Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.
Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.
Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.
Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang, diikuti pipi yang menggembung. Pelan-pelan ia mengehembuskan napas dengan gaya paling sok imut--yang pasti akan mendapat toyoran kepala bila ada Karel.
Kembali mata Fanala terbuka, dengan bibir masih mengerucut sisa menghembuskan napas dengan gaya tadi. Melalui sudut matanya, ia mendapat gambaran asing di sisi halaman. Ia pun menoleh seketika, menyebabkan tulang lehernya agak berderak.
Sebentuk manusia dalam balutan hoodie yang senada dengan sweater Fanala kini melambaikan tangannya dari bahwah pohon mahoni. Di telingannya jelas tersumpal earphone.
Sejak kapan Gathan nongkrong di sana? Dan mana dua orang sahabat setianya--Radit dan Sasha? Biasanya mereka tampak seperti satu paket.
"Dari kapan?" tanya Fanala, telah mengambil tempat di sisi Gathan--yang langsung melepas satu sumbat telinganya.
Gathan melihat ponselnya. "Dua puluh menitan."
Lama juga, pikir Fanala.
"Gue janjian sama Sasha masih jam sembilan, loh." Dan, seingat Fanala, sekarang masih jam delapan.
Nampak terkejut, Gathan menatapnya. "Emang dasar si Sasha, ngerjain gue mulu. Dan gue percaya aja lagi..." Ia mendesis. "Ini gue yang terlalu lugu apa Sasha yang makin jago ngibulin gue sebenernya?!"
Fanala tersenyum. Rasanya ia senang sekali melihat interaksi persahabatan Gathan dengan Sasha dan Radit. Sangat manis.
Sudah empat sampai lima kali pertemuan bimbel, Gathan dan Radit tak pernah membiarkan Sasha sendiri. Mereka selalu menemaninya. Bahkan ikut belajar juga terkadang. Dan interaksi mereka bertiga begitu menggemaskan. Sasha yang sering memarahi Radit dan Gathan, sebab kedua bocah laki-laki itu hobi sekali cekcok tentang sesuatu paling remeh dan absurd.
"Gue gak yakin lo lugu," ujar Fanala setelah beberapa saat.
"Gue juga," Gathan setuju. "Gue kira gue emang menikmati di tipu Sasha."
Tertawa Fanala sedikit. Kemudian keduanya terdiam, cukup lama. Hanya suara kicau koleksi burung tetangga sebelah yang terdengar, juga desau angin pagi yang menyenangkan.
"Mau gue ambilin permen karet?" Fanala hendak berdiri.
"Eh--gak usah," Gathan segera berkata, menghentikan niat Fanala.
Tampaknya permen karet jadi barang yang di bawa dalam setiap perjumpaan mereka saat hanya berdua.
"Kenapa? Masih banyak pikiran? Udah tiga hari, loh."
Gathan terkekeh. "Enggak. Pikiran gak tahan lama-lama di kepala gue. Rongsok semua isinya. Bikin pikiran jadi gak betah."
"Ada... aja."
"Diada-adain," balas Gathan santai. Ia mengulurkan sebelah eaephone pada Fanala. "Mau denger gak?"
Fanala menerimannya. Didengarkannya lagu yang diputar laki-laki yang duduk di sisinya itu. Membuatnya tersenyum. Pagi-pagi mendengar lagu seperti ini. Gathan sedang galau? Atau ia memang remaja mellow?
"Pagi-pagi dengering lagu yang up beat, biar semangat."
"Gak perlu lagu up beat gue udah semangat banget. Bahkan gue rasa gue kelebihan hormon adrenalin pagi ini. Rasanya kayak habis sprint. Lo aja yang gak tahu dari tadi gue lagi nyoba cooling down, tapi belum berhasil juga."
Alis Fanala terangkat. Sangsi.
"Ya, udah kalo gak percaya."
Selama beberapa menit hening lagi. Gathan sedang sibuk mencoba cooling down jantungnya, sementara Fanala tengah menggumamkan lagu yang baru saja berganti, lagu favorit Sasha: Lizard-lizard on the wall.
"Fan?"
"Mm?"
"Udah sarapan belum?"
"Belum."
"Sama." Gathan nyengir. "Cari sarapan sana, sekalian traktir gue."
"Idih... Ogah! Beli sendiri. Enak aja!"
"Ya udah, deh, gue ngutang. Lain kali gue yang traktir."
"Serius, ya, ini patokannya traktir bayar traktir, gak berpaku sama nominal. Kalo gue traktir lo nasi uduk, gak masalah kalo lo traktir gue pasta."
"Anak Ekonomi banget, ya, lo, pagi-pagi udah nyari untung." Gathan tertawa.
"Setiap kesempatan itu harus di manfaatkan dengan baik."
Ponsel Gathan berdenting. Laki-laki itu menatap ponselnya. Jejak tawa di wajahnya luruh seketika.
Gathan merenggut kabel earphone dari ponselnya kasar. Yang membuat Fanala melepaskan sumbat di salah satu telinganya.
"Kenapa?"
"Traktir gue kapan-kapan. Gue pergi dulu," ujar Gathan cepat. Ia berlalu dengan setengah berlari. Sehingga Fanala tak sempat menjawab ucapannya.
Saking cepatnya Gathan, ia salah memasukan earphone ke saku dan malah menjatuhkannya.
Lama kemudian barulah Fanala bangun, memungut benda berwarna putih itu. Gathan bisa mengambilnya ketika datang lagi nanti, pikirnya. Lalu berbalik hendak masuk ke rumah. Ia bisa membuat sesuatu untuk perutnya yang baru saja mengerang.
"La!"
Fanala menoleh.
"Sarapan?" Karel mengangkat kantong plastik putih yang dijinjingnya.
Nampaklah deretan rapi gigi putih Fanala bersama matanya yang menyipit. "Tepat waktu temenku ini," ujarnya senang. Mengaitkan lengannya pada lengan Karel.
"Sarapan apa kita hari ini temenku?" tanya Fanala manja.
"Jijik, sih, La." Karel bergidik.
"Jijik apa gemes?"
"Jijik-jijik gemes pengen nabok... "
***
Gathan meraih pundak Sasha. "Gimana?" tanyanya, terengah.
"Masih ditanganin dokter," jawab Sasha singkat. Wajahnya tegang.
Gathan mengusap lengan Sasha, mencoba meredakan ketegangannya. "Duduk," ujarnya pelan. Tak seperti biasanya. Segala keheningan di sini rasanya seolah memaksa mereka untuk berbisik.
Sasha menuruti ucapan Gathan, ia memilih di ujung kursi. Sementara sahabatnya itu, mendekati sosok jangkung Radit yang nampak goyah, di depan pintu ruang operasi.
Tak ada suara yang keluar dari mulut Gathan. Seaktif apapun bibirnya, ia tahu kapan waktunya untuk diam. Bahkan kata perhiburan pun tak akan ia lontarkan. Sebab ia sendiri tak bisa menjamin apapun untuk membuat Radit lebih kuat. Ia tak mau menyemangati sahabatnya dengan kata-kata kosong melompong. Yang dapat dilakukannya hanya merangkul Radit, memastikan kawannya satu ini tahu bahwa ia tak harus melewati ini sendiri.
***
"Sasha mana, ya, Rel, kok belum dateng? Udah jam sepuluh gini." Fanala yang meletakan pipinya di atas meja, mengetuk-ngetukan jarinya pada permukan kayu.
"Sasha 'kan emang suka telat." Karel menopangkan dagu di atas meja.
"Tapi biasanya cuma beberapa menit. Gue khawatir, deh, soalnya tadi Gathan pergi buru-buru. Takutnya ada apa-apa."
"Kalo ada apa-apa Sasha pasti nelepon gue." Karel bangun, berdiri mengulurkan tangannya. "Daripada bengong nungguin Sasha, mending cari yougurt ke Indo depan dulu, yok?"
Fanala meraih tangan sahabatnya. "Tapi naik sepeda, ya, soalnya--"
"Lo yang gowes."
Mendengus Fanala. Padahal ia baru akan mengatakan bahwa ia malas berjalan. Eh, malah disuruh gowes.
"Kan lo abis makan banyak, biar kalorinya langsung di bakar gitu. Biar gak gemuk," tambah Karel kejam.
Fanala menghempaskan tangan Karel, lalu melangkah cepat mengambil sepeda. "Tapi lo yang bayarin belanjaan gue!" teriaknya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Fanala membonceng Karel naik sepeda. Barangkali enam atau tujuh tahun yang lalu, saat masih SMP. Ia tak tahu bahwa sekarang Karel seberat ini.
"Berat banget, sih, lo, Rel. Kurang-kurangin makanya bikin dosa sama makan lontong sayur gak pakek sayur."
Karel hanya terkekeh kecil. Tak terlalu semangat bercanda. Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu sejak tadi--beberapa hari belakangan ini sebetulnya, tapi bingung bagaimana cara mengatakannya. Ia selalu meyakini bahwa waktunya belum tepat. Tapi terus menunggu waktu yang tepat mungkin akan membuatnya didahului oleh kakaknya. Dan itu... Barangkali lebih baik kalau ia yang menyampaikannya.
"La?" panggil Karel setelah hening beberapa saat. Ia meletakkan satu tangannya yang bebas di bawah sadal pengemudi. Sedang tangan yang lainnya menjepit dua buah ponsel.
"Apa?"
"Lo masih suka Kak Farrel?"
Alis Fanala mengernyit. Aneh sekali Karel mengajaknya mengobrolkan ini. Ia tahu ini bukan topik yang sahabatnya itu sukai. Ia pun begitu. Karena baginya ini bukan kisah yang cukup menyenangkan untuk di ungkit selalu.
"Masih, mungkin. Soalnya gue gak inget suka sama orang lain sejak umur gue delapan."
"Sampe kapan lo mau suka sama Kak Farrel?" Karel bertanya, pelan, seraya mengamati sepeda yang baru saja mendahui tumpangannya.
"Entah. Sampai perasaan gue sama di hilang."
"Kalo lo simpen baik-baik, ya, gak bakalan hilang."
"Terus harus gue apain? Buang?"
"Iyalah," jawab Karel, agak sinis. "Gak mungkin 'kan lo selamanya mau suka sama Kak Farrel."
"Kalo dia suka sama gue juga, gue bisa selamanya nyimpen perasaan gue."
"Tapi kayaknya itu makin gak mungkin."
"Kenapa? Kak Farrel mau nikah...?" Bersama pertanyaan yang nadanya semakin rendah di ujung, ada sesuatu yang terjadi di dalam dadanya. Rasa tak nyaman yang tidak asing.
"Belum... Cuma... dia baru mau lamaran. Gak lama lagi."
Fanala menarik kedua rem tangan. Mereka sudah sampai tujuan, Indomaret. Saatnya turun. Namun Fanala hanya diam di tempat, begitu juga dengan Karel yang hanya menatap punggung sahabatnya--yang perlahan bergetar.
Niga joha noemu joha
Nae modeungoel jugo shipoeNeoegemaneun naemaeumNan kkumigo shipji anhaOenjekkaji (oenjekkaji)Refrain lagu yang EXO nyanyikan yang menjadi nada dering ponsel Fanala, berbunyi. Karel yang memegangi ponsel gadis itu melihat nama 'Gathannya Sasha' di layar.
***
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau