Gloomy.
Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.
Begadang, Fan?
Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.
Susah tidur.
Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas?Baru aja pulang dari rumah sakit.
Siapa yang sakit?
Oh, iya, tadi telepon, ya?
Kenapa?Mamanya Radit.
Mau ngasih tau kalo Sasha gak bisa dateng.
Oh, gitu.
Jempol Gathan bergerak cepat ke atas, mencari file yang ingin ia kirim. Segera ia klik lagu berjudul 'If tomorrow never comes-Ronan Keating' dan kembali ke room chatting, mendapati Fanala sudah tidak aktif lagi. Namun ia tetap menambahkan satu pesan lagi. Berharap Fanala hanya pindah aplikasi.
Gue sering dengerin itu kalo susah tidur.
Gathan meletakkan ponselnya dan kembali ke posisi awal. Matanya perlahan terkatup. Baru saja ia hendak terlelap ketika denting ponsel mengejutkannya. Dengan semangat yang seketika bangkit ia menyambar ponselnya.
Thank you 😊
Tanpa sadar Gathan menghela napas panjang. Kemudian berguling-guling hingga tergelimpang mencium lantai.
Sekali lagi suara denting ponsel terdengar. Seraya mengusap bibir, Gathan membaca pesan yang baru masuk.
Earphone lo ada sama gue.
Sementara Gathan nampaknya makin menggila dengan gaya renang bebas di atas lantai dingin kamarnya, Fanala Putri Nindya tengah duduk seorang diri di bawah pohon mahoni di sudut luar huniannya. Bersama earphone menyumpal indera pendengar serta ponsel di satu tangan--memutar lagu yang baru saja di terima dari seorang teman.
***
Tak lama sosok Radit yang mengendarai motor hitamnya yang jarang keluar kadang melewati gerbang, menuju posisi kedua sahabatnya tengah menanti.
Usai melepaskan helm, Radit turun dari motor, menerima sebuah burger yang diulurkan Sasha seraya mengucap terima kasih. Sahabatnya ini sungguh tahu apa yang dibutuhkannya, tanpa perlu di kode apalagi di minta.
"Buat apaan?" tanya Radit di antara kunyahan pertamanya ketika Gathan mengangsurkan sebuket bunga putih nan cantik. Tak menyambutnya.
"Buat nyokap lo lah, ya kali buat lo," ucap Gathan tak sabar.
"Gue ke rumah sakit masih jam dua nanti, Than. Layu juga ni bunga." Ia memasukan satu gigitan lagi makanan ke mulutnya. "Suka gak ada otaknya lo."
"Kayak lo ada aja." Gathan memukul kepala Radit menggunakan bunga di tangannya.
"Gue ada ya, gak sekosong kepala lo." Radit mengambil minuman favoritnya dari tangan Sasha. Santai sekali mulutnya mengatai Gathan.
"Udahlah, sesama gak ada otaknya gak usah ribut," ujar Sasha sembari mengambil bunga pemberian Gathan, berniat membawakan untuk Radit yang masih sibuk makan.
Dengan jahilnya, Gathan mendorong botol jus yang sedang di tenggak Radit. Membuat si empunya tersedak.
Tanpa pikir panjang Radit mengisi penuh mulutnya lalu menyemburkan jus jeruk pada wajah Gathan. Satu detik laki-laki itu membeku, terkejut. Pada detik selanjutnya di sambarnya minuman yang tinggal setengah itu dari tangan Radit. Namun sebelum sempat menumpatkan isi mulutnya, si Sasaran sudah ngacir diiringi tawa gilanya.
Sasha menatap kedua sahabatnya yang kian jauh. Kali ini ada senyum di bibirnya, bukan keluh seperti biasa. Sebab, ia pikir bila Radit sudah ada tenaga untuk ribut dengan Gathan, jadi tanda laki-laki itu tak lagi kacau pikirannya seperti kemarin. Sungguh, kekalutan Radit kemarin membuatnya takut, hingga tak berani mendekat.
Dalam perjanan seorang diri ke ruang kelas, Sasha memakan satu sisa burger yang di beli Gathan atas paksaannya. Ia melangkah santai, hingga tanpa terasa sudah di depan tangga lantai dua yang di pakai nongkrong anak-anak nakal angkatannya.
Aish... Sasha mendesah dalam hati. Ia tak suka melewati tangga yang penuh murid lelaki ini seorang diri. Kenapa pula Gathan dan Radit meninggalkan. Terlebih lagi, sekumpulan manusia tak berguna ini biasanya kumpul dekat toilet rusak di ujung koridor, kenapa pada pindah habitat begini?
Berlagak cuek, Sasha mulai menaiki anak tangga pertama. Dari sudut mata, ia tahu para manusia sisa metabolisme dunia itu menatapnya, bahkan ada beberapa yang menyapanya sok akrab. Risih sekali.
"Sha!"
Sasha menengadah, menjumpai kedua sahabatnya di tikungan tangga. Seketika ia merasa lega dan mempercepat langkahnya menghampiri mereka.
Radit dan Gathan yang seragamnya kuning di beberapa bagian membiarkan Sasha memimpin jalan. Membuat punggung gadis itu jadi objek penelitian netra para sahabatnya. Dan memang ada sesuatu yang bebeda dari Sasha hari ini di banding lusa yang lalu.
"Seragam lo, lo intimidasi apa gimana jadi ciut begitu, Sha?" celetuk Gathan. Tak suka.
"Mau gue beliin yang baru, Sha?" tanya Radit, dingin.
Sasha berhenti, lalu berbalik di puncak tangga. "Ini lagi ngetrend, guys."
"Jadi apa faedah trend mendekin baju sama rok? Diplototin anak-anak kesayangan guru BK?" tanya Gathan sarkastis. Kemudian berlalu begitu saja. Air mukanya jelas terbaca kesal. Ia tak memperhatikan sejak tadi bahwa seragam Sasha sudah seperti member idol grup Korea. Jika tahu, sudah ia suruh pulang gadis satu itu.
Gathan sebagai laki-laki tahu benar apa yang dipikirkan kaumnya yang kurang pandai menjaga mata melihat gadis cantik berpakaian ketat dan kurang panjang. Dan ia tak suka membayangkan sahabat perempuannya jadi bahan lamunan para laki-laki di tangga tadi.
Usai Gathan melenggang kian jauh Radit melepaskan jaket yang dikenakannya. Diulurkannya beda itu pada Sasha. "Hati-hati kalo duduk," ujarnya.
Sasha menerima jaket berwarna abu milik Radit. Lalu keduanya kembali melanjutkan langkah mereka.
Sementara itu, Gathan yang hendak masuk kelas berhenti mendadak.
"Tugas makalah Sejarah," todong Fira
"Eh, buset! Gue barus nyampe, Fir. Ceritanya baru mau kesel-kesel cool, udah di cekal masuk kelas aja." Gathan melepas satu tali tasnya, merogoh-rogoh ke dalamnya.
"Buru, Than!" desak Fira.
"Sabar, Fir. Ngebet banget ketemu Pak Sejarah yang rambutnya makin langka itu."
Brukk!
Fira memukulkan tumpukan setinggi hampir lima belas sentimeter itu.
"Sakit Fira," keluah Gathan, menyerahkan tugasnya. "Kalo gue gegar otak gimana? Keseringan, ih, lo mukul kepala gue."
"Kayak punya otak aja," cibir Fira. Melihat bagian makalah di tangannya. "Dan kalo gue boleh ngasih saran, janjian, gih, sama anak sekelas biar pesen makalah gak di tempat yang sama. Kepinteran... " Ia melenggang pergi bersama setumpuk makalah yang lebih dari setengahnya berwarna biru muda, termasuk milik kelompak Gathan. Serupa.
"Kenapa?" tanya Radit yang baru bergabung, bersama Sasha mengekor.
"Separo kelas bakal berjemur lagi hari ini."
***
Fanala duduk menopang dagu. Pandangannya menerawang. Suara dosen di muka kelas sana terasa mengambang. Tak sekata pun menelusup ke indra rungunya. Karel yang duduk di sisi hanya bisa menghela napas panjang. Bingung harus melakukan apa untuk menghibur kawannya. Takut salah bicara dan menambah duka, atau yang lebih parah menabur harapan kosong pada hati yang tengah patah. Barangkali yang terbaik memang membiarkannya saja, menghadapi kenyataan dan belajar menghilangkan rasa. Dan perlahan barangkali ia bisa mengetuk hati gadis di sisinya itu.
Dalam benak Fanala--gadis memesona dengan mahkota hitam sepundak sempitnya--ratusan memori berpusing tanpa di minta. Bermain seperti film tanpa suara. Menampilkan kenangan kelewat manis yang dilakukan teman masa kecil sekaligus kakak sepupu sahabat baiknya.
Ah, bagaimana caranya untuk berhenti jatuh cinta pada laki-laki sesempurna Farrell Ananta? Ia seperti pangeran yang keluar dari negeri dongeng tepat di hadapan seorang gadis kecil bernama Fanala, si pemilik buku cerita penuh warna.
