Elena duduk di dalam ruangan suram yang dinginnya merasuk ke tulang. Tempat ini tak ubahnya penjara bawah tanah—gelap, berbau lembap, dengan dinding batu yang dingin dan lantai yang kotor. Kaki dan tangannya diikat erat, membuatnya nyaris tak bisa bergerak.
Di kedua sisinya, dua prajurit berdiri tegap, wajah mereka tanpa ekspresi. Elena tahu, bahkan jika ia berhasil melepaskan diri dari ikatan ini, ia tidak akan bisa lolos begitu saja.
Kesalahpahaman ini sudah keterlaluan.
Baru beberapa saat lalu, ia dibawa ke kerajaan Greyhurst, dituduh sebagai pelaku pembantaian yang sama sekali bukan perbuatannya. Dan kini, di depannya, Jay Ravenscar duduk dengan santai, kaki kirinya bertumpu pada lutut kanannya, tatapannya dingin dan tajam, seolah bisa menembus kebohongan sekecil apa pun.
Elena menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku bersungguh-sungguh, bukan aku yang melakukannya," katanya dengan nada tegas setelah selesai menjelaskan kronologi kejadian tadi.
Jay tak langsung menanggapi. Salah satu prajuritnya maju, menyerahkan beberapa dokumen padanya. Mata Jay menyusuri tulisan-tulisan di atas kertas itu sebelum kembali melirik Elena.
"Elena Everleigh, usia 20 tahun, putri dari kerajaan Virelia. Pindah dari kerajaan itu setelah orang tuanya tiada. Pekerjaan sebelumnya... pembunuh bayaran."
Suara Jay terdengar santai, tetapi isi ucapannya membuat mata Elena membulat.
Apa?!
Dalam hitungan jam sejak mereka bertemu, pria ini sudah menggali informasi yang bahkan tidak seorang pun tahu. Masa lalunya adalah rahasia yang ia sembunyikan dengan sangat baik.
Elena menelan ludah. Orang di depannya ini gila. Berbahaya.
Jay mengangkat alisnya, "Sekarang, bagaimana mungkin aku percaya pada seorang pembunuh bayaran?" katanya sambil menyerahkan kembali dokumen itu kepada prajuritnya.
Sial. Bahkan pria itu sama sekali tidak mendengarkan penjelasannya tadi.
Jay menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kerajaan Blackthorn memintaku untuk menyingkirkan para penjahat di distrik-distrik mereka," katanya dengan nada santai. "Mungkin saja kau salah satunya."
Elena mengepalkan tangannya yang terikat, menahan amarah. "Aku bisa menggambarkan pelakunya! Aku melihatnya dengan jelas!" serunya penuh keyakinan.
Jay menatapnya lama, lalu sudut bibirnya terangkat sedikit. "Baiklah. Bawakan kanvas dan alat tulis padanya."
Salah satu pelayan segera mengambilkan kanvas dan pensil, lalu membuka ikatan tangan Elena. Gadis itu langsung merenggangkan jemarinya sebelum mengambil pensil dan mulai menggambar. Setiap detail yang diingatnya dituangkan ke dalam goresan-goresan cepat.
Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikannya.
Pelayan di sampingnya mengambil hasil gambarnya dan menyerahkannya pada Jay.
Elena menyilangkan tangan di dadanya dan menatap Jay penuh harap. "Sekarang, kau bisa mencarinya dan membuktikan kalau aku hanyalah orang yang kebetulan lewat tadi."
Jay mengamati gambar itu dengan ekspresi tak terbaca. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, "Baiklah. Aku akan mencari orang ini dan melihat siapa pelaku sebenarnya. Tapi..."
Elena menyipitkan mata. "Tapi apa?"
Jay menatapnya tajam. "Kau harus memberikan jaminan."
Elena mengangkat alisnya, lalu mendengus. "Jaminan? Apa ini lelucon? Aku tidak bersalah, dan sekarang kau meminta jaminan?!"
Jay tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di sana. "Aku beri kau dua pilihan."
Elena menggertakkan giginya. Ia benci perasaan di mana ia tidak memiliki kendali atas situasi.
"Pertama, kau tetap di sini, di penjara bawah tanah ini, tanpa makanan selama seminggu. Dengan catatan, kau akan dianggap sebagai pembunuh."
Elena menahan napas.
"Atau kedua," Jay melanjutkan, "kau menjadi jaminan selama penyelidikan berlangsung."
Elena mengepalkan tangannya. Pilihan macam apa ini?!
Jay mencondongkan tubuhnya sedikit. "Jika kau tidak menjawab dalam tiga detik, aku akan menganggap kau memilih pilihan pertama."
Elena menghela napas panjang. "Sial," gumamnya pelan. Lalu, dengan berat hati, ia berkata, "Baiklah. Aku pilih pilihan kedua. Tapi jaminan apa yang bisa kuberikan? Aku tidak punya apa-apa sekarang. Lagipula, aku sudah lama meninggalkan pekerjaan sebagai pembunuh bayaran."
Jay menyeringai kecil. "Mudah saja."
Elena merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
"Jadilah pelayan pribadiku dan adikku selama pencarian ini berlangsung," ujar Jay santai. "Dengan begitu, aku bisa mengawasi setiap gerak-gerikmu."
Mata Elena membelalak.
Apa?!
•─────•♛•─────•
Jay berjalan santai menyusuri koridor istana, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Di belakangnya, Elena mengikuti dengan diam-diam, matanya sibuk mengamati keindahan arsitektur kerajaan Greyhurst.
Ia harus mengakui, kerajaan ini jauh lebih megah dibanding Virelia, tanah kelahirannya yang kini tinggal kenangan. Pilar-pilar tinggi berukiran detail, lampu gantung kristal yang berkilauan di langit-langit, serta jendela besar dengan kaca patri yang menampilkan berbagai kisah peperangan.
Elena hampir tenggelam dalam kekaguman ketika tiba-tiba Jay berhenti di depan sebuah pintu. Tanpa menoleh, ia berbicara dengan nada tegas.
"Ini kamarmu. Ganti pakaian pelayan dan segera datang ke ruanganku."
Elena mengangguk patuh, tetapi kemudian menyadari satu hal. "Tunggu, di mana ruanganmu?" tanyanya, merasa bahwa istana ini terlalu besar untuk bisa ia navigasi dengan mudah.
Jay menghela napas ringan, lalu menoleh sekilas. "Di ujung koridor ini, lalu belok kiri. Pintu terbesar di sana, itulah ruanganku."
Tanpa menunggu tanggapan, Jay langsung pergi begitu saja, meninggalkan Elena yang masih berdiri di depan kamarnya.
Elena membuka pintu dengan sedikit waspada, lalu melangkah masuk. Begitu melihat bagian dalam ruangan, matanya melebar tak percaya.
"Apa-apaan ini...?" gumamnya kagum.
Kamar itu jauh dari yang ia bayangkan untuk seorang pelayan. Ukurannya luas, dengan langit-langit tinggi dan tirai sutra yang membingkai tempat tidur empuk berkanopi. Ada meja rias berukir indah, rak buku penuh literatur mahal, serta balkon kecil yang menghadap taman istana.
Elena terkekeh pelan. "Bagaimana mungkin kamar semewah ini diperuntukkan bagi seorang jaminan?" katanya sambil menyentuh seprai lembut di ranjangnya.
Mungkin, menjadi "jaminan" di sini tidak seburuk yang ia kira.
Tanpa berlama-lama, ia berjalan menuju lemari besar di sudut ruangan. Begitu dibuka, isinya penuh dengan pakaian pelayan kerajaan—gaun hitam elegan dengan celemek putih khas. Elena mengambil salah satu setelan, lalu berganti pakaian.
Saat ia bercermin, sudut bibirnya terangkat.
"Bajunya benar-benar gila," katanya sambil merapikan celemeknya. "Apa semua pelayan di sini memakai pakaian semewah ini? Rasanya seperti mengenakan gaun bangsawan."
Setelah memastikan penampilannya rapi, ia segera menuju ruang kerja Duke.
•─────•♛•─────•
Begitu tiba, Elena mendapati Jay sudah duduk di belakang meja besar, menyilangkan tangan di dadanya. Tatapannya tajam, menilai setiap detail dari penampilan Elena.
"Bagus," katanya akhirnya. "Aku harap kau bisa bekerja sebaik penampilanmu."
Elena mendengus dalam hati. Cih, aku bukan pelayan sungguhan, tahu?
Sebelum ia sempat membalas, Jay melanjutkan, "Sebelum kita mulai, ada seseorang yang harus kau temui."
Elena mengangkat alis saat seorang gadis berjalan mendekat. Ia mengenakan gaun putih anggun, dengan rambut panjang tergerai indah dan sorot mata yang tajam namun lembut.
"Kenalkan, ini Karina Ravenscar, adikku," ujar Jay. "Mulai sekarang, kau juga akan menjadi pelayan pribadinya."
Elena langsung menundukkan kepalanya dengan hormat. Meskipun ia mantan pembunuh bayaran, darah bangsawan masih mengalir dalam dirinya, dan tata krama kerajaan tetap tertanam kuat.
"Salam kenal, Nona. Saya Elena," sapanya dengan sopan.
Karina mengangguk kecil, ekspresinya sulit dibaca. "Senang bertemu denganmu."
Jay menepuk meja pelan, mengalihkan perhatian mereka. "Baiklah. Pekerjaan pertamamu adalah membantu Karina."
Elena melirik Karina sekilas sebelum mengangguk mantap. "Baik. Saya mengerti."
Dalam hati, ia bertanya-tanya pekerjaan macam apa yang akan menantinya. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan dirinya lengah di tempat ini.
.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 ℭ𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.
Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin
Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga
Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.
Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim
Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen
Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t