“Jangan ulangi kesalahan yang pernah dilakukan kakak iparmu, Leon,” tambah Gamal. “Dulu, Sein pernah terluka karena keegoisan ayahnya. Apakah kau ingin hal yang sama terjadi pada Emely? Lihat kami, Nak. Aku dan ibumu. Saat kalian bertiga—kau, Gabriel, dan Maureen—belum menikah, apakah kami pernah memaksakan kehendak kami atas kehidupan kalian? Tidak, Nak.” Gamal menggelengkan kepalanya perlahan. “Dad bahkan tidak pernah lelah mengingatkan ibumu untuk tidak ikut campur dalam urusan asmara kalian, karena kami percaya, kalian berhak atas hidup kalian sendiri. Kalian berhak memilih pasangan kalian. Dan lihat hasilnya sekarang. Kau bahagia dengan Lucia. Gabriel bahagia dengan Caroline. Maureen juga sangat bahagia dengan Leon. Semua itu membuktikan bahwa kami tidak salah dalam percaya pada anak-anak kami.” Ruangan kembali hening setelah Gamal menyelesaikan ucapannya. Erlan tidak bisa mengelak dari kebenaran yang baru saja disampaikan oleh ayahnya. Di satu sisi, ia masih merasa sulit mener
Megan, yang sedari tadi menahan amarah, akhirnya tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya. “Jadi, selama ini usia yang kamu permasalahkan, Erlan?!” serunya. Dengan gerakan cepat, ia menyambar bantal sofa di sampingnya dan melemparkannya ke arah putranya. Bantal itu mendarat dengan sempurna di wajah Erlan sebelum pria itu sempat menghindar. “Mom!” seru Erlan dengan suara terkejut. “Keterlaluan kamu!” bentak Megan, suaranya bergetar penuh amarah. “Kamu tidak lihat kakakmu, Maureen dan Leon? Mereka sama seperti Emely dan Blue! Selisih usia mereka bahkan lebih besar, tapi buktinya mereka bahagia, mereka baik-baik saja!” Megan mengangkat tangan, menunjuk ke arah suaminya. “Oh, tidak usah jauh-jauh! Lihat orang tuamu ini! Kami sudah punya cicit dari Sein! Kami hidup puluhan tahun bersama dan kami bahagia! Mommy bahagia meskipun ayahmu lebih tua!” Erlan mendengus, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa frustasi yang mendalam. “Ini semua gara-gara kau, Mom,” ujarnya dengan nada rendah namun
*** “Blue harus bertanggung jawab,” lanjut Gabriel. Deg! Erlan menatap tajam—nyaris menggebrak meja di depannya, wajahnya memerah karena emosi yang meluap. "Tidak! Aku tidak setuju, dan aku tidak akan pernah memberi restu!" sergahnya dengan nada lantang. Suaranya menggema di seluruh ruang keluarga. Membiarkan Blue bersama putrinya? Menjadikan pria itu menantunya? Bagi Erlan, hal itu sama sekali tak masuk akal. Bahkan sekadar membayangkannya saja sudah membuat darahnya mendidih. Blue, pria yang hanya terpaut beberapa tahun darinya, akan menjadi bagian dari keluarganya? Apa yang akan dipikirkan orang lain? Bagaimana dengan reputasinya? Dan Emely, putrinya yang masih muda, cantik, dan memiliki masa depan cerah, tidak pantas bersanding dengan pria seperti Blue. ‘Si tua bangka itu! Tidak akan pernah jadi menantuku!’ batin Erlan, pikirannya penuh dengan prasangka dan penolakan. Sementara itu, Gamal yang mendengarkan adu argumen dengan sabar, mulai merasakan sesuatu yang tak nyaman d
Disisi lain, Emely tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan ayahnya. Ia mengangkat kepalanya lebih tinggi, mencoba menahan air matanya. “Aku tidak pernah mengabaikan pendidikanku, Dad. Semua kegiatan kampusku berjalan normal seperti biasa,” balasnya. Erlan mengeluarkan dengusan kasar. “Dan kau pikir Dad akan percaya begitu saja?!” bentaknya, suaranya naik satu oktaf, membuat suasana ruangan kembali tegang. “Bisakah kau berbicara tanpa membentak?” Gabriel segera menyela, namun suaranya tetap tenang. Erlan mendengus keras, menatap kakaknya dengan penuh emosi. “Kau berharap aku bisa tetap tenang setelah semua yang Blue lakukan pada putriku?!” suaranya menggema di ruangan. “Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya berada di posisiku, Gabriel! Jadi sebaiknya kau diam saja!” “Erlan?” Gamal tiba-tiba bersuara. Ia kurang setuju dengan sikap Tidak sopan putranya. Gabriel menatap Erlan sorot mata tajam. “Aku bukan musuhmu, Erlan,” katanya dengan nada datar. “Aku adalah kak
