Home / Romansa / The Thorned Kingdom / 02. Pesta Minum Teh dan Seorang Teman

Share

02. Pesta Minum Teh dan Seorang Teman

Author: sweetwaterr_
last update Last Updated: 2025-03-13 14:00:02

Kamar yang luas dan megah terbentang di hadapan Elena, penuh dengan keanggunan dan kemewahan yang menakjubkan. Tirai beludru biru muda menggantung dengan anggun di jendela besar, sementara lampu kristal berkilauan di langit-langit. Setiap detail ruangan memancarkan kemewahan yang hanya dimiliki oleh seorang bangsawan tinggi.

Elena berdiri di ambang pintu, matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Sebanyak apa pun ia melihatnya, pesona kamar ini seolah tidak pernah luntur.

Di tengah ruangan, Karina duduk dengan anggun di sebuah kursi empuk di depan ranjangnya. Tatapan matanya tajam, meneliti gadis yang kini berdiri tegap di hadapannya-menunggu perintah dengan sikap hormat.

Karina menghela napas pelan, menyilangkan tangannya di dada. Ekspresinya menunjukkan ketidaktertarikan, bahkan sedikit keengganan.

"Aku tidak tahu apa yang dipikirkan kakakku hingga tiba-tiba menunjukmu sebagai pelayan pribadiku," ucapnya, nada suaranya datar namun tajam. "Tapi ingat ini baik-baik... Tidak ada seorang pun yang tahan dengan sikapku. Bahkan para pelayan pribadiku sebelumnya lebih memilih keluar daripada harus bekerja di bawahku."

Elena tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau keraguan. Dengan nada tegas dan penuh keyakinan, ia menjawab, "Saya siap menerima perintah apa pun, Nona."

Karina menaikkan satu alis, sedikit terkejut dengan ketegasan gadis itu.

Namun, Elena tidak asal berbicara. Setelah ia kehilangan segalanya-kerajaan, status, dan kebebasannya-hidup telah memberinya lebih banyak cobaan daripada yang bisa ia hitung. Dari kelaparan, kesulitan bertahan hidup, hingga nyawanya yang nyaris melayang di berbagai situasi berbahaya. Dibanding semua itu, menjadi pelayan seorang bangsawan hanyalah tantangan kecil.

Karina menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil.

"Bagus. Aku juga berharap banyak darimu."

Setelah mengamati Elena sekali lagi, Karina akhirnya bersandar sedikit ke kursinya, nada suaranya lebih santai.

"Hari ini kau tidak perlu melakukan apa pun. Kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah. Tapi mulai besok, aku ingin kau menjalankan tugasmu dengan baik sebagai pelayanku."

Elena menundukkan kepalanya dengan hormat. "Baik, Nona."

Tanpa membuang waktu, ia berbalik dan berjalan keluar dari kamar Karina.

Saat menutup pintu di belakangnya, Elena menarik napas dalam-dalam, membiarkan dirinya tersenyum kecil.

"Baiklah, kita lakukan yang terbaik besok agar aku bisa segera keluar dari sini," gumamnya dengan penuh percaya diri sebelum melangkah menuju kamarnya.

•─────•♛•─────•

Pagi itu, uap hangat memenuhi ruangan mandi yang dipenuhi aroma bunga lavender. Air di bak besar beriak pelan saat Elena dengan hati-hati menyiramkan air ke rambut Karina. Jemarinya yang terlatih bergerak lembut, memastikan rambut panjang sang nona bersih dari sisa-sisa sabun yang wangi.

Karina menutup matanya, menikmati setiap sentuhan yang begitu nyaman.

"Bagus juga kerja mu," ujarnya dengan nada puas. "Apa sebelumnya kau pernah menjadi pelayan?"

Elena tersenyum kecil, jemarinya masih sibuk menyisir rambut Karina dengan jari-jari. "Ini pertama kalinya, Nona. Tapi saya tahu bagaimana cara melayani bangsawan dengan baik."

Karina membuka matanya dan menoleh sedikit ke arah Elena. "Oh?" Ada ketertarikan dalam nada suaranya.

Elena tetap tenang. Ia tahu bagaimana rasanya berada di posisi Karina-dimandikan dan dirawat oleh para pelayan setiap harinya. Meskipun statusnya kini berubah, pengalamannya sebagai mantan bangsawan tetap melekat.

Selesai membilas rambut Karina, Elena mengambil handuk lembut dan menyerahkannya dengan hormat. "Sudah selesai, Nona."

Karina menerima handuk itu dan berdiri dengan anggun. Elena sigap mengambil jubah mandi dan membantunya mengenakannya sebelum mereka berjalan ke ruang ganti.

