Share

Bab 1 [ QUESTION ]

“Paman, apakah kita masih berkerabat dengan Klan Vampire dan Dracula?” Pertanyaan itu aku ajukan saat paman  fokus mengukir kayu di hadapannya.

            “Tentu Farrel, kita masih berkerabat dengan mereka. Kau ingin mendengar kisahku?”

            “Apa aku menganggumu, paman?”

            “Tidak, kau tidak mengangguku. Jadi apa kau mau mendengar ceritaku?”

            “Hmm.. Aku sebenarnya ingin mendengar cerita paman, tapi aku lebih ingin bermain, jadi aku bisa mendengarkan ceritamu saat makan malam. Bagaimana paman?”

            “Baik, kau harus  mendengarkan ceritaku saat makan malam Tuan Muda Farrel.” Aku tersenyum mendapat persetuan paman. Secepat kilat aku meninggalkan paman untuk bermain dengan satu-satunya teman yang aku punya.

            JANGAN LUPA TUTUP MATA KANANMU, FARREL!!. Teriakan paman ternyata cukup keras untuk didengar sampai ujung gerbang.

            Kaki kecilku berjalan dengan santai, melewati hutan dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang menghadang matahari. Udara hari ini terasa hangat meski cahaya matahari tetap tidak bisa menembus pertahanan pasukan daun rimbun dari pohon yang menjulang tinggi, mungkin tinggi pohon ini bisa mencapai sebuah istana di langit. Tidak banyak hewan yang berkeliaran di hutan, kecuali ulat-ulat dengan tubuh gemuk yang setia berada di atas lembaran daun hijau.

            Aku sedikit penasaran apakah ada tempat yang lebih indah dan berwarna dibanding hutan gelap yang kini tengah aku lewati. Jika kalian bertanya kenapa aku berpikir begitu, maka jawabannya karena aku hanya ingin tahu. Bukankah bagus jika tempat berwarna-warni itu ada, aku bisa melihat warna biru di langit, awan berbentuk permen kapas, bunga warna-warni yang indah, burung-burung dengan warna dan corak yang indah. Tidak seperti di sini, yang aku lihat hanya warna hijau, coklat, hitam, gelap, kelam, seperti tidak ada tanda kehidupan selain aku dan keluarga paman. Entah kemana semua orang pergi, aku pun bertanya tentang itu. banyak sekali pertanyaan yang ada hampir di setiap sudut otak jeniusku.

            Sepertinya aku terlalu banyak berpikir, bahkan aku tidak menyadari jika kaki kecil ini telah sampai di depan gubuk kayu tua yang masih terlihat kokoh. Aku melihat anak perempuan dengan telinga runcing tengah mengayunkan sepasang kaki kecilnya di atas pohon oak dekat gubuk kayu tua. Entah ide brilian dari mana, aku segera melempar ranting pohon kering menjaili anak perempuan dengan telinga runcing yang tengah duduk santai di atas pohon.

            “HEI, KAU JAIL SEKALI FARREL!!” anak perempuan dengan telinga runcing meloncat dengan ringan ke permukaan tanah. Melemparkan ranting lain ke arahku dengan senyum mengejek yang tampil dari bibir manisnya. “Farrel, apa kau sudah bertanya pada pamanmu?” Tanya anak perempuan dengan telinga runcing ketika ranting kayunya tepat mengenai tanganku. Dia duduk di atas tanah tanpa berpikir panjang.

            “Ah, aku sudah bertanya. Tapi paman akan menceritakannya saat makan malam.” Aku berjalan menghampiri anak perempuan dengan telinga runcing dan duduk disampingnya. “Aku iri denganmu Beat, kau tahu bangsa asalmu, kau bahkan tinggal bersama ayah dan ibumu, bergaul dengan Elf lain, pasti seru bukan? Berbeda denganku, dari mana asalku, apakah aku termasuk Klan Vampir atau Dracula atau mungkin Wolf. Sangat rumit sekali hidupku ini beat, tidak seperti hidupmu. Kau bahkan punya kekuatan sihir alami, kau juga licik dan—“

            “Dan, hei! apa kau baru saja menghinaku?” anak perempuan dengan telinga runcing memotong ucapanku dengan wajah merah mencoba menahan ledakan amarahnya karena ucapan terakhirku, wajahnya menggemaskan dengan hidung kembang kempis dan ujung telinga yang terlihat merah bergerak-gerak menahan ledakan emosi.

            “Aku hanya bercanda, ya meski itu memang faktanya. Para Elf memang licik.”

