Blue meraih ponsel yang masih berdering, membawanya ke depan wajah untuk memastikan nama yang tertera sebelum menjawab panggilan itu. Ia menekan ikon hijau dan menempelkan perangkat tersebut ke telinga. “Halo,” sapanya dengan suara berat. “Lagi sibuk?” Suara Emely terdengar lembut di seberang, membuat Blue melirik sekilas ke jam tangannya tanpa sadar. “Tidak terlalu,” jawab Blue. Tubuhnya bersandar ke kursi dengan posisi santai. “Ada apa?” “Aku mau izin. Malam ini aku ada acara di luar,” jawab Emely. Suaranya terdengar sedikit tergesa-gesa. “Seminar penting. Aku mewakili kampus untuk bertemu dengan pembicara utama. Ini tugas kuliahku, Blue.” Blue, yang duduk di kursinya sambil memandang Kota New York dari balik jendela kaca besar di kantornya, mengerutkan kening. “Apa benar ini bagian dari studimu?” tanyanya. “Iya, ini bagian dari tugas kelompokku, tapi aku yang ditunjuk sebagai perwakilan,” jelas Emely. Ia menarik napas sebelum me
“Emely, kamu kenapa kelihatan kesal begitu?” Suara Arwen tiba-tiba terdengar, membuat Emely sedikit terkejut. Tanpa disadari, sahabatnya itu sudah berdiri di belakangnya. Sebelum menjawab, Emely menoleh ke arah Arwen. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi kesal. “Blue nyuruh aku datang ke kantornya,” jawabnya dengan nada datar. Arwen berjalan mendekat lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi tepat di depan meja Emely. Keningnya berkerut mendengar penuturan itu. “Kenapa dia nyuruh kamu ke kantornya? Ada apa?” tanyanya penasaran. Emely mengangkat bahu santai, meski nada suaranya menyiratkan amarah yang ditahan. “Aku nggak tahu. Padahal aku mau buru-buru pulang untuk persiapan acara malam ini, eh, dia malah nyuruh aku ke kantornya. Menyebalkan!” Keluhan itu diakhiri dengan decakan yang menandakan betapa sebalnya ia saat ini. Arwen menghela napas pelan, mencoba menenangkan sahabatnya. “Mungkin dia mau ngomong sesuatu yang penting sama kamu. Cobalah b
Saat melangkah masuk, Emely langsung disambut dengan kemewahan lobi Sinclair Ocean Technologies. Lantainya terbuat dari marmer hitam yang mengilap, sementara dindingnya dihiasi panel kayu beraksen emas. Di tengah ruangan, berdiri patung abstrak besar yang tampak artistik, memberikan sentuhan modern. Lampu gantung kristal berbentuk spiral tergantung di atasnya, memancarkan pencahayaan yang sempurna. Mata Emely bergerak cepat, menyerap setiap detail kemewahan itu. Elegan sekali. Tidak ada yang berlebihan, tapi semua terasa mewah. Tipikal Blue, batinnya—meski tak rela memuji pria itu terang-terangan. Porter melangkah dengan sigap, membimbingnya menuju lift eksekutif. Sepanjang jalan, Emely menyadari beberapa pasang mata karyawan di lobi tertuju padanya. Ada rasa penasaran di wajah mereka, bahkan beberapa terlihat mengagumi sosoknya. Gaun formal kasual tampak pas di tubuhnya, membuatnya terlihat seperti tamu VIP yang bukan orang biasa. “Silakan, Nona,” ujar
“Jangan bermain-main denganku, Emely,” Emely tampak tak menggubris hardikan Blue. Alih-alih terintimidasi, ia malah bergerak bangkit dari pangkuan pria itu. Gerakannya perlahan tetapi pasti, penuh keanggunan. Kini, ia mengubah posisi duduknya. Dari yang semula menyamping dengan sikap defensif, kini terbuka. Tubuhnya berhadapan langsung dengan Blue. Posisi itu membuatnya terlihat lebih berani dan menggoda, seolah-olah ia sengaja mengambil kendali atas situasi. Tatapan Blue terpaku. Emely menyapu rambut ke satu sisi, memperlihatkan leher jenjangnya yang memukau. Kedua tangannya perlahan bergerak ke belakang, mencari ritsleting gaunnya. Jemarinya memainkan ritsleting itu dengan tenang, seolah-olah ingin memberikan cukup waktu bagi Blue untuk menikmati pemandangan di depannya. Sepanjang aksi itu, tatapan Emely tak pernah lepas dari wajah pria di hadapannya. Ritsleting gaun itu akhirnya turun, memperlihatkan sebagian punggung Emely yang mulus dan tanpa cela. Udara ya
Blue hanya bisa memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri meskipun sulit. Napasnya makin berat, tetapi pria itu tetap diam, membiarkan Emely melanjutkan apa yang ia mulai. Jemari lentik Emely bergerak perlahan tetapi pasti, mengikuti batang keperkasaan Blue yang kini ia genggam. Gerakannya penuh perhitungan, naik-turun dengan ritme yang memabukkan. Sesekali ia memberikan tekanan lembut, meremas dengan hati-hati, seperti memastikan Blue merasakan setiap sentuhannya. “Shhh!” Desisan penuh kenikmatan akhirnya lolos dari bibir Blue. Suara itu begitu dalam, seperti luapan emosi yang tak lagi bisa ditahan. Matanya terpejam erat, rahangnya mengeras, dan tubuhnya sedikit menegang di bawah kendali Emely. Emely hanya tersenyum tipis melihat reaksi Blue. Wanita itu tahu ia memegang kendali penuh sekarang, dan ia menikmatinya. “Sangat keras,” bisiknya ringan. Suaranya seperti embusan angin. Jemarinya masih bergerak, memberikan tekanan lembut di beberapa ti
