Share

Hiding on The Moon

Bulu kuduknya berdiri, refleks ekor matanya melirik ke kiri, ia yakin bahwa seseorang itu tak akan muncul dari sebelah kanannya, karena di sana menjulang sebuah tembok. Purnama, entah kenapa wujud bulan tersebut selalu dikaitkan dengan hal yang tidak-tidak, dengan seuatu yang tak masuk akal, dengan sesuatu yang mendobrak kewarasan.

Saat ekor matanya berhasil menangkap semburat hitam, gegas ia berdiri. Memandangi sosok di depannya sesaat, menyalurkan nyala lewat mata. Tidak bisa ... ia terlalu rapuh, ia juga terkalahkan oleh rasa takut.

“Kau membunuh mereka.” Ucapannya cukup jelas meski bergetar. “Kenapa kau lakukan ...” Satu bulir air mata lolos dari pucuk mata, mengalir landai, membasahi permukaan lantai.

Sesaat, perhatiannya tertuju pada gerakan tetesan tersebut, dalam pandangannya, itu seperti bergerak dengan sangat pesan, sebelum runtuh dan saling terpisah. Baru setelahnya, tatapannya kembali naik dengan sangat perlahan. Membalas bidikan dari gadis itu dengan sama tajamnya. 

“Kau membunuh mereka, kan?!”

Masih tak menjawab. 

“Kau memang iblis!”

***

“Makanlah ... jangan seperti mayat hidup.” Lirih suaranya tidak mengantarkan perubahan apapun. Orang itu masih terdiam setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Pandangannya kosong, seakan menerawang jauh ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun. 

“Jangan menyiksa dirimu sendiri.” Menjadi tidak sabaran seperti sedia kala mungkin sangat sukar untuk waktu sekarang. Oleh karena itu, ia harus pergi, memberikan ruang juga bentuk perhatian.

“Apa yang aku sesali sebenarnya?” Suara rendahnya memulai di tengah kerontang siang. Keadaan di depannya cukup sepi, karena wilayah tersebut memang didominasi oleh perbukitan. Tubuhnya luruh, memasrahkan rumput-rumput hijau sebagai penyangga tubuhnya. Sejuk. Semilir angin datang dengan lembut, membelai surai cokelatnya, menyusup ke dalam kaos. Membelai, mereguk bagian dalam kulitnya yang mulai berkeringat.

“Aku tidak percaya akan berakhir seperti ini ....”

Jika mata memiliki nyawa tersendiri, pasti sekarang matanya sudah berkedut cepat dan pecah, tangisan tidak lagi menjadi pembuktian, tidak lagi cukup. Semalam, ia yakin tidak sedang bermimpi ... ia sangat sadar. 

Ada beberapa kali keadaan terjadi tanpa meminta izin. Tidak ada yang tahu apakah itu termasuk takdir atau bagian dari perencanaan seseorang. Hati dan nurani, dua itu, dikendalikan juga oleh emosi. Hati yang baik, tak selalunya membawa ke dalam emosi baik. 

Kepingan-kepingan, seperti reruntuhan pagar, pohon-pohon tumbang ke samping diikuti gugur buah dan daun-daunnya. Sangat berantakan. Tidak lagi mirip Taman Tenang seperti julukan para petinggi negara. Taman itu lebih mirip daerah tempat dikuburnya jasad-jasad secara paksa. Tiada lubang tanah, mayat-mayat berbaris rapi di permukaan. 

Menurut apa yang dilihatnya kala itu, sama sekali tiada aura horor. Sejauh ia menyelam, hanya ada takut dan takut. Pun ketika sebuah tangan merenggut celah di punggungnya.

Ia terperanjat.

Dia ....

Siapakah yang pernah membayangkan kilat mata tertutup kabut, berkedip secara halus seakan membuai. Entah bagaimana harus digambarkan, benarkah sosok itu tengah menekan amarah, terlihat dari urat di dagunya yang tercetak, juga jemari yang tiba-tiba sudah mengunci kedua lengan yang lemah. Gadis di bawahnya terkungkung dalam bisu, bersiap menerima sebuah objek yang segera masuk ke dalam intinya, menggiring perasaan aneh terlebih dahulu, sebelum ... matanya melebar tatkala kelemahannya tidak lagi tersisa. 

Sosok itu berhasil masuk dengan keras, mengoyak tubuh yang ringkik, menanam cinta di kandungannya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
enak banget tulisannya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status