Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.
Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.
Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu.
"Fan, Fanala!" panggilnya.
Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?
Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.
Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.
Ia berbalik.
"Kenapa, Than?"
"Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yang bertudung hoodie di depan wajahnya.
Sejak kapan gadis itu ada di sana?
"Kaget tahu gak," keluhnya. Mengusap dada. Hampir ia jatuh ke lantai karena kaki yang gemetar. Kan tidak lucu bila hal itu sampai terjadi .
Fanala menurunkan tudungnya. Ada kantong kresek besar di tangan lainnya. Tadi ia sungguh nampak menyeramkan dengan tudung hitam dan latar belakang cahaya yang remang.
"Lo ngapain ke sini malem-malem?"
"Ngambil earphone." Gathan menepi, mempersilahkan Fanala membuka pintu.
"Emang gak bisa besok?" Fanala masuk, diikuti Gathan yang membiarkan pintu tetap terbuka. Langkah gadia itu gontai, tak bersemangat. Nada suaranya juga monoton, terdengar malas.
"Bisa. Cuma gue pikir sekalian aja mampir, karena se arah sama rumah temen gue," dustanya.
Fanala meletakan kantong plastik yang di jinjing ke atas meja, lalu masuk ke kamar. Sementara Gathan duduk menunggu di atas sofa coklat yang sudah kian akrab dengannya.
Detak jam terdengar keras di ruang mungil itu. Ini kali pertamanya datang sendiri dengan tujuan yang tak menyangkut Sasha, pikir Gathan. Rasanya agak aneh. Sebab sebelumnya Sashalah alasannya ada di sini.
Fanala keluar dari kamar, lantas mengulurkan seikat kabel kecil bertali pita merah. "Nih."
Saat Gathan mengambilnya, netranya menangkap wajah Fanala di bawah lampu LED yang terang. Ada yang bebeda.
"Kenapa muka lo?" tanya Gathan, meletakan benda yang baru di terima di atas sofa di sisi tempat duduknya.
Refleks Fanala meraba wajahnya. "Nggak ada apa-ap--"
"Kusut banget."
Fanala mencebik. Namun tak berkata apapun. Ia malah berlutut di lantai, membongkar belanjaannya. Beberapa bungkus mie instan, sekotak susu UHT coklat, satu pak yakult, beberapa bar coklat, sekotak plester luka, empat bungkus sariroti sandwich coklat, dan sebungkus koyo berserakan di atas meja.
Dengan santai Fanala mengenakan koyo pada kedua pelipisnya. Terlihat sekali sudah sering melakukan hal itu.
"Belum pulang?" Fanala menatap Gathan. Tangannya otomatis meremukan mie instan goreng.
"Lagi nunggu Gojek." Mengangkat ponselnya. "Enggak pa-pa kan nunggu di sini?"
Fanala mengangkat bahu. "Terserah."
Gathan memperhatikan Fanala yang tengah mencampurkan bumbu dan mie dalam plastik bungkusnya. Ada apa dengan gadis di seberang meja itu? Kenapa ia jadi super tak acuh? Belum lagi ada lingkaran hitam di sekitar matanya yang sedikit bengkak. Kelihatan sekali kurang tidur. Dia terlihat seperti orang yang...
"Lo abis diputusin, Fan?"
"Gak."
"Kirain. Karena gue yakin kalo lo gak punya pacar. Kalo punya kan gak mungkin nempel mulu sama Karel. Ketahuan banget kalo lo berdua sama-sama solo. Ya, k--"
Fanala melempar sebungkus mie padanya Gathan yang untungnya tanggap. Menyela ucapan tamunya yang hobi mengoceh. Ini pertama kalinya ia bertindak tidak sopan pada Gathan.
Gathan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Fanala pada mie instannya. Sudah lama ia tak makan mie mentah seperti ini. Terakhir kali SD ia kira, bila orang tuanya sedang bekerja--sebelum mereka memutuskan untuk berpisah. Masa yang menyenangkan.
Seraya mengaduk mienya, Gathan sesekali melirik Fanala yang makan dengan tenang. Padangan gadis itu nanar pada ponsel yang tergeletak menyala di atas meja. Wallpapernya seseorang yang membelakangi senja.
"Kalo gak di putusin, di tolak?" Gathan mengambil sejumput mie, memasukannya ke mulut.
"Gak."
"Diselingkuhin gak mungkin... Di tinggal mantan nikah?"
"Gak."
"Kal--"
"Belum sampe ke tahap itu." Fanala mematikan ponselnya.
"Tunangan?"
Fanala tak menyahut. Diasumsikan Gathan sebagai 'ya'.
"Mantan yang mana? SD? SMP? SMA?" tanya Gathan antusias, berbanding lurus dengan kunyahannya.
Lama sekali Fanala tak merespon. Asik dengan camilannya sendiri. Sedang Gathan tak ingin mendesak lebih jauh, takut dipertanyakan kenapa ojeknya belum juga sampai.
"Bagus kalo udah mantan. Dia tahu perasaan gue aja enggak." Fanala mulai membuka diri.
"Kak Farrel mau tunangan?"
Pada akhirnya, Fanala menatap Gathan sunguhan. Hilang sudah sikap tak acuhnya, tergantikan dengan keheranan yang tak disembunyikan.
"Dari mana lo tahu yang gue maksud Farrel?"
"Sasha," jawab Gathan enteng. "Dia bilang lo sama dua kakaknya keliatan banget membentuk pola segitiga kurang jadi."
Fanala mengernyit. Kurang paham.
"Karel suka sama lo, lo suka sama Kak Farrel, tapi Kak Farrel gak ada rasa sama lo."
Kembali Fanala menunduk. "Kalo Sasha aja peka, kenapa Farrel enggak? Sebel gue. "
Gathan tersenyum kecut. "Pertanyaan itu juga berlaku buat lo."
"Apaan?"
"Kalo Sasha aja peka sama perasaan Karel, kenapa lo yang disukain malah gak peka?"
Pertanyaan Gathan itu menohok Fanala. Untuk sejenak ia hanya diam tak bergeming. Sebelum kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya untuk bersikap defensif.
"Apaan, sih, lo. Balik sana! Anak kelas dua belas keluar malem-malem, bukannya belajar. Udah mau ujian juga. Sekolah itu pakek uang orang tua, jangan gak tahu malu mau main-main doang. Pulang sana, belajar!"
Gathan terkekeh. "Gojek gue belum dateng. Lagian gue sekarang lagi belajar. Belajar Psikologi-cewek-yang-pengen-dipekain-tapi-suka-pura-pura-gak-peka."
"Ish..." Fanala mendesis. "Pulang sana!"
"Gak sopan, sih, lo ngusir-ngusir tamu."
"Gue gak ngusir," Fanala membela diri, "gue ngasih saran."
"Tapi gue lagi gak terima saran. Gue lagi belajar, Fan."
"Tapi ini rumah gue! Pulang sana! Lo, tuh, makin ke sini jadi nyebelin. Lebih nyebelin dari Karel. Pulang!" Wajah Fanala memerah.
"Oke, oke." Gathan menyerah. Ia meletakkan camilannya. Bangkit berdiri, dengan kedua tangan terangkat. "Gue pulang."
Fanala hanya mendelik padanya, lalu kembali makan. Berbeda sekali dengan ia yang biasanya dewasa dan tenang. Gadis pintar seperti Fanala ternyata bisa kekanakkan dan emosional seperti ini. Menggemaskan.
Ketika sampai di ambang pintu, Gathan berbalik bersama senyum simpul di wajahnya.
"Fan?"
Fanala menoleh sekilas.
"Apa enaknya, sih, patah hati sendirian?"
"Pulang aja sana," suara Fanala kalem kini menanggapi.
Gathan hanya menggangguk kecil. "Jangan kebanyakan makan mie mentah, nanti kena typus, loh. Double sakitnya. Kan gak ada untungnya. Dan... lo bilang setiap kesempatan itu harus dimanfaatin dengan baik supaya menguntungkan, kan? Patah hati itu juga kesempatan. Lo gak sadar?"
"Kesempatan buat apa?" tanya Fanala skeptis. Menenggak susu UHT kotak besar tanpa menuangnya ke gelas.
"Kesempatan buat behenti natap punggung orang yang gak akan pernah berbalik buat natap lo. Kesempatan buat natap orang lain."
"Uhuk... uhuk!" Fanala tersedak.
***
Pagi hari yang cerah. Sinar matahari masuk menerangi kamar Fanala yang tak luas namun penuh dengan buku yang bahkan bertumpuk-tumpuk di lantai. Gadis itu tengah bersiap ke kampus. Tangannya begerak lincah menyimpul tali dari sepasang sepatu berwarna putih yang ia pinjam pada Karel sejak pertama kali benda itu di beli dan tak ada niat untuk mengembalikannya. Keuntungan punya sahabat yang kakinya seukuran dengan kita.
Memikirkan tetang keuntungan, ia teringat ucapan Gathan semalam. Bila memang patah hati merupakan keuntungan, ini keuntungan yang sangat menyakitkan.
Fanala menghela napas dalam sembari menyandang ranselnya. Ia mematut diri sejenak sebelum pergi keluar, untuk menanti Karel yang katanya tak lama lagi akan datang.
Pertama Fanala menyambar sebungkus roti dari atas meja yang berantakan dan menggigitnya beberapa kali sebelum ganti meraih kotak plester luka. Ditariknya keluar setengah dari jumlah plester itu lalu membagi dua. Ia mengembalikan sisa plester yang masih di dalam kotak ke atas meja dan sekali lagi menggigit rotinya.
Seraya mengunyah, ia tak sengaja menjatuhkan pandangan pada benda putih terikat pita yang sedikit tersembunyi di sudut sofa. Keningnya mengernyit.
Gathan meninggalkannya lagi?
Terdengar deru motor dari kejauhan. Karel. Fanala meninggalkan ruang utama rumahnya dan menghilang di balik pintu yang terkatup rapat. Tak berapa lama terdengar percakapan dua sahabat itu dari luar.
"Plaster luka gue masih banyak, La. Lo yang pakek ajalah. Buat plesterin hati."
Suara tawa Karel terdengar.
***
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau