk membuka akses kepadanya. “Leynaaa,” kata anak laki-laki yang memakai jumpsuit warna coklat dengan dalaman kaus putih polos. Rambutnya yang sedikit memanjang menutupi dahinya. Sandal yang dikenakan bersentuhan dengan tanah. Dengan cepat, dia membuka pagar dan memeluk gadis tersebut. “Hey, Bryant sedang apa?” tanya Dion yang menggendong anak tersebut dengan sebelah tangan, sebelahnya dia masih menenteng bingkisannya. Laki-laki itu memeluk lehernya dengan kuat dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. “Sedang menggambar. Ada tugas menggambar dari guru di sekolah. Bryant menggambar sungai, ada Leyna, Marcell, Papa, Mama, dan Bryant juga,” jawab anak sulung tersebut dengan antusias. Dion
Dion mengikuti jejak Chayton yang berdiri di samping Hakim Johnson, dia duduk di barisan kiri pria yang sementara ini menjadi ayahnya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi, dia masih mengharapkan sebuah keajaiban datang. Di ruangan cukup luas menampung lima belas orang, Chayton duduk di singgasananya. Ya, hari ini adalah hari penyidangan. Sebenarnya Dion lebih suka bilang ini adalah tahap mediasi. Karena, tidak mungkin Leyna yang berada di raganya itu bisa dibawa ke sana, semuanya sudah sempurna. Dia berhasil mendapatkan bukti yang cukup akurat. Leyna masuk melalui pintu yang ada di samping ruangan, didudukan di bagian tengah berhadapan dengan hakim. "Sidang sudah boleh dimulai, Hakim," kata Dion ketika melihat Leyna sudah duduk di tempatnya. Dia sempat bertanya prosedurnya kepada Leyna kemarin malam dengan alibi urusan mendadak. Hakim Johnson yang mengambil posisi tempat di sebelah Chayton bersiap memulai sidang. "Sidang k