Di sebuah taman bermain yang terletak di Giardini Pubblici Indro Montanelli, Milan, Emely duduk disebuah bangku kayu. Pandangannya tertuju pada Amara yang sedang bermain di area pasir. Gadis kecil itu dengan ceria memainkan ember dan sekop plastiknya, membangun sebuah "istana pasir" kecil yang tampak begitu sederhana namun penuh kebahagiaan. Namun, pikiran Emely melayang jauh. Kejadian tadi pagi masih membekas di benaknya. Sikap iseng ayahnya terhadap Blue membuatnya kecewa. Ia merasa bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap di depan ayahnya. Haruskah ia bicara tegas? Atau haruskah ia diam dan membiarkan waktu yang berbicara? Sesekali, Emely menghela napas panjang. Rasa sedih menguasai dirinya. Ia merasa seperti anak kecil yang gagal membanggakan orang tuanya. Di satu sisi, ia mencintai Blue, tapi disisi lain, ia tak ingin melukai hati ayahnya. "Melamuni apa?" sebuah suara berat tiba-tiba memecah lamunannya. Emely tersentak. Ia menoleh dengan cepat, mendapati Blue sudah duduk
*** Suasana di ruang keluarga mendadak hening. Hanya suara napas yang terdengar, sementara Megan menatap putranya, Erlan, dengan sorot penuh kekecewaan. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Lan?” suara Megan terdengar lirih. Erlan tak menjawab. Ia hanya menunduk, tampak tidak berniat membantah. Di ruangan itu kini hanya ada Megan, Gamal, Erlan, Gabriel, Lucia, dan Caroline. Sementara Emely, Blue, dan Amara telah pergi membawa gadis kecil itu jalan-jalan. Early dan Bella juga meninggalkan rumah, katanya ada urusan penting di luar. “Apakah kamu tidak kasihan pada putrimu? Lihatlah, Lan, bagaimana raut wajahnya tadi. Dia sangat kecewa padamu, tapi dia memilih diam. Emely terlalu menghormatimu, terlalu menyayangimu,” lanjut Megan, suaranya sedikit gemetar. Wanita itu menarik napas panjang, berusaha meredam perasaannya yang bercampur aduk. “Mommy sampai bingung dengan jalan pikiranmu. Kenapa kamu sekeras ini pada Blue? Apa kesalahan fatal yang pernah dia lakukan padamu?” tanyanya deng
Di atas ranjang besar berukuran king-size, Emely berbaring sambil menyelimuti tubuhnya dan Amara dengan selimut tebal. Amara, yang terlihat sangat nyaman, memeluk erat tubuh Emely seolah tak ingin kehilangan kehangatan itu. Emely memegang ponsel di satu tangan. Layarnya menghadap ke arah wajahnya dan Amara, sementara di layar terlihat wajah Blue yang sedang tersenyum kecil dalam panggilan video. "Berarti besok Mom, Dad, dan Kak Talia berangkat ke bandara pagi?" tanya Emely, memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut, berusaha tidak mengganggu ketenangan malam. Di layar ponsel, Blue mengangguk pelan. "Ya," jawabnya singkat, kemudian menambahkan, "Aku akan antar mereka dulu ke bandara. Setelah itu, aku ke tempat kalian. Semoga Erlan kasih izin besok." Emely terdiam sejenak. Ia melirik ke arah Amara yang fokus menatap layar, matanya berbinar melihat wajah sang ayah. Setelah menarik napas pelan, Emely kembali menatap Blue. "Besok aku usahakan sampai Dad kasih izin," ucapnya dengan
Lucia dan Caroline hampir tak sanggup lagi menahan tawa. Gabriel, yang duduk di sudut ruangan, hanya bisa menggeleng kepala sambil menggigit bibir, berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Erlan, meski awalnya enggan, akhirnya berdiri dengan raut wajah dramatis, lalu melangkah mendekati ibunya. Ia bersimpuh di bawah kaki Megan, mengambil kedua tangan wanita itu dengan lembut, lalu mengecupnya penuh hormat. “Ibunda Ratu, mohon maafkan ananda yang durhaka ini,” katanya dengan nada suara serius, namun wajahnya sedikit tersenyum, menahan tawa. Semua yang ada di ruangan tetap diam. Gamal bahkan menggigit bibir bagian dalamnya agar tidak terbahak, sementara Gabriel dan Bella sama-sama memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyum mereka. Erlan mendongak, menatap ibunya. “Tolong jangan kutuk ananda menjadi remote TV, Ibunda Ratu. Jika itu terjadi, kasihan sekali menantu Ibunda. Dia pasti akan kesepian tanpa ananda,” lanjutnya dengan wajah yang dibuat-buat serius. Kali ini, tawa
*** “Aku tidak menyangka kalau cucuku yang cantik itu memiliki naluri keibuan yang begitu luar biasa,” ujar Megan dengan senyum bangga menghiasi wajahnya. Matanya tampak menerawang seolah mengenang sesuatu. Ia menghela napas pelan sebelum menoleh ke arah Gamal yang duduk di sampingnya. “Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak punya pengalaman, Sayang. Tapi lihatlah tadi, bagaimana Amara bisa begitu nyaman di sisinya,” lanjutnya dengan nada lembut namun penuh kekaguman. Gamal melirik istrinya, lalu tersenyum kecil sambil mengangguk pelan. “Memang dasarnya cucu kita punya hati yang lembut. Kupikir pengalaman bukan lagi alasan utamanya,” timpalnya dengan bangga. Erlan, Lucia, Gabriel, dan Caroline serta anak-anak mereka—Early dan Bella hanya mendengarkan obrolan ringan keduanya. Meskipun sesekali mereka saling bertukar pandang, tidak ada satupun yang menyela. Namun, tiba-tiba suara Bella yang ceria memecah keheningan. Gadis remaja itu, yang sejak tadi hanya menyimak, akhirnya ikut
Mendengar percakapan itu, Megan ikut menimpali sambil tersenyum, “Nanti kamu harus belajar masak, Sayang. Karena sejatinya, suami itu lebih bahagia kalau istrinya masak sendiri. Ya, meskipun hanya sesekali.” Ucapan Megan membuat semua orang tersenyum, termasuk Emely. Ia menoleh pada Lucia, kemudian pada Zara, dan berkata, “Aku sudah mulai belajar, kok, Grandma. Kemarin aku diajari Mom Zara, dan masakanku berhasil. Blue bahkan bilang nilainya seratus.” Namun, sebelum percakapan itu bisa berlanjut, Erlan memotong dengan nada sarkastik. “Namanya juga lagi tergila-gila. Rasa asin pun bisa dinilai manis.” Semua orang terdiam sejenak mendengar komentar itu. Blue hanya terkekeh pelan, lalu melirik Gabriel yang sudah menggelengkan kepala, tampak tak habis pikir dengan sikap adiknya. Namun, baik Ronan maupun Zara tidak menunjukkan rasa tersinggung. Mereka memahami sepenuhnya bahwa sikap Erlan adalah bagian dari rasa kecewanya terhadap kesalahan masa lalu Blue. Setelah itu, suasana di meja