Emely mencengkram erat bahu kokoh Blue, jemarinya yang lentik seolah tak ingin melepaskan pegangan itu. Tubuh moleknya tersentak halus, mengikuti irama yang membuat setiap sarafnya berdenyut lembut. Dengan refleks, kepalanya terangkat, menengadah ke langit-langit ruangan mewah yang dihiasi lampu gantung kristal berkilauan.Bibir merah mudanya sedikit terbuka, membiarkan desahan penuh kenikmatan lolos begitu saja, sebelum akhirnya ia menggigit bibir bawahnya dengan gemas, menahan gejolak yang terasa mengiris setiap serat tubuhnya.Blue, pria dengan tatapan penuh hasrat, juga tak luput dari pesona keintiman itu. Erangan berat meluncur dari bibirnya, menggambarkan sensasi yang tak terlukiskan saat tubuh hangat Emely menyatu dengannya. Ia mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping sang gadis, jemarinya yang besar melingkar penuh kehangatan, menarik Emely lebih dekat ke tubuhnya yang kokoh.Blue membawa wajahnya semakin dekat, napas hangatnya menyapu kulit le
Emely melingkarkan tangannya di leher Blue, mendekatkan tubuh mereka tanpa celah. Goyangannya kini lebih teratur. Pinggulnya bergerak maju mundur dengan ritme yang dibuat semakin provokatif, mengundang desahan dari pria yang kini tak bisa menyembunyikan ekspresi puas di wajahnya.Tatapan Blue beralih ke Emely, penuh gairah. Jemarinya yang kuat kembali mencengkram pinggang Emely, menuntun gerakan gadis itu agar semakin sinkron dengan desakan hasrat yang mereka ciptakan bersama.Di setiap gerakan, tubuh Emely tampak gemulai, membuat Blue semakin kehilangan kendali. Ia hanya bisa menyerahkan diri sepenuhnya, membiarkan gadis itu memegang kendali atas momen penyatuan yang begitu dahsyat. “Ahh! Baby. Fucking shit! Arghh!” desah Blue dengan racauan-racauan yang mencerminkan kenikmatan. “Bagaimana menurutmu? Apakah goyangan ku terasa payah bagimu?” tanya Emely dengan suara pelan seperti berbisik. Ia menatap mata Blue begitu dalam.“No. Sangat
Blue kian bersemangat. Bibirnya berpindah-pindah dengan rakus namun tetap lembut, bergantian menghisap puting payudara Emely dari kanan ke kiri. Mulutnya sesekali meninggalkan jejak panas, sementara tangannya yang kuat menahan tubuh gadis itu.Gerakan Emely yang sensual, ditambah dengan desahannya yang penuh gairah, semakin membakar Blue. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh gadis itu, seakan mengklaim setiap bagian darinya sebagai miliknya. Menit demi menit berlalu, gerakan pinggul Emely yang semula pelan dan lembut kini mulai kehilangan kendali. Ritmenya berubah, dari perlahan dan sensual menjadi lebih cepat, liar, dan penuh gairah. Setiap hentakan yang ia lakukan semakin kuat, mencerminkan intensitas yang terus meningkat dalam dirinya, seolah tubuhnya mengisyaratkan puncak kenikmatan yang kian dekat.Blue hanya bisa memegangi pinggang ramping Emely dengan erat, membantu menyeimbangkan tubuhnya yang terus bergerak tanpa henti. Napas pria itu terdengar b
Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i
Zara memperhatikan wajah lebam putranya dengan cermat. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Pun begitu dengan Ronan dan Talia. Keduanya sama-sama menatap Blue dengan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Apa yang terjadi padamu, Blue?” tanya Zara akhirnya.Blue hanya menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. Ia tahu pertanyaan ini tak terhindarkan, dan kali ini ia tak bisa menghindar. Semua tatapan kini tertuju padanya, menanti jawabannya.“Kamu bertengkar dengan Emely, Nak?” tanya Zara lembut, penuh kehati-hatian.Blue menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. “Tidak, Mom,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa dia pergi? Mommy kaget sekali ketika tadi Amara menelepon sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, Blue?” tanya Zara lagi.Blue menarik napas panjang. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Dia dijemput oleh ayahnya.”Ronan, yang sedari