***Melihat putrinya hanya diam dengan raut wajah ragu, membuat Erlan semakin emosi. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan. “Mengapa kau diam saja?! Jawab pertanyaan Grandmamu, Emely!” bentaknya keras, membuat Emely terlonjak kaget.“Erlan?!” Megan menegur tajam, ekspresinya mencerminkan keberatan atas sikap kasar putranya.Di tengah ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat dari arah pintu depan. Tak lama, seorang pria melangkah masuk ke ruang keluarga dengan santai. “Suaramu terdengar sampai di pintu gerbang, Erlan. Apakah kau benar-benar tidak bisa bicara lebih pelan?” ujar pria itu dengan nada tenang namun tegas, tatapannya langsung mengarah pada sang adik.Erlan tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh cepat, memiringkan tubuh untuk melihat sosok yang baru saja masuk. Wajahnya berubah, keningnya berkerut dalam ketika mengenali pria tersebut. “Gabriel?” gumamnya pelan.Gabriel, kakak laki-laki Erlan, berdiri tegap dengan wajah yang sama teg
Emely menelan ludah dengan susah payah. Ia berusaha keras untuk mengumpulkan keberanian. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, kedua matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan tatapan tajam ayahnya. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Megan tiba-tiba menyela.“Sejak kapan kamu tinggal bersama Blue, Sayang?” tanya Megan lembut. Nada suaranya penuh kasih sayang, berbeda jauh dengan nada konfrontasi Erlan. Namun pertanyaan itu membuat Erlan mendengus kesal, memperlihatkan ketidaksukaannya pada sikap ibunya yang dianggap terlalu memanjakan Emely, bahkan dalam situasi seperti ini.Emely mengalihkan pandangannya dari sang ayah ke arah neneknya. Ia menatap Megan sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Hampir sebulan, Grandma.”Deg!“Lihat?! Kalian dengar itu? Hampir sebulan! SEBULAN!” Erlan tiba-tiba meledak, emosinya tak lagi bisa ia kendalikan. Suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan, membuat suasana semakin tegang.Namun, Gamal, yang sejak tadi hanya mengamati dengan tenang,
***Kedatangan Gamal dan Megan dari Wellington ke Italia bukan sekadar kunjungan biasa ke kediaman putra dan menantu mereka. Mereka memiliki alasan yang lebih serius, yaitu untuk menyelidiki kepergian Erlan secara diam-diam ke New York beberapa hari sebelumnya.Sumber informasi Megan adalah cucunya sendiri, Early—adik dari Emely. Sebelum ayahnya berangkat, Early secara tidak sengaja mendengar obrolan telepon Erlan yang menyebutkan bahwa ia akan segera pergi ke New York. Mendengar hal itu, Early langsung menghubungi sang Grandma untuk menyampaikan kabar tersebut.Tidak heran mengapa Early bersikap demikian. Hubungannya dengan Megan memang sangat dekat, dan mereka sering kompak dalam menghadapi sifat keras kepala Erlan. Apalagi ketika Megan mendengar rencana Erlan yang ingin memperkenalkan Emely kepada seorang pria asal Korea, darahnya langsung naik. Ia tidak menyangka putra bungsunya itu akan mewarisi sifat otoriter dan keras kepala kakeknya, Jordhan Blaxton.Tanpa menunda waktu, Megan
*** Setelah menghabiskan beberapa menit dari bandara, akhirnya Erlan dan Emely tiba di kediaman mereka. Mobil sedan hitam itu meluncur dengan mulus, memasuki halaman rumah yang luas dengan gaya arsitektur klasik nan elegan. Di sisi lain, Lucia yang menyadari suara mobil mendekat segera melangkah keluar menuju teras depan rumah. Senyum cerah mengembang di wajah cantiknya yang masih memancarkan pesona meskipun usianya tak lagi muda. Wanita itu berdiri dengan penuh antusias, menatap mobil sedan yang kini berhenti tepat di depan teras. Sudah dua hari sejak suaminya pergi keluar kota—itulah yang diketahui Lucia. Ia bahkan tidak menyangka Erlan akan pulang lebih cepat. Dalam pikirannya, Erlan baru akan tiba keesokan hari. Namun, kejutan ini justru membuatnya bahagia. Lucia memang tidak pernah nyaman berlama-lama berjauhan dari suaminya. Lucia menatap mobil itu, matanya tak sedikit pun beralih, menunggu pintu terbuka. Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka dan keluarlah sosok Erlan.
Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i