            Satu tamparan dari tangan kecil anak perempuan dengan telinga runcing itu mendarat di kepalaku cukup keras. Satu hal baru yang aku ketahui, ternyata para Elf sangat kasar bahkan berani memukul teman dengan paras tampan sepertiku. Tapi satu kekagumanku pada Elf, mereka saling menghargai satu sama lain, tak pandang bulu untuk ikut turun tangan membantu sesama Elf.

            “Ah, sudah lupakan. Mari fokus pada dirimu sekarang! Jadi apa kau sudah bertanya kenapa matamu harus selalu tertutup kain setiap keluar rumah?”

            “Belum, akan aku tanyakan saat makan malam nanti.” Mataku sibuk memandang daun-daun rimbun di atas sana. Terkadang aku ingin membuka kain penutup mata kanan ini, aku ingin tahu apa yang akan terjadi ketika penutup mata ini dilepas tapi paman selalu melarangku membukanya ketika di luar rumah.

            “Oke.. oke.. terserah dirimu saja tuan muda. Kau tahu ada festival di ujung desa dekat sungai, aku dan beberapa teman sesama Elf berencana pergi ke sana, apa kau mau ikut?”

            “Entahlah Beat, aku harus dapat izin dari paman. Kau tahu sendirilah pamanku, dia memang sering bercanda tapi terlalu takut jika menyangkut dunia luar.”

            “Hmm,, baiklah. Beritahu aku jika kau ingin ikut ya!? aku harus pulang karena sudah malam.”

            “Dari mana kau tahu ini sudah malam? Di sini memang gelap sejak pagi.”

            “Sekarang lebih gelap. Sebaiknya kau pulang, sebelum pamanmu panik seperti waktu itu. bye Farrel, aku pulang dulu!!” anak perempuan dengan telinga runcing itu perlahan pergi, gesit meloncat dari pohon satu ke pohon lainnya sampai bayangannya tidak terlihat oleh ekor mataku. Aneh, dia selalu datang dengan berjalan kaki, tapi setiap pulang selalu meloncat-loncat seperti tupai.

            Akhirnya kaki ini menurut untuk di ajak melangkah, satu langkah, dua langkah kaki kecil ini berjalan menuju rumah kayu di pojokan hutan, rumah paman. Angin sore terasa dua kali lebih dingin dari pada sebelumnya, mungkin karena suasana sudah gelap gulita banyak arwah-arwah yang saling berkejaran menembus tubuh kecilku. Hutan gelap memberikan semangat lebih jangkrik-jangrik melantunkan melodi indah, gesekan ranting menjadi penambah orkestra pada malam hari ini.

            Namanya Beatrix, temanku satu-satunya yang berasal dari Klan Elf. Lebih tepatnya satu-satunya temanku selama ini. Tidak banyak yang ingin berteman dengan orang aneh dengan bola mata berbeda, terlebih hampir semua orang yang aku temui selalu mengejekku karena kulit pucat ini. Hanya Beatrix yang mau berteman denganku, kami bertemu saat dia hendak di jahili oleh anak-anak dari Klan Wolf, katanya kaum Beatrix adalah bangsa yang lemah. Tapi aku tidak berpikir demikian, mungkin Klan Wolf lebih lemah dari pada Elf. Beatrix terlihat cantik dengan bibir tipis merah muda, kaki jenjang, dan yang paling aku suka telinga runcingnya yang tajam seperti jarum. Beatrix juga sering mengajariku mantra sihir, tapi mantra itu tidak berlaku untukku. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya bekerja sebagai pengajar sihir di sekolah khusus Elf, adiknya masih kecil, aku tidak terlalu tahu tentang adiknya karena dia jarang bercerita.

            Rumah kayu tua itu menyambut kepulangku dengan hangat, paman sudah berkumpul bersama bibi dan anak-anaknya yang tidak lain adalah sepupuku. Aku masuk ke dalam rumah kayu tua itu, udara hangat menyelimuti seluruh bagian tubuhku, nyaman. Tapi aku teringat ucapan paman bahwa bangsaku tidak akan merasakan lagi hawa maupun udara sekitar ketika sudah waktunya, ucapan itu yang menjadi asal mula ribuan pertanyaan memenuhi kepalaku, terutama tentang warna bola mataku yang berbeda? dari mana asalku? siapa ayah dan ibuku? Apakah aku punya adik atau kakak mungkin? Apakah aku seorang pangeran dari klan terkuat di dunia? Atau apakah aku anak yang terbuang dari klan terlemah? Dan ribuan pertanyaan lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status