Fanala masih begitu ingat bagaimana ia--gadis berusia delapan tahun--terpesona menatap Farrel yang lima tahun lebih tua, saat menyelamatkan Karel yang hampir tenggelam karena ingin pamer padanya. Itu baru kali pertama. Banyak kali-kali lain ia di buat jatuh dalam pesona. Misalnya saja, ketika Farrel menanam bunga matahari memenuhi halaman belakang rumah Fanala saat ia ulang tahun yang ke sembilan hanya kerena ia berkata suka bunga berwarna kuning ceria itu. Manis sekali bukan?
Namun sayang, dua belas tahun menanti tak ada yang terjadi pada hati Farrel. Laki-laki itu tak pernah berbalik menatapnya, apalagi membalas rasa. Fanala tak lebih dari sekadar teman masa kecilnya. Tak pernah lebih, tak pernah... Dan kini harapannya telah lenyap tanpa sisa. Farrel--cinta pertamanya--akan segera dimiliki seutuhnya oleh gadis beruntung bernama Elma Sartika.
"La," suara Karel mengenyakkan Fanala para realita.
"Apa?" sahut Fanala, malas. Ia melirik kelas yang hampir kosong. Kapan berakhirnya?
"Mau makan apa? Kan tadi juga belum sarapan."
"Gak laper." Fanala memberaskan barang-barangnya.
"Bohong. Perut dari tadi bunyi gitu bilang gak laper."
"Lo yang bohong. Mana ada perut gue bunyi."
Fanala menyampirkan tas di pundak, lantas keluar dari sela meja dan kursi mendahului Karel.
"Lo mau sakit maag juga? Sakit hati gak cukup?"
Fanala memutar tumit. "Iya, gak cukup!" ujarnya sengit, sadar bila di kelas hanya tersisa mereka berdua. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu, diekori Karel.
Tepat ketika Fanala hendak berbelok ke kiri, Karel menggapai tangannya dan menariknya ke arah kanan.
"Ayo makan! Kalo lo sakit siap coba yang susah? Gue! Dan lo tahu gue lagi sibuk belakangan ini, gak banyak waktu buat direpotin sama lo."
Penolakkan dari Fanala luruh. Akhirnya ia bersungut-sungut mengikuti Karel dengan pasrah. Masalahnya perkataan Karel yang suka memaksa ini benar, dialah yang paling direpotkan bila Fanala sakit.
"Ngeselin banget, sih, lo. Gue mau patah hati dengan tenang aja gak boleh. Bener-bener gak paham perasaan gue, lo."
"Gue memang harap gue gak akan pernah paham," ujar Karel seketika.
"Ish!"
***
"Satu, dua, TIGA!" teriak Gathan.
"RADIT!!!" Suara mayoritas dari delapan belas orang murid kelas 12 IPS 3 yang berdiri mengelilingi tiang bendera berteriak semangat. Diikuti seruan 'Oh Sehun, Oh Sehun!' yang dipelopori kelompok pecinta Kpop.
Ada alasan kenapa Sasha dan Radit yang notabenenya Kpopers tidak gabung dengan kelompok sebangsanya di kelas, yaitu masalah identitas fandom. Persekutuan Kpopers di kelas 12 IPS 3 adalah EXO-L garis keras, sementara mereka berdua multi fandom.
"Oh Sehun! Oh Sehun! Oh Sehun!"
"KW!" Gathan ngegas, diikuti beberapa siswa yang tidak pro pada kpop.
Sebetulnya satu setengah lusin orang ini sedang di hukum oleh guru Sejarah yang rajin sekali menjemur murid-murid kelasnya yang ketahuan berbuat curang. Tidak tanggung-tanggung, mereka di jemur ketika matahari sedang semangat-semangatnya untuk bersinar. Tak heran bila Gathan mulai mencium bau hangus.
"Oke, oke," Radit mengangkat tangannya. "Lagu apa?"
"Ko Ko Bop!" pekik seorang gadis bernama Nana.
"Lagi Syantik aja, sih," seorang laki-laki protes. Yang langsung dihadiahi Nana sebuah pukulan di ubun-ubun. Setelah itu tak ada lagi yang berani protes.
Jadi sebetulnya mereka semua tengah bermain permainan di mana orang yang namanya paling banyak di sebut akan di hukum joget menggunakan lagu yang dipilihkan.
"Simmie simmie ko ko bob
I think i like it..." Yang tahu lagunya bernyanyi dengan antusias sementara Radit melakukan gerakan dance yang membuat para siswi jejeritan, dan para cowok anti Korea jengah.Lain halnya dengan Gathan dan Sasha yang melakukan fanchant.
"Ra-dit-ku, Ra-dit-ku!" teriak Sasha yang menurut Gathan kode keras sekali.
Sedangkan Gathan berteriak, "Je-lek-lo, je-lek-lo!"
"HOI!"
