Kerajaan Blackthorn adalah negeri yang luas dan penuh kontradiksi-kota pelabuhan yang sibuk, kawasan industri yang berkembang pesat, serta pemukiman kumuh yang dikuasai oleh dunia kriminal. Kejahatan tumbuh subur di distrik-distrik miskin, sementara pemerintahan yang korup hanya memperparah ketimpangan sosial. Elena Everleigh tiba di kota ini dengan harapan menemukan pekerjaan yang layak, namun malah terjebak dalam kerasnya kehidupan jalanan. Suatu malam, ia menemukan sekelompok pria tergeletak tak sadarkan diri di gang sempit, tubuh mereka berlumuran darah. Saat hendak menolong, ia justru berhadapan dengan seorang pria misterius yang melarikan diri setelah menyerangnya. Keadaan semakin buruk ketika Jay Ravenscar, Duke dari Duchy of Greyhurst sekaligus pahlawan perang yang disegani, muncul dan menuduhnya sebagai pelaku. Meskipun Sera bersikeras bahwa ia tidak bersalah, Jay tidak mudah percaya. Dalam sekejap, ia ditangkap oleh pasukan Greyhurst. Kejadian itu membuat hidupnya sangat berubah. cover background by pinterest
Lihat lebih banyakKingdom of Blackthorn—sebuah kerajaan luas yang terbagi ke dalam berbagai distrik. Kota-kota pelabuhan yang sibuk, kawasan industri yang berkembang pesat, serta pemukiman kumuh yang penuh sesak dengan penduduk. Perdagangan dan industri maju dengan pesat, tetapi ketimpangan sosial yang mencolok menciptakan jurang besar antara kaum kaya dan miskin.
Di distrik-distrik miskin, kejahatan terorganisir tumbuh subur. Gang-gang kriminal menguasai jalanan, memperdagangkan barang selundupan dan obat-obatan terlarang. Gilda pencuri dan pemerasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bahkan, lambang kerajaan ini—tiga duri hitam yang membentuk perisai—melambangkan bagaimana kejahatan berakar kuat di tanah ini.
Pemerintahan lemah. Pejabat-pejabat yang korup hanya peduli pada kantong mereka sendiri, memberi ruang bagi dunia bawah untuk berkembang tanpa kendali.
Elena Everleigh melangkah keluar dari sebuah bar dengan langkah santai, meski pikirannya jauh dari kata tenang. Angin malam menusuk kulitnya, sementara jalanan sempit yang dilewatinya hanya diterangi beberapa lampu redup yang kelap-kelip.
Ia menghela napas panjang, menyibakkan rambut panjangnya yang sedikit berantakan.
"Kenapa aku bisa berakhir di kota ini?" gerutunya dalam hati.
Seminggu lalu, ia tiba di sini dengan harapan menemukan pekerjaan yang layak. Namun, kota ini tidak ramah bagi orang sepertinya. Banyak penipuan. Banyak orang mencoba memanfaatkan pendatang baru sepertinya. Jika saja ia tidak meninggalkan pekerjaannya yang lama, mungkin hidupnya akan jauh lebih baik daripada ini.
Saat melewati gang sempit, suara pukulan yang menggema menarik perhatiannya. Nalurinya langsung waspada. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekati sumber suara itu, menyelinap di antara bayangan bangunan tua.
Matanya membelalak ketika melihat beberapa orang tergeletak tak sadarkan diri, tubuh mereka berlumuran darah. Tapi yang lebih mengejutkan adalah sosok pria yang masih berdiri, memukuli seseorang yang tampaknya masih sadar.
Tanpa berpikir panjang, Elena berteriak, "Hei! Apa yang kau lakukan?!"
Pria itu menoleh, tatapannya tajam dan penuh amarah. Ia melepaskan orang yang dipukulnya—korban itu jatuh ke tanah dan langsung pingsan.
Tanpa peringatan, pria itu melesat ke arahnya, melayangkan tinju.
Refleks Elena bekerja cepat. Ia menangkap pergelangan tangan pria itu dan membantingnya ke tanah dengan gerakan cekatan.
"Hah, dasar lemah," gumamnya, mengibaskan tangan seolah itu hal sepele.
Namun, pria itu ternyata lebih licik dari yang ia kira. Dalam sekejap, ia menginjak kaki Elena dengan keras.
"Ugh!" Elena mengerang kesakitan dan tanpa bisa mencegahnya, pria itu segera melarikan diri ke dalam kegelapan.
"Sial, dia kabur," desisnya.
Ia menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke korban-korban yang tergeletak. Rasa ibanya muncul.
Dengan langkah pelan, ia mendekati tubuh yang tergeletak satu per satu. Beberapa benar-benar tidak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka.
"Kasihan..." pikirnya.
Saat ia berjongkok untuk memeriksa korban terakhir—pria yang baru saja pingsan—tiba-tiba ada tangan yang menyentuh bahunya.
Tanpa pikir panjang, Elena meraih tangan itu, bersiap menguncinya seperti yang biasa ia lakukan terhadap lawan-lawannya. Namun, sebelum ia bisa melakukan gerakan sepenuhnya, orang itu lebih cepat. Dalam hitungan detik, tangannya sudah dikunci, membuatnya tak bisa bergerak.
"Ugh!" Elena mengerang dan menoleh, siap menyerang. Namun, tatapannya langsung berubah kaget saat melihat wajah pria yang menahannya.
Jay Ravenscar.
Duke dari Duchy of Greyhurst.
Pahlawan perang yang mengubah kerajaannya menjadi kekuatan besar yang disegani.
Tidak ada satu pun orang di kerajaan ini yang tidak mengenalnya.
Namun, yang jadi pertanyaan—kenapa dia ada di sini?
Tatapan Jay dingin, penuh kewaspadaan. Ia melirik para korban yang tergeletak di sekitar mereka, lalu kembali menatap Elena dengan ekspresi tajam.
"Apa kau yang melakukan ini?" suaranya rendah, tetapi cukup untuk membuat suasana semakin menegangkan.
"Apa?" Elena membelalak. "Tidak! Bukan aku yang melakukannya!" ia buru-buru membela diri.
Jay menyipitkan mata, masih mencengkeram tangannya erat. "Dari gerakanmu yang hampir berhasil mengunci pergerakanku, jelas kau bukan orang biasa. Kau terbiasa bertarung."
Elena terdiam sesaat. Ia tidak bisa menyangkal itu. Dulu, ia memang sering menghajar orang-orang—tapi itu dulu.
"Itu memang benar..." katanya akhirnya. "Tapi bukan aku pelakunya! Orangnya sudah kabur—baru saja."
Jay tidak terlihat terkesan. "Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja?"
Elena mendengus frustrasi. "Aku bersumpah, itu bukan aku!"
Suara langkah kaki mendekat. Beberapa prajurit berpakaian khas pasukan Greyhurst muncul di ujung gang.
Elena mulai merasa tidak enak.
Jay melirik bawahannya sejenak sebelum mengeluarkan perintah dingin.
"Bawa dia."
"Tunggu! Aku tidak bersalah!" protes Elena ketika Jay mendorongnya ke arah pasukannya.
Namun, tak ada gunanya. Dalam sekejap, tangannya telah diikat.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia harus segera meluruskan semua ini—sebelum terlambat.
.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 â„𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.
Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin
Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga
Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.
Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim
Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen
Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen