MasukSaat pulang sekolah, Alin dan Zea sudah sepakat akan membeli perlengkapan bersama. Mencegah dari sekarang tidak ada salahnya, dari pada menyesal kemudian karena tak punya persiapan. Toko yang mereka datangi adalah toko langganan saat membeli perlengkapan mendaki gunung, toko itu tidak hanya menyediakan perlengkapan mendaki saja, ada perlengkapan ke pantai maupun perabotan rumah tangga lainnya.
Zea dan Alin masing-masing mengambil keranjang belanja. "Kira-kira butuh berapa senter Ze? Gue mau senter yang tahan berhari-hari tanpa charger, yang nyalanya terang." Tanya Alin. Zea melihat-lihat senter, kemudian mengambil senter andalannya, "ini tahan 2 hari, bisa di cas mengandalkan cahaya matahari, menurut gue ini bakal berguna banget kalau kita terombang-ambing di lautan yang gelap," Alin mengangguk setuju, kemudian mengambil 5 buah senter, Zea pun mengambil 5 buah juga. Nantinya mereka tak perlu khawatir kalau harus di charger. "Headlamp juga beli Lin, kita enggak bisa terpatok sama 5 senter tadi aja." Ucap Zea sambil mengambil headlamp 5 buah juga. Alin ikut mengambil jumlah yang sama. "Sleeping bag, jas hujan, emergency blanket, kantong air, pisau lipat, peluit, masker, sarung tangan, topi, celana dan baju anti air." Ucap Zea menghitung belanjaan di keranjang. "Gas portable butuh berapa banyak Ze, apalagi semisal buat sampai ke negara lain yang enggak punya laut, butuh berapa banyak Gas portable buat kita masak selama terombang-ambing di lautan?" Tanya Alin sambil berpikir. Zea menghembuskan nafas panjang, sebenarnya dia tak ingin bencana yang diceritakan Alin terjadi, tapi persiapan memang perlu dilakukan dengan matang. Dengan berandai-andai terombang-ambing di lautan, mereka berpikir apa yang perlu dibeli dan berapa banyak yang dibutuhkan. "Gue bakal bawa 20 gas portable, untuk makanan sendiri gue bakal banyak beli roti dan makanan instan yang enggak pakai dimasak. Gue enggak bakal masak nasi di tengah laut, yang ada gas gue keburu abis sebelum gue sampai ke tujuan." Ucap Zea. "Bener, kita harus beli banyak makanan instan." Setelah mengambil tas gunung berukuran besar, mereka menyimpan keranjang yang sudah penuh dan mengambil keranjang lain untuk ke perlengkapan pantai. "Pelampung gue butuh 3 aja, perahu karet 1 yang kapasitas 6 orang." Ucap Zea. "Kira-kira apa lagi ya Ze," ucap Alin. "Kayaknya udah, buat beli makanan gimana kalau besok aja, 'kan lo sekalian mau nginep." Ucap Zea. "Iya Ze, besok aja. Sekarang barang bawaan kita banyak banget, ini muat enggak di angkut pake motor gini," ucap Alin sedikit shock melihat 2 keranjang penuh belanjaannya. "Kita minta pake dus aja, yuk ke kasir." Setelah selesai membayar dan masing-masing mengangkut 1 dus dan 1 kantong belanja, mereka pulang ke rumah masing-masing. Rumah mereka masih di arah yang sama, jarak rumah Zea dan Alin hanya 5 menit saja. Ketika melihat Zea pulang dengan barang segitu banyaknya, Lita kaget bukan main, "ya ampun Zea! Kamu belanja apa sampai segitu banyak?" Zea terkekeh canggung, "ini perlengkapan survive Mah. Mamah enggak tahu berita sekarang yang lagi heboh, banyak kota di negara-negara lain yang tenggelam?" "Mamah tahu dari Papah kamu, tapi 'kan belum tentu kita bakal ikut tenggelam juga." "Persiapan itu perlu Mah, Zea ke kamar dulu mau bersih-bersih." Ucap Zea. "Ya sudah, nanti makan Mama udah masakin ayam goreng sambel geprek." Bukannya langsung mandi, Zea langsung packing barang-barang yang dibelinya ke tas paling gede, adapun tas sedang akan di isi makanan, jadi tak akan sulit mengeluarkan makanan maupun perlengkapan. Ya memang lebih baik persiapkan dari sekarang dari pada menyesal kemudian. Zea sendiri langsung memompa perahu karetnya dan disimpan di sudut kamar bersama perlengkapan lain yang sudah dimasukkan ke dalam carrier. Selesai menata barang-barang, Zea langsung mandi. Di rumah Alin, Alin juga sedang membereskan barang-barang belanjaannya dan langsung menata ke dalam carrier, saat pulang tadi sore kebetulan rumahnya tidak ada siapa-siapa jadi Alin tidak di tanya-tanya. Alin anak kedua dari 3 bersaudara, kakak laki-lakinya masih kuliah, sedangkan adik perempuannya masih SMP. "Semoga dunia ini baik-baik aja, ya setidaknya sampai gue nikah punya anak," gumam Alin merenung. ---- Pagi hari, sekitar jam 8 pagi Alin sudah ke rumah Zea. Alin sangat bersemangat untuk belanja bersama, apalagi Zea sangat berpengalaman dalam hal belanja kebutuhan seperti ini, jadi Alin tidak terlalu cemas jika musibah itu akan datang nantinya. Tapi jika bencana beneran datang, Alin sangat berharap bisa bersama-sama keluarganya dan juga Zea. Meskipun Alin beberapa kali ikut mendaki, dia tak seberpengalaman Zea dalam hal survive. "Pagi Tante Lita," sapa Alin ramah. "Pagi Alin, ayo masuk." Balas Lita tersenyum ramah. Alin sudah sering ke rumah Zea, bahkan beberapa kali pernah menginap. Tentu saja Lita senang Zea memiliki teman sebaik Alin. "Tante mau berangkat ke Bogor sekarang?" Tanya Alin. "Iya, katanya Zea mau nganter ke Terminal sekalian pulangnya belanja sama kamu." Ucap Lita. "Eh Lin udah sampai aja, enggak apa-apa 'kan gue nganterin ke terminal dulu?" Ucap Zea yang baru saja keluar dari kamarnya. "Santai aja Ze, lagian dekat juga terminalnya." Ucap Alin. Kemudian ketiganya berangkat menggunakan motor, Alin dengan motornya sendiri, Zea membonceng Lita. Kalau mengendarai motor sendiri biasanya Zea akan menambah kecepatan, tapi sekarang dia melakukan motornya pelan karena takut di omeli ibunya. Sesampainya di Terminal, Zea dan Alin menyalami tangan Lita. Mereka berdiri di pinggir bus yang sedang parkir. "Kalian hati-hati di rumah ya, maaf ya Alin Tante ngerepotin kamu buat nginep nemenin Zea." Ucap Lita. "Enggak ngerepotin kok Tan, lagi pula Alin senang kok." Jawab Alin cepat. "Ya syukurlah, Ze Mamah enggak tahu pulangnya kapan, Mudah-mudahan Nenek kamu cepet sembuh. Kamu jaga diri baik-baik, kalau malas masak pesan saja jangan sampai enggak makan." Pesan Lita. "Iya Mah, Mamah juga hati-hati di jalannya, sampaikan salam Zea ke Nenek." Ucap Zea. Menjadi anak tunggal terkadang memang membuat Zea kesepian, apalagi Ayahnya pergi merantau, dan terkadang Ibunya juga akan menginap ke Bogor. Nenek Zea tak ingin ikut tinggal bersama, katanya lebih enak tinggal di Bogor yang memang rumah Neneknya berada di dekat pegunungan jadi masih sejuk dan asri, berbeda dengan keluarga Zea yang hidup di perkotaan yang cuacanya panas. Setelah melihat Lita naik Bus tujuan Bogor, Zea dan Lita kembali melajukan motornya menuju Supermarket.Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga
Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"
Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se
Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber
Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb
Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk







