Share

The World is Sinking
The World is Sinking
Penulis: Detia Wahyuni

Bab 1

Penulis: Detia Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-11 22:26:00

Ayam berkokok panjang menyuarakan pagi telah datang, sinar matahari perlahan masuk ke dalam celah jendela yang tertutup gorden tipis. Seorang gadis terbangun begitu mendengar suara alarm berbunyi nyaring, setelah bangun gadis itu langsung ke kamar mandi meskipun nyawanya belum terkumpul sempurna.

"ZEA! SUDAH PAGI!" Teriakan itu bergema, suaranya dari arah dapur.

"ZEA UDAH BANGUN KOK MAH." Teriak Zea dari dalam kamar mandi.

Zea Liona, gadis remaja berumur 16 tahun, kelas 2 SMA. Dia tinggal berdua dengan sang Ibu, Ayahnya bekerja di luar kota dan Zea adalah anak semata wayang. Hidupnya tergolong biasa saja, rutinitas sehari-harinya berangkat sekolah kemudian pulang untuk tidur. Tapi kalau hari libur, Zea suka mendaki gunung bersama teman-temannya atau ikut trip dan bertemu orang baru.

Selesai mandi dan memakai seragam sekolah, Zea menghampiri sang Ibu di dapur.

"Papah pulangnya kapan Mah?" Tanya Zea begitu melihat Lita-mamahnya baru saja menutup telepon.

"Katanya bulan ini belum bisa pulang, masih sibuk." Jawab Lita.

Zea hanya mengangguk saja kemudian mulai makan nasi goreng buatan Mamahnya. Zea terbiasa dengan ketidakhadiran ayah di sisinya, hal itu sudah berlangsung sejak Zea kecil.

"Besok Mamah mau ke Bogor, Nenek sakit, kamu enggak apa-apa sendirian dulu di rumah?" Ucap Lita.

"Atau kamu suruh Alin menginap saja di sini biar Mamah juga enggak khawatir," lanjut Lita menyarankan.

"Nanti Zea tanya Alin dulu." Ucap Zea.

Selesai makan, Zea berpamitan dan menuju sekolah menggunakan motor beat andalannya. Jarak sekolah 20 menit, kalau pakai angkutan umum akan terlambat karena jalanan macet. Sesampainya di sekolah, Zea memarkirkan motornya di tempat khusus parkir motor. Ya untungnya sekolah tidak melarang para murid membawa kendaraan pribadi.

"Zea!" Sapa Alin yang juga baru saja turun dari motor scoopy nya. Alin langsung menghampiri Zea dengan senyum riang.

Zea tersenyum girang, "Eh Lin, ayo bareng."

"Besok nyokap gue mau ke Bogor, lo mau nginep di rumah gue gak?" Ucap Zea.

"Wih boleh, kita Bergadang nonton drakor Ze." Ucap Alin antusias.

Ya sesama pecinta drakor atau drama Korea, akan sangat menyenangkan jika menonton bersama dan saling merekomendasikan drama Korea yang bagus.

Zea dan Alin sudah berteman sejak masuk SMA, keduanya sering satu kelas dan sebangku, ke mana-mana berdua dan sering dibilang kembar. Meskipun mereka memiliki banyak teman lain, untuk saling cerita dan berbagi mereka hanya nyaman berdua, mungkin karena banyak memiliki kesamaan.

Hari itu seperti hari lainnya, tidak ada yang menarik menurut Zea, hidupnya memang monoton. Meskipun tergolong cantik, Zea belum pernah pacaran karena ingin memiliki pacar seperti cowok di drama Korea yang sering ia tonton. Kriteria pacarnya harus 'Ganteng, Romantis, dan tentunya Kaya raya'. Biar saja dikata matre, hidup ini realistis. Apa-apa butuh uang, apalagi biaya mendaki gunung juga tergolong mahal dan perlu mengeluarkan biaya besar.

Sedangkan Alin memiliki pacar dan hubungan mereka sudah berjalan kurang lebih 1 tahun, dan tentunya Zea menjadi nyamuk di dalam hubungan mereka. Maksudnya, kalau ke kantin, Alin akan mengajak pacarnya juga.

"Ze, lo udah liat berita belum?" Tanya Alin yang sudah siap bergosip. Ya, Alin adalah cewek yang suka gosip, tapi karena hobbynya yang menurut Zea aneh itu, pengetahuan Alin menjadi luas karena tahu banyak hal.

"Berita apa?" Tanya Zea.

"Dunia bakal tenggelam," ucap Alin dengan wajah serius membuat Zea tertawa terbahak-bahak, menurutnya lucu apalagi melihat Alin seserius itu.

"Lah 'kan nanti bakal kiamat Lin,"

"Aduh Zea, ini bukan tentang itu. Gue serius loh, beberapa daerah di negara-negara lain yang dekat bibir pantai sudah tenggelam. Banyak korban jiwa, karena memang ini enggak ada ilmuwan yang prediksi sama sekali." Jelas Alin tak menghilangkan mimik seriusnya.

Zea tentu saja tidak langsung percaya, negara-negara lain sudah sangat canggih dalam hal teknologi, bagaimana mungkin mereka tenggelam begitu saja tanpa ada prediksi sebelumnya, mau ada gempa saja mereka sudah ada peringatan sejak awal. Masa ini langsung tenggelam begitu saja.

"Mereka pasti prediksi kalau mau tenggelam Lin, teknologi sekarang udah canggih loh." Ucap Zea.

"Teknologi secanggih apa pun enggak bakal bisa nandingin takdir Tuhan, Zea." Ucap Alin membuat Zea terdiam.

Ya, benar. Teknologi buatan manusia, bisa rusak kapan saja. Sekarang negara-negara maju dikuasai robot pekerja, tenaga manusia semakin tak ada gunanya. Hanya di negara berkembang yang masih tetap mempertahankan manusia sebagai pekerja. Dan semakin banyak pengangguran, banyak pula tingkat kejahatan.

"Terus gimana nasib kota-kota yang tenggelam itu," tanya Zea yang mulai tertarik.

"Parah Ze, banyak banget yang meninggal dunia dan kebanyakan anak kecil dan remaja, orang dewasa banyak yang selamat karena mungkin mereka jago renang atau mengandalkan apa pun di sekitarnya yang bisa dijadikan pijakan."

"Ini bukan satu atau dua negara Ze, tapi negara yang jauh dari laut tergolong aman untuk ditinggali sekarang ini. BNPB dan BMKG juga lagi meneliti apakah Indonesia termasuk negara yang akan menyusul tenggelam, apalagi kita dikelilingi oleh laut."

"Pantas saja Ayah gue enggak bisa pulang bulan ini, mungkin karena masalah ini." Ucap Zea yang teringat kata Ibunya tadi pagi.

Leon- ayahnya Zea, bekerja di BNPB Jakarta Timur. Jarang pulang karena memang sibuk dan sekalinya pulang hanya sehari dua hari.

"Ya ini bencana besar Ze, gue rencananya pulang sekolah mau beli pelampung, perahu karet, perlengkapan survive lainnya yang akan berguna kalau amit-amit kejadian bencana. Dan lo juga wajib beli sama gue pulang sekolah nanti." Ucap Alin.

Ya Alin memang terbiasa segala menyiapkan segala sesuatu bila ada prediksi akan terjadi bencana, karena dulu saat kecil Alin pernah tinggal di sebuah desa di kaki gunung yang berada di Jawa Tengah. Saat itu Gunung tiba-tiba mengeluarkan abu vulkanik, tidak ada prediksi apa-apa sebelumnya, semua warga panik dan berlarian mencari tempat perlindungan, Alin yang masih kecil tak mengerti ketika Ibu dan Ayahnya berlarian membawa dia dan kakaknya. Rumah mereka luluh lantak termasuk rumah seluruh warga desanya, tak bisa lagi ditinggali. Hal itu membuat Alin trauma dan menjadi orang yang akan membuat persiapan jika sudah ada prediksi akan terjadi bencana.

"Ya udah, ya udah, pulang nanti kita beli perlengkapan." Ucap Zea mengiyakan.

Zea sendiri terbiasa membeli perlengkapan gunung, jadi menurutnya hampir sama saja fungsinya nanti. Mungkin mereka juga perlu membeli banyak makanan, ya untuk persiapan saja apalagi daerah mereka tinggal lumayan dekat dengan pantai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The World is Sinking   Bab 22

    Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga

  • The World is Sinking   Bab 21

    Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"

  • The World is Sinking   Bab 20

    Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se

  • The World is Sinking   Bab 19

    Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber

  • The World is Sinking   Bab 18

    Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb

  • The World is Sinking   Bab 17

    Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status