***“Sayang, yuk, makan dulu. Sedikit saja, please?” Bujuk Gina. Namun, Amara tetap menggeleng keras, isak tangisnya makin menjadi. “Aku nggak mau makan! Aku mau Mommy, Nanny!” suaranya pecah, napasnya tersendat-sendat diantara tangisnya. Tangan mungilnya mengusap wajah, menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.Gina menatap Amara dengan iba. Hatinya tersayat melihat gadis kecil itu menangis begitu keras sejak pulang sekolah. Masih jelas dalam ingatan Gina, saat Blue menjemput Amara di sekolah, gadis kecil itu sudah mulai bertanya, “Kenapa bukan Mommy yang jemput?” Namun, Blue hanya diam, tak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk mencari Emely. Ia berlarian ke setiap ruangan, memeriksa kamar tidur, dapur, hingga halaman belakang. Namun, sosok ibunya tetap tak ditemukan. Ketika akhirnya Amara kembali ke ruang tengah dengan wajah penuh harapan, Blue terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Emely sedang per
Tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Namun bukan pipi Emely yang menerima tamparan itu. Dalam hitungan detik, Blue tiba tepat waktu. Ia menarik Emely ke dalam pelukannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Tamparan keras Erlan menghantam pipi Blue, meninggalkan bekas merah yang langsung memanas.Suasana membeku sejenak.Napas Emely terengah. Matanya yang membesar menatap Ayahnya dengan syok dan ketakutan. Sepanjang hidupnya selama 21 tahun, ini adalah kali pertama ia melihat Ayahnya mencoba melayangkan tangan padanya. Namun, kenyataan bahwa Blue yang menerima tamparan itu justru membuat hatinya semakin hancur.Emely menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya terasa seperti diiris.Namun, Erlan tetap berdiri tegap. Tatapannya dingin dan penuh amarah. Tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. Bahka
Di tempat lain, tepat di depan gerbang rumah mewah Blue yang terbuat dari baja hitam kokoh dengan ornamen ukiran modern, sebuah mobil mewah berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan Erlan melangkah keluar. Langkahnya lebar saat ia mendekati gerbang besi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada pintu pagar yang dilengkapi dengan celah kecil untuk memantau siapa yang berada di luar.Seorang bodyguard yang bertugas di depan gerbang segera menghampiri celah tersebut. Matanya menyipit, mencoba mengenali pria berwibawa yang berdiri di hadapannya. “Selamat siang. Anda ingin bertemu dengan siapa?” tanyanya sopan namun tegas.Erlan, yang sudah tidak sabar, langsung menjawab dengan nada tegas, “Aku ingin bertemu dengan Emely. Buka pintunya, cepat!”Bodyguard itu mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk langsung mematuhi perintah dari pria asing yang baru pertama kali dilihatnya. Melihat reaksi tersebut, Erlan langsung melanjutkan, “Aku Ayahnya E
***“Tuan…” seru Porter dengan napas terengah-engah saat memasuki ruang kerja Blue. Matanya membelalak saat melihat kondisi ruangan yang kacau balau—meja terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan tanda-tanda perkelahian jelas terlihat. Kekhawatiran terpancar dari wajahnya. “Apakah Anda terluka?” tanyanya dengan nada penuh kecemasan, berdiri tak jauh dari posisi Blue.Blue menggeleng pelan, mencoba menenangkan pria itu. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya tenang namun terdengar lelah.Porter tetap tidak puas dengan jawaban tersebut. “Tadi saya mendengar suara tembakan, Tuan. Benar Anda tidak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.Blue mengangguk kecil. “Yeah… aku baik-baik saja,” balasnya datar sambil melangkah ke arah meja kerjanya yang sudah berantakan. Ia berhenti di sisi meja, lalu mengambil dua lembar tisu dari salah satu laci. Dengan gerakan perlahan, ia menekan tisu tersebut ke sudut bibirnya, menyeka darah seg
Blue memilih untuk diam, bukan karena tidak bisa membalas tuduhan itu, melainkan karena ia tahu bahwa berbicara dalam situasi ini hanya akan menjadi sia-sia. Amarah Erlan sudah menguasainya sepenuhnya, dan penjelasan apa pun tidak akan bisa menembus tembok prasangka yang telah terbentuk.“Dengar baik-baik, Blue.” Erlan melangkah maju. “Kau tidak lebih dari seorang pria brengsek, asal kau tahu. Pria yang hanya tahu memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri!” Desisnya tajam."Pria brengsek?" suara Blue terdengar dalam, nyaris berbisik. "Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita, lalu setelah menikmati tubuhnya, meninggalkannya tanpa rasa tanggung jawab. Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita dalam keadaan mabuk, menyakitinya tanpa dia sadari. Sedangkan aku? Dari segi mana kau menilai bahwa aku adalah pria brengsek?"Deg!Kata-kata Blue bagaikan tamparan keras, membuat Erlan terdiam. Blue tidak berhenti di sana. la mengambil napas dalam. "Aku meninggalkan Emely karena s
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra