Herman tersadar, tubuhnya terbaring bersama reruntuhan dinding sekolah. Karena bagain belakang sekolah dipenuhi kebun, maka tidak ada kerusakan lain yang timbul. Mata Herman sempat merasakan perih, namun sepertinya dikarenakan darah yang keluar dari kepalanya mengalir ke wajahnya.
"Gue terlalu meremehkan Terak tersebut. Tapi sekarang gue dimana? Bagaimana gue bisa disini.." Herman berusaha bangkit, tangan kirinya yang digunakan sebagai inang photon kini sudah sepenuhnya lumpuh, menggantung di samping Herman.
"Kap..ten, Herman.." terdengar suara pelang yang berusaha memanggil nama Herman. Ia langsung mengenali suara itu sebagai suara Gani.
"Gani! Gani! lo dimana?" sahut Herman sambil mencar-cari di antara reruntuhan dinding sekolah. Di tengah gelap kebun itu, Herman melihat sebuah lengan mengacung, seolah memberi tanda.
"Gani!" tanpa pikir panjang, Herman segera berjalan cepat dengan tertatih mengejar lengan tersebut. Namun, belum jauh melangkah, perge
Melihat salah satu tanduknya yang terpotong rapi, membuat Shabnock naik pitam. Di detik yang sama, mereka yang bertarung di garis depan sudah siap melakukan serangan mati-matian. Target mereka hanya satu, mata Shabnock yang terus ditutupi oleh tangan. Listu juga menaikkan tensi melodi sehingga adrenalin para mangata meningkat hingga empat kali lipat. "Cukup! Beri saya waktu! Ludensia jahanaaamm!!" Shabnock meronta, seluruh orang kaget. Donni yang masih berpegangan dengan salah satu tanduknya ikut terlempar. Saat tangan yang digunakan untuk menutup matanya dibuka, Shabnock berusaha mencakar Nora yang berada dalam jangkauannya. Nora melihat jelas mata Shabnock, kuning bercahaya dan memberikan aura begitu kelam, hati Nora begitu gusar hingga gerakannya menjadi kian ragu. Kini, nyawanya berada di ujung tanduk. "Nora!" Jimi mengubah haluannya, ia ingin sesegera mungkin mencapai Nora. melihat gerakan yang tidak lincah, Hilman mengambil inisiatif untuk membuat tanah
Tidak ada yang menyangka jika Herman akan keluar bersama Gani di saat Marzuki akan menebas lengan Shabnock. Mungkin mereka berdua sudah membayangkan hal terburuk saat diselamatkan rantai Gita, namun begitu mereka melihat Shabnock yang masih tertahan di pinggir lapangan, Herman tidak tinggal diam. "Gani, bantu gue untuk membidik Shabnock," ujar Herman. Padahal dengan tangan yang separuh hancur, Gani saja malas melirik lengan Herman, namun ia tahu diantara mereka berdua hanya Herman yang masih memiliki kemampuan untuk menembak. "Bidik matanya, kapten," sahut Gani. Ia memang tidak kuat berdiri dengan kedua kakinya, sehingga ia memastikan dirinya bersandari di potongan dinding sehingga mampu menopang lengan Herman. "Lo bisa, Gani?" tanya Herman memastikan. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Keringat membanjiri dahi dan leher Gani, ia menahan sakit dan hanya tertawa kecil untuk menjawab pertanyaan Herman. Meski tidak memperkirakan elemen kejutan pada ser
"Kenapa gue sampai harus dikremasi?" tanya Jimi. "Soalnya lo sudah mati," jawab Afif. Jimi tahu Afif ingin meledeknya tapi ia masih butuh informasi dari Afif. "Maksud gue, kenapa dibakar? kan bisa dikubur," balas Jimi. "Mungkin orang Agora jengkel sama lo karena masih anak baru tapi kekuatannya menyamai anak kelas tiga, Ha ha ha!" tawa Afif meledak, membuat Gani kaget dan tersenyum mendengar percakapan kekanakan mereka berdua. "Lo yang cabut duluan dari lapangan harusnya dibakar duluan juga!" Jimi tersulut. "Tapi gue masih hidup," sahut Afif tidak mau kalah. "Tapi ga ada guna kalau lemah!". "Hah!" "Apalagi gue sekarang udah hidup! bakar diri pake korek api sana! Ha ha ha! Aarph" Tiba-tiba tawa Jimi oleh buah apel yang disuap seseorang dengan garpu. "Lebih baik bagi orang yang hampir mati untuk diam sambil menunggu pulih." suara itu terdengar tidak asing, seluruh orang melirik ke samping kanan Hilmi dan menemukan
"Brak!" terdengar suara benda jatuh yang berat. "Jimi! lo ga apa!?" Gani terkejut dan yakin sesuatu terjadi padanya. Namun dengan suara terbata dan berat Jimi menjawab. "Berapa lama lagi sampai evaluasi dimulai?". "j,jam sembilan malam. lima jam lagi.. lo mau apa Jimi?" Gani yang tidak membuka tirai hanya dapat menunggu jawaban yang akan muncul dari Jimi. "Lo istirahat dan pulihkan diri, sebelum jam sembilan malam kita akan keluar dari ruangan ini," balas Jimi dengan nafas yang mulai tersengal dan berat. Gani tidak yakin dengan apa yang Jimi lakukan, namun dari pola nafasnya Gani yakin Jimi sedang melakukan olahraga peregangan atau sekedar meditasi. Lampu yang sebagian sudah dimatikan membuat ruang tersebut agak temaram, namun tidak membuat ruangan tersebut ikut larut dalam kantuk. Gani sambil berbaring juga berusaha merasakan jemari kakinya, perlahan-lahan. *** Soca yang mengetahui seniornya di grupnya masuk ke bangsal perawat
"Gue malah bakalan kaget kalau ga lihat lo di sini sekarang," ucap Afif saat mendapati Afif yang menyapa Gani dan Jimi tiba-tiba. "Loh, bukannya lo lagi pacaran mesra sama Nora?" tanya Jimi dengan raut meledek. Afif paham betul pasti ia akan menjadi bahan lelucon terlebih dahulu saat bertemu mereka berdua. "Oke, silahkan serang gue dengan rasa iri kalian. Tapi, kita ga bisa lagi kesana. Ada perubahan mendadak" jawab Afif yang sekejap mengejutkan Gani dan Jimi. "Maksud lo apa Fif? semua orang diundang bukan?" tanya Jimi mencoba mengonfirmasi. "Awalnya iya, tapi sepertinya evaluasi akan berjalan tegang dan berbahaya bagi anggota Agora lain." Afif mulai melirik ke sekitar mereka seperti melihat situasi. "Terus gimana kalau kita memaksa datang? Lo pasti juga sudah ditanyai Mba Prinza kan?" timpal Gani. Afif kemudian dan membantu Jimi untuk memapah Gani, mereka berdua lantas berjalan pelan ke sebuah arah lorong. "Lo tahu kita jalan kemana f
"Kalian berdua.. lihat Afif engga? Dia melarikan diri lagi dariku," tanya Nora dengan tatapan kosong. Namun matanya terbuka lebar seperti melotot. Jika biasanya salah satu matanya yang terkena sindrom ludens tertutup rambut, kali ini seluruhnya terbuka. Wajah cantik pucatnya tertutup aura membunuh karena dikhianti. "Oh, Afif ada di.." belum selesai kalimat Gani, Jimi menginjak kakinya seperti memberi kode. Jimi melirik Gani dari ujung matanya, namun seperti data yang berpindah dalam kecepatan tinggi, Gani segera menyadarinya. Jika Nora sampai mengetahui Afif bersama perempuan lain di sebuah ruangan, siapapun perempuan itu, bisa jadi pemakaman Afif yang akan mereka kunjungi berikutnya. Gani lagi-lagi memutar isi kepala dan berusaha mencari kesempatan. Namun berhadapan dengan Nora mungkin baru kali ini ia rasakan. Melihat wajah Gani yang mulai serius membuat Nora tidak sabaran, Jimi yakin Nora mulai mencurigai mereka menyembunyikan sesuatu. "Astaga, Gan
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih, evaluasi besar sudah dimulai sementara anggota lain yang tidak dapat memasuki ruangan akhirnya memilih menunggu di Kafetaria. Pintu masuknya dijaga oleh dua orang mangata yang siap dengan shrapnel. Ada alasan mengapa evaluasi besar dilaksanakan sore hari, yaitu menunggu waktu aktivasi shrapnel yang dimulai saat sore. Karena anggota Agora seluruhnya adalah pelajar dan masih remaja, berkumpul dalam jumlah besar di sebuah tempat dapat berisiko tinggi. Maka, aturan dibuat dengan mempertimbangan aktifnya shrapnel yang bekerja mulai sore hingga pagi hari sebelum mentari naik. Kondisi ini digunakan bagi seluruh anggota untuk beristirahat dan berlatih fisik tanpa bantuan shrapnel di siang hari. Bagi mereka yang melatih fisik dengan baik akan menambah daya kemampuan turunan shrapnel. Meskipun demikian hal tersebut tidak berlaku bagi mereka yang memilih profesi penambang. Kekuatan fisik penambang secara perlahan naik karena alat menamba
Saat Jimi kembali ke ruangan, ia menemukaan Gani yang tidur pulas dengan tangan dan kaki yang diikat, persis seorang tahanan. Ia yang awalanya berniat membangunkan, namun mengurungkan niatnya khawatir Gani akan membalas dendam. Jimi sudah sangat jauh lebih baik dan besok ia belum tahu ada agenda apa yang menanti *** "Jimi! bangun! Hei Jimi!" terdengar sayup-sayup suara memanggil nama Jimi. "Hilmi! hei goblok! bangun! Kalau lo engga bangun, kami tinggal ya!" suara satu lagi terdengar dan lebih jelas, ini suara Afif. Jimi perlahan membuka matanya dan terkejut melihat kedua tangannya diborgol. Afif yang berdiri di sampingnya berteriak tentang sesuatu, namun Jimi tidak mendengarnya dengan jelas. Gani yang berada dekat pintu, justru yang lebih mengagetkan Jimi karena ia sudah bisa berjalan dengan lancar. "Loh, gani sudah bisa jalan? Hoaamm.. memang ada apa buru-buru?" tanya Jimi sambil menggaruk-garuk perutnya. Meski ia biasa bangun pagi, namun kel