Sebuah teriakan membungkam ke delapan belas orang itu. Seketika mereka hormat kembali menatap bedera. Setelah di rasa aman mereka mulai tertawa. Geli sendiri.
Sungguh menyenangkan hari itu. Hari yang akan selalu di kenang pada masa SMA yang akan segera mereka tinggalkan. Walau tak semua mereka dekat, tapi mereka punya kenangan untuk ditertawakan lagi bersama suatu hari nanti ketika reuni tiba betahun-tahun kemudian. Menertawakan tingkah konyol mereka ketika di hukum bersama di bawah sinar matahari yang menyengat kulit, menanti bel pulang yang sudah seperti hari pebebasan tahanan.
Mereka akan rindu hari ini.
***
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u
Tok, tok, tok!Fanala melenguh, mengganti posisinya. Tangan meraba-raba mencari ponsel untuk melihat pukul berapa. Rasanya belum lama ia terjaga untuk solat subuh dan kembali melanjutkan mimpi.Sebelah mata Fanala mengintip sementara yang lain tak kuat menerima cahaya layar ponsel yang menyilaukan. 05.18. Astaga... Siapa yang bertamu sepagi ini, sih?! Urusan mendesak apa menyangkut dirinya yang harus dituntaskan sedini ini? Gila sekali. Tidak memahami penderitaan mahasiswa yang merasa bahwa tidur cukup adalah sebuah kemewahan.Fanala berniat mengabaikannya, namun si Pengetuk terlalu keras hati untuk menyerah.Sial!Nyap-nyap, Fanala keluar dari kamarnya. Bila pun di luar sana bukan tamu melainkan penjahat, ia tak akan segan mencaci makinya hingga menciut tanpa nyali. Dasar tak punya hati, mengganggu mahasiswa subuh begini!Pintu di tarik kasar. Empunya habis sabar.
"Apa, sih, Than?" desis Sasha, menoleh ke belakang saat Gathan seenak pantatnya mengetuk kepalanya menggunakan sudut penggaris. "Belajar," geram Gathan, "Jangan ngaca mulu. Giliran gak ada kegiatan lo gak mau ngaca. Udah cantik lo itu."Wajah Sasha kesal tapi tak ingin memperpanjang urusan. Ia sedang tidak ingin berdiri di luar. Dan lagi, walau tak biasa, ucapan Gathan benar. Dia harus belajar, ujian tak lama lagi. Meski ia tak paham Gathan dapat hidayah dari mana menegurnya untuk belajar di kelas. Radit yang duduk di sisi Gathan pun mendapat aksi yang sama seperti Sasha. "Sakit, Go!" Radit membelalaki Gathan yang santai saja. Ia kemudian melirik guru Geografi yang teng
Fanala henti di tengah halaman ketika menyadari ada yang tegak di depan pintu rumahnya. Ia tak pasti apa, namun agak seperti orang, tapi terlalu kaku untuk jadi makhluk hidup. Sebab lampu belum dinyalakan. Hanya cahaya remang dari lampu teras tetangga juga lampu jalan yang membantu penerangan. Suasana sepi malah membuatnya jadi lebih creepy. Ini sudah pukul sebelas kurang beberapa menit lagi.Fanala baru pulang dari rumah orang tuanya di luar kota. Tadinya Karel mau menjempunya di stasiun, namun ia berkata tak usah karena sudah pesan taksi online. Sekarang ia agak menyesal.Berdehem Fanala. Tak ada respon. Memastikana bahwasannya yang bersiri depan sana bukanlah manusia. Ia pun mengambil ponsel, menyalakan senter portable. Perlahan di arahnya pada entah-apa yang berdiri di sana.Napasnya terurai. Baru sadar sejak tadi ia menahanya. Sekali lagi Fanala mengarahkan cahaya pada benda asing yang sempa
Sasha dan Radit duduk di sebuah bangku taman belakang sekolah. Keduanya diam. Ditinggal Gathan yang kelewat excited melihat hasil tryout yang kabarnya baru di tempel di mading. Sahabat mereka itu sudah jadi bagian kaum minoritas yang punya hasrat berjejalan sekedar untuk memeriksa nilai yang tak masuk hitungan dalam kelulusan.Taman itu cukup ramai. Para murid berkumpul dalam kelompok masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang main kejar-kejaran (tampaknya melibatkan perasaan), ada yang hanya sekedar bercanda atau mengobrol di selingin cemilan basreng berteman es teh. Layaknya akhir pekan sekolah biasa. Banyak jam kosong yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersenang-senang."Dit?""Apa?" Radit menoleh pada Sasha, meninggalkan game online di ponselnya."Gue mau nanya pendapat lo, boleh?"Radit melipat sebelah kakinya di atas kursi, agar dapat sepenuhnya menghadap Sasha.