Share

Bab 4

Penulis: Detia Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-11 22:45:49

Alarm berdering nyaring membangunkan kedua gadis yang tertidur nyenyak, Zea mengucek matanya kemudian berjalan ke arah jendela dan membuka gorden.

"Perasaan gue baru tidur Ze," ucap Alin.

Zea membuka handphone, ada begitu banyak panggilan tak terjawab dari ayah dan ibunya. Begitu membaca pesan dari ibu dan ayahnya, mata Zea langsung melotot terkejut.

"Ya ampun, Lin! Gawat!" Ucap Zea panik.

"Kenapa?" Tanya Alin.

"Semalem orang tua gue nelepon banyak banget, terus ada pesan juga, nih lo baca sendiri." Zea menyerahkan handphone nya ke Alin.

Alin membaca dengan pelan karena nyawanya belum terkumpul sempurna, sontak saja dia menjerit terkejut.

"ZEA!"

"Lin, lebih baik lo segera pulang ke rumah, kasih tahu keluarga lo, lo juga belum packing makanan kemarin." Ucap Zea cepat.

"Terus lo gimana Ze, lo nanti langsung ke rumah gue ya, kita jangan sampai pisah!" Ucap Alin tegas.

Zea mengangguk, "gue juga bakal siap-siap. Kita bareng-bareng ke Bogor ya."

Segera Alin mengangkut dus belanjaan ke motornya kemudian tancap gas menuju rumahnya sendiri, mereka tak ingat untuk pergi ke sekolah, yang mereka pikirkan harus menyelamatkan diri sebelum air laut sampai ke tempat mereka. Ya, subuh tadi ayah Zea juga mengirim pesan, kota di bibir pantai sudah tergenang air, meskipun baru se mata kaki, tetap saja air semakin naik per menitnya. Orang tuanya menyuruh Zea segera ke Bogor.

Zea langsung mandi, memakai pakaian biasa ia mendaki kemudian memasukkan makanan yang ia belanja kemarin ke dalam tas. Zea masuk ke kamar orang taunya, membuka lemari dan mengambil emas serta uang simpanan Lita, ya mamahnya memberi pesan untuk membawa emas dan uang yang ada di lemari. Zea menggendong carrier dibelakang, menggendong tas di depan serta mengalungkan tas kecil berisi handphone dan dompet. Tangannya menjinjing tas tenda dan kunci motor. Segera Zea keluar rumah dan mengunci pintu.

Di rumah Alin, setelah pulang dari rumah Zea, Alin berteriak memanggil keluarganya untuk berkumpul, untunglah ayahnya kemarin pulang dan sekarang ada di rumah, kakaknya belum berangkat kuliah dan adiknya juga masih ada di rumah.

"Kenapa teriak-teriak sih kak?" Tanya Arina adik perempuan Alin.

"Ayo kita bergegas, air laut naik!" Ucap Alin tegas.

Ayahnya- Zefan menanggapi santai, "Papah sudah tahu makanya Papah pulang, tadi malam Papah sudah packing barang-barang."

Alin menghembuskan nafas lega, "syukurlah, Pah kita berangkat ke Bogor ya, Zea mau susulin Mamahnya sekalian ke gunung."

"Bantuan akan datang jam 9 nanti, pemerintah akan mendatangkan pesawat-pesawat ke tempat-tempat yang sudah di tandai. Kita harus berangkat ke stadion." Ucap Zefan memberi arahan.

"Pah, aku enggak mungkin ninggalin Zea sendirian." Ucap Alin.

"Pemerintah memberikan bantuan terbatas, enggak semua orang bakal dapat kursi Alin! Papah udah usahakan kita semua dapat kursi itu." Ucap Zefan tegas.

Bahu Alin merosot, dia sudah janji akan pergi ke Bogor bersama Zea.

"Pah Alin mohon," ucap Alin memohon.

"Nanti kita ajak Zea saja," ucap Dina mamah Alin.

Bagaimanapun Zea sering main ke rumah, dan Dina juga sangat akrab dengan Zea.

Beberapa menit kemudian, Zea datang memakai motor. Alin segera berlari ke depan rumah.

"Ze, kata Ayah gue pemerintah kasih bantuan di titik-titik tertentu, tapi enggak semua orang dapatin itu, Ayah gue dapetin kursi, lo ikut gue ya?" Ucap Alin penuh harap.

"Enggak apa-apa Lin, lo pergi sama keluarga lo aja, gue bakal tetap ke Bogor." Ucap Zea.

Ya, Zea tak ingin berpisah dari sang Ibu.

"Ze, maafin gue ya." Ucap Alin lirih.

Zea tersenyum menenangkan, "lo enggak salah Lin, tapi keadaan sekarang benar-benar kacau. Gue harap kita bakal ketemu lagi nanti, kalau gitu gue jalan sekarang ya."

Perjalanan Zea ke Bogor membutuhkan waktu 3 jam, itu pun kalau tidak macet. Zea sangat diburu waktu, ibunya sudah menelepon untuk mempercepat perjalanan, 3 jam lagi mereka akan naik ke atas gunung.

"Jaga diri lo Ze, gue doain lo bisa ketemu Ibu lo tepat waktu." Ucap Alin tulus.

Zea mengangguk, "gue pamit, titip salam ke Tante Dina."

Zea langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, setiap jam Ayahnya menelepon memberitahukan keadaan di sekitar Zea, Zea menyalakan GPS dan dihubungkan dengan koneksi sang Ayah sehingga Ayahnya langsung tahu posisi Zea. Ayahnya menjabat posisi penting, jadi tidak bisa meninggalkan pekerjaannya bahkan untuk melindungi keluarganya sendiri.

Beberapa kali Zea hampir menabrak kendaraan lain dan di maki orang di jalanan, tapi Zea tidak menghiraukan, yang dipikirannya adalah sampai tepat waktu. Sepertinya masyarakat sudah tahu dan bergegas mencari tempat berlindung, karena jalanan lumayan ramai. Dengan nekat Zea melajukan motornya ke arah jalan tol, tidak ada yang berjaga mungkin petugasnya sendiri sibuk menyelamatkan diri.

Alunan musik menandakan ada telepon masuk, Zea menepikan motornya di rest area.

"Halo Papah," ucap Zea.

"Titik koordinat kamu di jalan tol Ze?" Ucap Leon di sebrang telepon.

"Ya Pah, jalanan ramai, Zea enggak bisa sampai tepat waktu kalau jalan biasa." Ucap Zea.

"Kamu lihat ke bawah jalan Ze," ucap Leon khawatir.

Jalan tol yang dilewati Zea berada di atas. Zea jalan ke pinggi jalan kemudian berdiri di dekat pembatas, matanya menatap ke bawah, di mana jalan biasa tergenang banjir.

"Ayah, airnya naik se betis, Ze tutup dulu teleponnya."

Zea kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sudah 2 jam perjalanan, sebentar lagi ia akan keluar tol dan sampai di Bogor, tapi untuk sampai ke tempat Neneknya, dibutuhkan waktu 1 jam lagi.

Di sisi lain, Lita mondar-mandir di depan rumah, tetangga-tetangganya sedang bersiap untuk naik ke atas gunung. Dan untungnya Nek Sumi tidak lagi demam seperti semalam dan sudah lumayan membaik.

"Zea pasti sampai dengan selamat," ucap Nek Sumi menenangkan.

"Aku khawatir Bu, kata Mas Leon sekarang tempat tinggal kita sudah naik airnya." Ucap Lita.

"Zea pasti sudah dekat, dia sudah berangkat dari 2 jam yang lalu," ucap Nek Sumi.

"Ya Tuhan tolong selamatkan anakku," gumam Lita terus menerus.

"Nek Sumi, Lita, sebentar lagi kita berangkat ke gunung. Katanya pemerintah akan memberikan bantuan, semoga dengan berkumpulnya kita di atas akan kelihatan oleh pesawat," ucap Pak RT yang memang mondar-mandir menginfokan ke rumah-rumah warganya.

"Pak, saya mohon tunggu anak saya dulu, dia masih dalam perjalanan ke sini." Ucap Lita.

"Saya tunggu satu jam lagi selagi warga bersiap. Tapi maaf ya Lita kalau lebih dari satu jam belum datang, terpaksa kita tinggalkan. Kita harus bergegas ke atas," ucap Pak RT membuat bahu Lita merosot lesu.

Kembali ke Zea, dia sudah keluar dari jalan tol. Dan jalanan macet, mobil enggak maju sama sekali, sementara motor maju sedikit-sedikit di pinggir jalan. Zea nyelip kanan kiri dengan pelan, matanya sesekali melirik jam di tangannya. Hatinya tak henti-hentinya berdoa memohon perlindungan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The World is Sinking   Bab 22

    Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga

  • The World is Sinking   Bab 21

    Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"

  • The World is Sinking   Bab 20

    Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se

  • The World is Sinking   Bab 19

    Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber

  • The World is Sinking   Bab 18

    Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb

  • The World is Sinking   Bab 17

    Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status