Di dalam ruang ganti yang luas dan penuh dengan berbagai pilihan gaun mewah, Elena bergerak cekatan. Ia menelusuri rak-rak pakaian dengan tatapan tajam, memilihkan gaun yang menurutnya paling cocok untuk Karina hari ini.

"Yang ini," katanya akhirnya, mengangkat gaun putih dengan detail renda yang elegan. "Warna ini akan membuat Anda terlihat lebih anggun dan lembut."

Karina mengamati gaun itu sejenak sebelum mengangguk. "Pilihanku juga akan jatuh pada ini."

Elena tersenyum kecil, merasa puas karena seleranya sesuai dengan sang nona. Dengan cekatan, ia membantu Karina mengenakan gaun itu, mengikat korset dengan pas, lalu memastikan semua detail tampak sempurna.

Saat Karina duduk di depan meja rias, Elena mulai menata rambutnya dengan teliti. Ia mengepang beberapa bagian dan menyematkan beberapa pin perak yang berkilau.

"Sempurna," gumamnya pelan setelah selesai.

Karina menatap refleksi dirinya di cermin dan tersenyum tipis. "Kau cukup berbakat untuk seseorang yang baru pertama kali menjadi pelayan."

Elena hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.

Tiba-tiba, Karina membuka suara lagi. "Aku ada pesta minum teh hari ini. Kau mau ikut?"

Elena sedikit terkejut, namun segera menyembunyikan ekspresinya. Pesta teh di kalangan bangsawan bukan sekadar minum teh dan berbincang santai. Itu adalah ajang sosial, tempat mereka memperlihatkan status, mencari aliansi, atau bahkan mengadu kekuatan dalam permainan politik halus.

"Jika Anda mengizinkan saya, saya akan ikut, Nona." Jawabnya dengan sopan, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya.

Karina melirik Elena dari atas ke bawah. Matanya tertuju pada gaun pelayan yang basah di beberapa bagian akibat air dari sesi mandi tadi.

"Tapi sebelum itu," katanya, "kau harus mengganti bajumu. Aku sudah menyuruh pelayan lain menyiapkan kereta kuda. Temui aku di bawah setelah kau siap."

Elena menundukkan kepala dengan hormat. "Baik, Nona."

Saat Karina beranjak pergi, Elena menarik napas dalam. Ia tahu, pesta teh ini mungkin akan lebih rumit dari yang terlihat.

•─────•♛•─────•

Kereta kuda melaju dengan tenang di sepanjang jalan berbatu menuju Kerajaan Vespera. Di dalamnya, hanya ada keheningan. Karina duduk di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi bosan, sementara Elena diam menikmati perjalanan, membiarkan derap kaki kuda dan goyangan lembut kereta menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan kecil itu.

Tiba-tiba, Karina memecah kesunyian. "Apa ini pesta teh pertamamu?" tanyanya tanpa berpaling dari jendela.

Elena menoleh sekilas, lalu menjawab dengan tenang. "Tidak, Nona. Saya sudah beberapa kali menghadiri pesta seperti ini."

Karina menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Oh ya?" Ada sedikit ketertarikan di matanya, seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang menarik tentang pelayannya.

Namun, sebelum Karina sempat bertanya lebih lanjut, kereta mereka telah sampai di gerbang istana Vespera.

Elena turun lebih dulu, lalu dengan anggun menyodorkan tangannya kepada Karina. "Silakan, Nona."

Karina menerima uluran tangan itu tanpa ragu. "Terima kasih."

Mereka berjalan melewati gerbang utama, menuju taman istana yang sudah dipenuhi oleh para bangsawan. Gelak tawa, suara obrolan ringan, serta alunan musik lembut dari musisi istana menciptakan suasana yang hangat dan elegan.

Namun, Karina menghela napas panjang.

Elena, yang berjalan di sampingnya, menoleh dengan sedikit khawatir. "Ada masalah, Nona?"

"Aku hanya akan berbincang sebentar, lalu pulang," jawab Karina dengan nada datar. "Aku tidak suka pesta seperti ini."

Elena mengangguk paham. Tidak semua bangsawan menikmati pesta teh, terutama jika itu hanya ajang pamer dan politik sosial.

Saat Karina melangkah masuk ke area pesta, seluruh perhatian langsung tertuju padanya. Gaunnya yang elegan dan kehadirannya yang berkelas membuatnya menjadi pusat perhatian dalam sekejap.

Seorang wanita dengan gaun berwarna biru muda segera mendekatinya dengan senyum cerah. "Lady Karina, akhirnya Anda datang!" serunya. Itu adalah Julia, tuan rumah pesta teh ini.

Karina menundukkan kepalanya sedikit, tanda penghormatan. "Maaf, aku sedikit terlambat."

"Tidak masalah, aku senang kau datang." Julia melirik ke arah Elena yang berdiri di belakang Karina. Matanya menyipit, meneliti gadis itu dari kepala hingga kaki. "Sepertinya Lady memiliki pelayan baru?"

Elena tetap berdiri dengan tenang, tetapi tatapan dari para bangsawan lain mulai terasa tidak nyaman.

Karina, yang menangkap situasi itu, segera mengambil keputusan. "Elen, kau boleh pergi. Jalan-jalan di sekitar sini juga tidak apa-apa."

Elena memahami maksud Karina-ia tidak ingin pelayannya menjadi pusat pembicaraan. Dengan sopan, ia membungkuk. "Baik, Nona."

Tanpa membuang waktu, Elena meninggalkan area pesta dan mulai berjalan di sekitar taman istana. Aroma bunga mawar dan melati memenuhi udara, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain.

Sampai sesuatu menarik perhatiannya.

Di balik salah satu pohon besar, ia melihat seekor anak kucing berbulu abu-abu.

Elena segera menghampiri dan berjongkok. Tangannya dengan lembut mengelus kepala si kucing kecil. "Hai, Kitty." katanya dengan suara lembut.

Namun, sebelum ia bisa bermain lebih lama, angin bertiup kencang, menerbangkan rambut panjangnya. Si kucing tiba-tiba berlari menjauh, menghilang di balik semak-semak.

Elena menghela napas dan hendak berdiri kembali, tetapi-

Suara pedang yang ditarik dari sarungnya terdengar di belakangnya.

Refleksnya langsung bekerja. Elena berbalik dengan cepat, matanya membelalak saat melihat mata pedang berkilau hanya beberapa inci dari wajahnya.

Sial!

Dengan sigap, ia menyelinapkan tangan ke kaus kakinya, menarik keluar pisau kecil yang selalu ia bawa. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat pisau itu, menangkis serangan dan membuat pedang sedikit menjauh darinya.

Dari balik bilah pedang, seorang pria muda dengan rambut perak dan mata tajam menatapnya dengan terkejut.

"Wow," katanya, menarik kembali pedangnya sedikit. "Aku kira kau hanya pelayan biasa."

Elena menegakkan tubuhnya, mencoba mengenali sosok di depannya. Saat cahaya matahari mengenai wajah pria itu, matanya melebar.

"S-Sunghoon?!" serunya kaget.

Sunghoon juga tampak sama terkejutnya. "Elena?"

Keduanya saling menatap selama beberapa detik sebelum Sunghoon menyarungkan kembali pedangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, masih tak percaya.

Elena buru-buru membersihkan rok pelayannya, merasa sedikit canggung. "Ada kejadian yang membuatku terjebak jadi pelayan." jawabnya singkat.

Mata Sunghoon membulat sebelum akhirnya dia tertawa pelan. "Kau? Jadi pelayan?" kekehnya, seakan sulit mempercayai kenyataan itu.

Elena hanya memutar bola matanya malas. "Tertawalah sepuasmu."

Sunghoon masih menyeringai, tetapi matanya memperhatikan Elena dengan lebih serius. "Jadi... kau benar-benar bekerja di sini sekarang?"

Elena mengangguk. "Untuk sementara."

Sunghoon menghela napas dan menyelipkan pedangnya ke sarungnya dengan santai. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

Elena tersenyum tipis. "Aku juga."

Sunghoon adalah teman masa kecilnya di Virelia. Setelah Elena meninggalkan kerajaan itu, mereka hanya bertemu beberapa kali ketika Elena menjalankan pekerjaannya di berbagai tempat.

Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut lebih jauh, Elena melirik ke arah pesta. Ia sudah terlalu lama pergi dari sisi Karina.

"Aku harus segera kembali, Sunghoon." katanya, menatapnya dengan maaf.

Sunghoon menyipitkan mata. "Tapi aku masih ingin mengobrol denganmu." protesnya.

Elena tersenyum kecil. "Lain kali kita bertemu, aku akan mengirimkan surat padamu."

Sunghoon menghela napas, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Jangan lupa janjimu."

Dengan itu, Elena berbalik dan berjalan kembali ke pesta, meninggalkan Sunghoon yang masih berdiri di bawah pohon, menatapnya pergi dengan tatapan yang sulit ditebak.

•─────•♛•─────•

Elena kembali ke area taman dengan langkah tenang, tetapi matanya segera menangkap ekspresi Karina yang tampak muak dan bosan.

Di sekelilingnya, para bangsawan masih sibuk dengan obrolan mereka, salah satunya bertanya dengan nada penuh minat. "Lady Julia, apa yang Anda lakukan akhir-akhir ini?"

Julia tersenyum anggun. "Oh, saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Saya membantu Ayah mengurus beberapa urusan kerajaan, dan juga banyak melakukan aktivitas di luar ruangan."

Kemudian, dengan nada yang lebih halus tetapi penuh sindiran, ia melirik ke arah Karina. "Tentu saja, saya tidak hanya berdiam diri di kamar dan menjadi antisosial karena keegoisan saya sendiri. Itu hanya akan membuat saya kesepian dan tidak memiliki teman, bukan?" Julia terkekeh kecil, tetapi nadanya jelas penuh ejekan.

Para bangsawan lainnya ikut tersenyum tipis, seakan menikmati sindiran halus tersebut.

Karina menoleh perlahan ke arah Julia, ekspresinya masih tenang tetapi matanya berkilat dingin. Dengan nada santai, ia membalas, "Setidaknya berdiam diri di rumah tidak membuat saya menjadi penggosip yang menyebarkan rumor ke sana kemari."

Seketika, wajah Julia berubah merah padam. Ia menatap Karina dengan marah. "Apa yang kau bilang?!" suaranya meninggi, menarik perhatian banyak tamu.

Julia kini bangkit dari tempat duduknya, mengepalkan tangannya dengan penuh amarah. "Apa hebatnya berdiam diri di rumah, hanya duduk di kamar sambil membiarkan temanmu kesulitan tanpa pernah membantunya? Apa kau pikir hidupmu hanya tidur seharian? Pantas saja kau tidak punya teman!"

Pesta yang tadi hangat dengan musik dan percakapan kini terasa tegang. Para bangsawan lainnya mencoba menenangkan Julia, tetapi kemarahannya sudah membara.

Karina bangkit dari kursinya, kedua tangannya mengepal. Matanya menatap Julia tajam, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Elena melangkah maju dengan tenang.

"Saya rasa itu tidak benar." Suaranya lembut tetapi tegas, menarik perhatian semua orang. "Nona Karina tidak hanya berdiam diri di rumah. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar menjadi seorang pebisnis yang handal. Saya rasa rumor yang mengatakan bahwa beliau hanya tidur seharian adalah sesuatu yang sangat tidak berdasar."

Para tamu mulai berbisik-bisik, beberapa tampak terkejut dengan pembelaan Elena.

Julia mendelik ke arahnya dengan ekspresi marah. "Berani sekali seorang pelayan rendahan sepertimu ikut campur?!"

Elena tetap tenang. "Sebagai pelayan pribadi Nona Karina, saya juga memiliki hak untuk berbicara, terutama jika itu menyangkut majikan saya. Lagipula, saya dibayar untuk melindungi dan mendukungnya."

"Tch!" Julia mendengus kesal, jelas tidak bisa membalas. Dengan amarah yang masih membara, ia menoleh ke teman-temannya. "Kita pergi dari sini."

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan pergi, diikuti oleh teman-temannya yang tampak canggung.

"Tunggu kami, Nona!" salah satu dari mereka bergegas mengejar Julia.

Kini suasana kembali sunyi, tetapi ada ketegangan yang masih tersisa di udara.

Elena menoleh ke Karina dan dengan lembut menggenggam tangannya. "Ayo kita pulang, Nona. Anda bisa kelelahan jika terlalu lama di sini."

Karina menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Baiklah, kita pergi."

•─────•♛•─────•

Perjalanan Pulang

Kereta kuda berderak pelan di jalanan berbatu, membawa mereka kembali ke istana.

Karina duduk dengan kepala tertunduk, jelas masih memikirkan kejadian tadi. Sementara itu, Elena duduk di seberangnya, merasa sedikit canggung untuk memulai pembicaraan.

Setelah beberapa saat sunyi, suara lirih terdengar.

"Terima kasih, Elen..." suara Karina hampir seperti bisikan.

Elena menoleh dan tersenyum lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Nona. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga Anda."

Karina mengeratkan genggamannya di pangkuan. Matanya menatap ke bawah, seolah sedang berusaha mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan suara yang sedikit bergetar, ia bertanya, "Apa... kamu mau jadi temanku?"

Elena sedikit terkejut, tetapi kemudian terkekeh lembut. Ia menatap Karina dengan penuh kehangatan. "Tentu saja, Nona. Saya mau."

Wajah Karina bersemu merah, tetapi ada sedikit senyuman kecil yang muncul di sudut bibirnya.

Kereta terus melaju di bawah langit senja, membawa awal dari sebuah persahabatan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 ℭ𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Thorned Kingdom   17. Jebakan di Jantung The Shattered Empire

    Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin

  • The Thorned Kingdom   16. Bayangan di Negeri yang Retak

    Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga

  • The Thorned Kingdom   15. Permainan Bayangan yang Dimulai

    Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.

  • The Thorned Kingdom   14. Tatapan yang Membuat Gila

    Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim

  • The Thorned Kingdom   13. Perhatian yang lebih

    Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen

  • The Thorned Kingdom   12. Ledakan yang Mengusik Malam

    Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status