Share

Bab 8

Malam ini berangin. Membuat Gathan  merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.

Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.

Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu.

"Fan, Fanala!" panggilnya.

Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?

Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.

Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.

Ia berbalik.

"Kenapa, Than?"

"Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yang bertudung hoodie di depan wajahnya.

Sejak kapan gadis itu ada di sana?

"Kaget tahu gak," keluhnya. Mengusap dada. Hampir ia jatuh ke lantai karena kaki yang gemetar. Kan tidak lucu bila hal itu sampai terjadi .

Fanala menurunkan tudungnya. Ada kantong kresek besar di tangan lainnya. Tadi ia sungguh nampak menyeramkan dengan tudung hitam dan latar belakang cahaya yang remang.

"Lo ngapain ke sini malem-malem?"

"Ngambil earphone." Gathan menepi, mempersilahkan Fanala membuka pintu.

"Emang gak bisa besok?" Fanala masuk, diikuti Gathan yang membiarkan pintu tetap terbuka. Langkah gadia itu gontai, tak bersemangat. Nada suaranya juga monoton, terdengar malas.

"Bisa. Cuma gue pikir sekalian aja mampir, karena se arah sama rumah temen gue," dustanya.

Fanala meletakan kantong plastik yang di jinjing ke atas meja, lalu masuk ke kamar. Sementara Gathan duduk menunggu di atas sofa coklat yang sudah kian akrab dengannya.

Detak jam terdengar keras di ruang mungil itu. Ini kali pertamanya datang sendiri dengan tujuan yang tak menyangkut Sasha, pikir Gathan. Rasanya agak aneh. Sebab sebelumnya Sashalah alasannya ada di sini.

Fanala keluar dari kamar, lantas mengulurkan seikat kabel kecil bertali pita merah. "Nih."

Saat Gathan mengambilnya, netranya menangkap wajah Fanala di bawah lampu LED yang terang. Ada yang bebeda.

"Kenapa muka lo?" tanya Gathan, meletakan benda yang baru di terima di atas sofa di sisi tempat duduknya.

Refleks Fanala meraba wajahnya. "Nggak ada apa-ap--"

"Kusut banget."

Fanala mencebik. Namun tak berkata apapun. Ia malah berlutut di lantai, membongkar belanjaannya. Beberapa bungkus mie instan, sekotak susu UHT coklat, satu pak yakult, beberapa bar coklat, sekotak plester luka, empat bungkus sariroti sandwich coklat, dan sebungkus koyo berserakan di atas meja.

Dengan santai Fanala mengenakan koyo pada kedua pelipisnya. Terlihat sekali sudah sering melakukan hal itu.

"Belum pulang?" Fanala menatap Gathan. Tangannya otomatis meremukan mie instan goreng.

"Lagi nunggu Gojek." Mengangkat ponselnya. "Enggak pa-pa kan nunggu di sini?"

Fanala mengangkat bahu. "Terserah."

Gathan memperhatikan Fanala yang tengah mencampurkan bumbu dan mie dalam plastik bungkusnya. Ada apa dengan gadis di seberang meja itu? Kenapa ia jadi super tak acuh? Belum lagi ada lingkaran hitam di sekitar matanya yang sedikit bengkak. Kelihatan sekali kurang tidur. Dia terlihat seperti orang yang...

"Lo abis diputusin, Fan?"

"Gak."

"Kirain. Karena gue yakin kalo lo gak punya pacar. Kalo punya kan gak mungkin nempel mulu sama Karel. Ketahuan banget kalo lo berdua sama-sama solo. Ya, k--"

Fanala melempar sebungkus mie padanya Gathan yang untungnya tanggap. Menyela ucapan tamunya yang hobi mengoceh. Ini pertama kalinya ia bertindak tidak sopan pada Gathan.

Gathan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Fanala pada mie instannya. Sudah lama ia tak makan mie mentah seperti ini. Terakhir kali SD ia kira, bila orang tuanya sedang bekerja--sebelum mereka memutuskan untuk berpisah. Masa yang menyenangkan.

Seraya mengaduk mienya, Gathan sesekali melirik Fanala yang makan dengan tenang. Padangan gadis itu nanar pada ponsel yang tergeletak menyala di atas meja. Wallpapernya seseorang yang membelakangi senja.

"Kalo gak di putusin, di tolak?" Gathan mengambil sejumput mie, memasukannya ke mulut.

"Gak."

"Diselingkuhin gak mungkin... Di tinggal mantan nikah?"

"Gak."

"Kal--"

"Belum sampe ke tahap itu." Fanala mematikan ponselnya.

"Tunangan?"

Fanala tak menyahut. Diasumsikan Gathan sebagai 'ya'.

"Mantan yang mana? SD? SMP? SMA?" tanya Gathan antusias, berbanding lurus dengan kunyahannya.

Lama sekali Fanala tak merespon. Asik dengan camilannya sendiri. Sedang Gathan tak ingin mendesak lebih jauh, takut dipertanyakan kenapa ojeknya belum juga sampai.

"Bagus kalo udah mantan. Dia tahu perasaan gue aja enggak." Fanala mulai membuka diri.

"Kak Farrel mau tunangan?"

Pada akhirnya, Fanala menatap Gathan sunguhan. Hilang sudah sikap tak acuhnya, tergantikan dengan keheranan yang tak disembunyikan.

"Dari mana lo tahu yang gue maksud Farrel?"

"Sasha," jawab Gathan enteng. "Dia bilang lo sama dua kakaknya keliatan banget membentuk pola segitiga kurang jadi."

Fanala mengernyit. Kurang paham.

"Karel suka sama lo, lo suka sama Kak Farrel, tapi Kak Farrel gak ada rasa sama lo."

Kembali Fanala menunduk. "Kalo Sasha aja peka, kenapa Farrel enggak? Sebel gue. "

Gathan tersenyum kecut. "Pertanyaan itu juga berlaku buat lo."

"Apaan?"

"Kalo Sasha aja peka sama perasaan Karel, kenapa lo yang disukain malah gak peka?"

Pertanyaan Gathan itu menohok Fanala. Untuk sejenak ia hanya diam tak bergeming. Sebelum kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya untuk bersikap defensif.

"Apaan, sih, lo. Balik sana! Anak kelas dua belas keluar malem-malem, bukannya belajar. Udah mau ujian juga. Sekolah itu pakek uang orang tua, jangan gak tahu malu mau main-main doang.  Pulang sana, belajar!"

Gathan terkekeh. "Gojek gue belum dateng. Lagian gue sekarang lagi belajar. Belajar Psikologi-cewek-yang-pengen-dipekain-tapi-suka-pura-pura-gak-peka."

"Ish..." Fanala mendesis. "Pulang sana!"

"Gak sopan, sih, lo ngusir-ngusir tamu."

"Gue gak ngusir," Fanala membela diri, "gue ngasih saran."

"Tapi gue lagi gak terima saran. Gue lagi belajar, Fan."

"Tapi ini rumah gue! Pulang sana! Lo, tuh, makin ke sini jadi nyebelin. Lebih nyebelin dari Karel. Pulang!" Wajah Fanala memerah.

"Oke, oke." Gathan menyerah. Ia meletakkan camilannya. Bangkit berdiri, dengan kedua tangan terangkat. "Gue pulang."

Fanala hanya mendelik padanya, lalu kembali makan. Berbeda sekali dengan ia yang biasanya dewasa dan tenang. Gadis pintar seperti Fanala ternyata bisa kekanakkan dan emosional seperti ini. Menggemaskan.

Ketika sampai di ambang pintu, Gathan berbalik bersama senyum simpul di wajahnya.

"Fan?"

Fanala menoleh sekilas.

"Apa enaknya, sih, patah hati sendirian?"

"Pulang aja sana," suara Fanala kalem kini menanggapi.

Gathan hanya menggangguk kecil. "Jangan kebanyakan makan mie mentah, nanti kena typus, loh. Double sakitnya. Kan gak ada untungnya. Dan... lo bilang setiap kesempatan itu harus dimanfaatin dengan baik supaya menguntungkan, kan? Patah hati itu juga kesempatan. Lo gak sadar?"

"Kesempatan buat apa?" tanya Fanala skeptis. Menenggak susu UHT kotak besar tanpa menuangnya ke gelas.

"Kesempatan buat behenti natap punggung orang yang gak akan pernah berbalik buat natap lo. Kesempatan buat natap orang lain."

"Uhuk... uhuk!" Fanala tersedak.

***

Pagi hari yang cerah. Sinar matahari masuk menerangi kamar Fanala yang tak luas namun penuh dengan buku yang bahkan bertumpuk-tumpuk di lantai. Gadis itu tengah bersiap ke kampus. Tangannya begerak lincah menyimpul tali dari sepasang sepatu berwarna putih yang ia pinjam pada Karel sejak pertama kali benda itu di beli dan tak ada niat untuk mengembalikannya. Keuntungan punya sahabat yang kakinya seukuran dengan kita.

Memikirkan tetang keuntungan, ia teringat ucapan Gathan semalam. Bila memang patah hati merupakan keuntungan, ini keuntungan yang sangat menyakitkan.

Fanala menghela napas dalam sembari menyandang ranselnya. Ia mematut diri sejenak sebelum pergi keluar, untuk menanti Karel yang katanya tak lama lagi akan datang.

Pertama Fanala menyambar sebungkus roti dari atas meja yang berantakan dan menggigitnya beberapa kali sebelum ganti meraih kotak plester luka. Ditariknya keluar setengah dari jumlah plester itu lalu membagi dua. Ia mengembalikan sisa plester yang masih di dalam kotak ke atas meja dan sekali lagi menggigit rotinya.

Seraya mengunyah, ia tak sengaja menjatuhkan pandangan pada benda putih terikat pita yang sedikit tersembunyi di sudut sofa. Keningnya mengernyit.

Gathan meninggalkannya lagi?

Terdengar deru motor dari kejauhan. Karel. Fanala meninggalkan ruang utama rumahnya dan menghilang di balik pintu yang terkatup rapat. Tak berapa lama terdengar percakapan dua sahabat itu dari luar.

"Plaster luka gue masih banyak, La. Lo yang pakek ajalah. Buat plesterin hati."

Suara tawa Karel terdengar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status