"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya.
Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan.
Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut.
Dion kembali berjalan di sebuah lorong, ada pintu yang mengarah pada kelas berisi anak-anak dengan skirt yang terpasang apik di area pinggang dan stocking yang dikenakan berusaha berdiri dengan soft shoes. Ada dua wanita yang menjadi pengajar. Dion kembali melangkah kakinya menaiki tangga di sebelah kelas tersebut.
Ada dua ruangan di lantai ke dua. Dion berjalan ke pintu yang langsung terlihat dari anak tangga teratas, tangannya membuka pintu dan terlihat sebuah cermin besar menempel di dinding keseluruhan di dua sisi yang bersinggungan. Ada sekitar enam wanita dengan usia dari dua belas sampai dua puluh tujuh tahun sibuk bergerak.
"Leyna, how are you?"
Ini pasti temannya itu, batin Dion yang melihat aksesoris menempel di sekitar area mata seorang wanita sebayanya di depan dengan stocking cream dan pink skirt.
"I'm fine, Patricia. Looks you are fine too," ucapnya sebagai basa-basi. Dia berjalan ke sudut ruangan yang penuh dengan tas dan botol minum, serta beberapa handuk kecil yang tergeletak, ikut meletakkan tasnya dan mengeluarkan skirt serta pointe shoes kesayangan Leyna.
Wanita yang mengekorinya mengulas senyum, “Of course. Guess what? Leo proposes me marriage yesterday night.”
Dion tersentak sesaat namun kemudian ikut tersenyum bahagia, “Congrats. When the date?”
“Four months from now. I’ll give you the invitation card, really please if you come with a man,” ucap Patricia menyengir tanpa dosa bak anak kecil meminta gulali. Dion ingin menyangkal namun teman baik Leyna itu kemudian berucap.
“Because, I want you catch my flower at the day.”
Dion menatap dengan tatapan kosongnya, ingin kembali membalas namun rasanya tidak mungkin, salah berucap bisa-bisa ketahuan. “Aku akan mengganti bajuku,” katanya setelah memutuskan untuk berucap di pihak netral. Lalu, dengan secepat kilat dia keluar dari pintu masuk ruangan ke kamar kecil untuk mengganti bajunya.
“Does she really have a boyfriend?” tanya Patricia kepada udara tak kasat mata sembari melihat pintu masuk yang telah tertutup sempurna. “Today she is really weird.” Patricia kembali berfokus dengan gerakan setelah mengangkat bahunya acuh.
Dion menghembuskan napasnya setelah berhasil mengunci bilik terakhir dengan kaus ketat, skirt dan stocking di tangannya. Dia tidak tahu kalau menjadi ballerina abal-abal perlu banyak tenaga, seperti menghadapi Patricia. Sepertinya dia akan kembali berkunjung di penjara untuk bertukar cerita nanti malam.
“Nyaris saja.” bisik Dion yang bersandar pada daun pintu dan melihat pakaian di tangannya. Napasnya terembus pasrah dan mengganti pakaiannya dengan patuh sembari otaknya berpikir alasan logis apa untuk merekam kegiatan siang ini tanpa menaruh sebuah kecurigaan pada yang lainnya.
_The Stranger’s Lust_
“Leyna, come here. We need to practice.”
Kalimat yang keluar dari seorang wanita di usia tiga puluhannya dengan mata yang masih fokus pada pantulan cermin membuat Dion dengan patuh mendekat ke arahnya. Dia pastilah bernama Jessica Kyla, pelatih kesayangan Leyna Olivia.
Tampilannya yang bugar dengan rambut yang disanggul satu agak ke bawah tidak mengurangi kecantikannya pada usia sekarang.
“Aku sudah memutuskannya. Kita akan membawa lagu dari tahun 1890-an, aku mendapat rekamannya. Berterima kasihlah kepada banyak media jejaring sosial yang mengunggahnya bahkan sampai menjernihkan kualitas video tersebut.”
Dion hanya mengangguk di area pinggangnya terpasang perekam suara yang kecil sehingga tidak begitu terjelas jika tidak jeli melihatnya. Semoga saja Jessica tidak melihatnya untuk tiga jam ke depan. Patricia masih sibuk memperhalus gerakan di samping mereka.
“Aku akan mengirimkan videonya padamu, aku mengubah koreografinya sendiri, hanya beberapa untuk bisa dicampur dengan budaya sekarang. Untuk hari ini, aku akan menunjukkan padamu semua gerakan yang mungkin terlihat sulit,” kata Jessica yang berjalan pada sound speaker yang kecil namun Dion tahu suaranya cukup kuat untuk terdengar satu ruangan bahkan untuk orang luas juga bisa mendengarnya.
“Miss,” kata Dion dengan ragu. Dia menuju posisi sang pelatih tersebut. Jessica hanya berdengung.
“Bisakah aku merekam sesi hari ini? Aku merasa sedikit tidak enak badan, aku bermaksud merekamnya agar tidak ketinggalan. Setelah merasa baikan, aku akan berlatih sendiri.” Dion berucap dusta. Wanita di sebelahnya sedikit menimang alasannya lalu mengangguk.
“Well. Karena ini adalah koreografi yang belum kamu gunakan, aku menyetujuinya. Kamu perlu banyak belajar, siapa tahu kalau dari sesi ini banyak yang kamu pelajari.”
Dion sontak mengucapkan terima kasih dan mengeluarkan ponselnya sendiri, menempatkannya di sudut yang pas untuk merekam semua gerakannya dan Jessica. Dia tidak sejahat itu untuk menghancurkan satu-satunya kesukaan Leyna.
“Judulnya The Sleeping Beauty,” ucap Jessica yang memposisikan badannya terduduk sebagai posisi awal dengan lutut yang ditekuk ke atas dan kepala yang tertidur di sana membelakangi kamera.
Dion mengangguk dan melihat Jessica yang menggerakannya dengan sempurna, “Bahumu harus agak ke belakang, tanganmu harus seperti ini. Kakimu harus sejajar. Yup dan beginilah gerakannya.”
Dalam hati, Dion menghembuskan napasnya, sedikit merasa bersyukur karena tidak dipaksa menjadi ballerina dulunya. Dia sejak awal memang tidak menaruh perhatian pada gerakan halus dan penuh makna, dia lebih senang dengan memanaskan otak melihat banyaknya angka di lembaran kertas.
Ini akan menjadi rekor sejarah baru dalam hidupnya.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Hi, apa kabar? Sky lewat catatan kecil ini, mau beritahu kalau Sky bakalan update sesuai jadwal. Coba tebak berapa kali? Yup, 4 kali. Setiap hari Senin, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Jadwal berlaku mulai Senin depan. Stay tune and stay healthy. See ya ^^
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun
Dion melewati jalan setelah selesai dengan pertemuan penting di rumah Granny Greisy. Beberapa kali dia berhenti hanya untuk berbincang dengan beberapa tetangga yang dikenalnya ataupun berjongkok menyamai tinggi anak kecil yang mengenal Leyna bukan Dion yang bermain di luar rumah sembari menunggu jam mandi. “Selamat pagi, Nona Muda Olivia,” kata salah satu pengawal gedung yang langsung dibalas olehnya dengan tak kalah hangat. Dia memasuki interior gedung dengan penampilan sporty, pegawai yang berlalu lalang menyapanya formal dan dibalasnya juga dengan baik. “Nona Muda Olivia, Tuan Besar memanggil Anda untuk ke taman belakang sekarang,” kata kepala asisten rumah yang memanggilnya dari belakang. Dion langsung berbalik badan. “Baik, saya akan ke sana. Terima kasih untuk infonya.” Jiwa laki-laki itupun memutar badannya untuk sampai taman belakang gedung. Niatannya tadi itu, dia akan membersihkan dirinya dulu setelah berkeringat banyak karena dia sempat jogging dengan durasi yang lebih
“Jatuh cintalah. Maka kutukannya akan musnah.” Dion dan Leyna sontak terbelalak terkejut. “Maksudnya, Granny?” tanya Dion yang duluan sadar. “Granny pernah bilang kalau Virga Phantasia ini sama dengan cupid, kan?” tanya Granny Greisy lagi yang sontak diangguki oleh Leyna yang masih ingat dengan jelas pembicaraan mereka tempo lalu itu. "Maka dari itu, jatuh cintalah," sambung Granny Greisy lagi dengan tenang. Air matanya sudah berhenti mengalir. "satu-satunya jalan adalah jatuh cinta." "Jatuh cinta yang bagaimana, Granny?" Manik wanita tua itu memburam perlahan bersamaan dengan penuh dengan harapan saat menelisik kembali ke masa lalu. "Granny pernah menemui seseorang yang juga sebagai manusia terpilih untuk keajaiban satu ini. Dia seumuran dengan Granny, hidup di kota besar seperti Ottawa dan Toronto sekarang. Dia sudah menikah dan masih hamil tiga bulan," ucap wan
“Leyna? Kau sudah bangun?” Dion yang sedang mengikat tali sepatunya langsung mendongak mendengar suara serak terdengar tidak jauh darinya. Suara khas akan bangun tidur yang menyita perhatiannya sejenak. “Oh, kau sudah bangun? Aku hendak jogging sebentar,” jawabnya seadanya sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. “Belum. Aku hanya ingin ke toilet, masih ada dua jam sebelum mandi. Aku tidak akan membuang kesempatan itu,” jawab Quinza—sosok yang bangun di jam subuh—melangkah menjauh kearah dapur. Jelas sekali, anak sekolah itu akan mencari kamar kecil. Memang keseharian kedua gadis kesayangan Chayton itu sangat berbeda. Dari segi umur juga telah mengatakan segala. Quinza meskipun dia aktif untuk menari, dia terlalu malas untuk bangun pagi demi merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah bangun dan lebih rela berendam di bathup setelah seharian beraktivitas. Leyna—atau Dion sekarang—terbiasa untuk bangun pagi sejak zaman sekolah, membuatn