Share

Bab 5

Penulis: Detia Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-11 22:46:14

Setelah kepergian Zea, Alin dan keluarganya bergegas ke stadion. Jalanan lumayan macet tapi mereka tidak terlambat, banyak orang sudah berkumpul di kursi tribun. Nantinya pesawat akan mendarat di tengah lapangan.

Alin menatap cemas handphone nya, Zea belum membalas pesannya sama sekali.

"Kamu khawatir sama Zea?" Tanya Dina lembut.

"Iya Mah, Zea sendirian. Papah nya sibuk, Mamahnya di Bogor. Aku harap dia bisa sampai Bogor dengan selamat," jawab Alin.

Dina mengusap rambut anaknya, "dia pasti selamat, bukannya kata kamu Zea itu hebat dan bisa melindungi dirinya sendiri? Kamu harus percaya padanya."

Alin mengangguk, tapi hatinya masih diliputi kecemasan. Zea sahabat baiknya, yang paling mengerti dia, Alin tak ingin kehilangan sebaik Zea.

Di sisi lain, Zea sudah melewati jalan raya dan memasuki jalan perkampungan yang masih rusak dan jalanan menanjak. Setengah jam lagi, Zea harap bisa sampai tepat waktu.

Pak RT menatap warganya yang sudah berkumpul di lapangan, pun Lita dan Nek Sumi yang ikut berkumpul.

"Ibu-ibu dan Bapak-bapak, kita harus bergegas ke gunung di belakang, apa semuanya sudah berkumpul?" Tanya Pak RT.

Lita mengangkat tangan, "anak saya sebentar lagi sampai Pak."

"Biarkan dia menyusul ke gunung saja Lita, kita enggak bisa membuang waktu dengan menunggu satu orang, di sini ada ratusan orang di antaranya lansia dan anak-anak, itu yang harus kita utamakan." Ucap Pak RT tegas.

Setelah memberi arahan, Pak RT memimpin warga desa jalan menuju gunung. Lita mengusap wajahnya, tangannya mengotak-atik handphone menelepon Zea, kemudian menelepon suaminya untuk mengetahui posisi Zea.

"20 menit lagi Zea sampai, kalau memang warga sudah bergegas ke gunung, kamu pergi dulu sama Mamah. Aku yakin Zea bisa nyusul kalian." Ucap Leon di sebrang telepon.

Sejak kecil Leon mengajarkan Zea bagaimana hidup mandiri, hidup di alam bebas, bertahan hidup sendiri, itu bekal yang Leon siapkan ternyata berguna untuk anaknya.

"Nas, aku enggak mungkin ninggalin Zea." Ucap Lita cemas.

"Sayang dengerin aku, Mamah lagi sakit, beliau pasti enggak bisa jalan cepat-cepat, jadi kalian harus bergegas dari sekarang. Aku akan menghubungi Zea supaya nanti langsung naik ke atas gunung." Ucap Leon.

Sejujurnya, Leon sama cemasnya dengan Lita, tapi dia tak ingin membuat Lita semakin khawatir. Leon tahu Zea akan mampu melewati semua hal yang terjadi, dia percaya kepada anaknya.

"Baiklah Mas, aku bawa Ibu ke atas." Ucap Lita sebelum menutup teleponnya.

Lita menggendong tas kemudian menuntun Ibunya berjalan perlahan mengikuti warga.

"Zea pasti bisa nyusul kita," ucap Nek Sumi menenangkan.

"Iya Bu,"

Zea berdecap kesal, dia lupa mengisi bensin. Motornya mati di tengah jalan, tidak ada rumah warga maupun pom bensin. Padahal tinggal 10 menit lagi.

Zea mengirim pesan ke ayahnya kemudian berlari, jalanan menanjak membuat Zea sedikit kesulitan apalagi barang bawaannya banyak dan berat. Untunglah ada orang berhenti, seorang pemuda seusianya menggendong tas carrier.

"Mau ke atas gunung?" Tanya pemuda itu langsung.

Zea mengangguk, "iya, motor saya kehabisan bensin di bawah."

"Naik, kebetulan saya juga mau ke atas. Ayo atau kita ketinggalan rombongan,"

Zea langsung naik ke atas motor pemuda itu, pemuda itu melajukan motornya kencang. Setelah beberapa kali melewati tanjakan, motor berhenti di sebuah desa yang sudah kosong karena ditinggalkan warga ke atas gunung.

"Sini gue bantu bawakan tas lo, barang lo banyak banget," ucap pemuda itu.

"Ehm enggak usah, gue bisa bawa sendiri," ucap Zea.

"Gue Adrian, dan lo?"

"Gue Zea,"

Mereka bergegas naik ke atas gunung, melewati pesawahan dan kebun warga. Banyak jejak kaki di tanah menandakan para warga melintasi tempat itu sebelum mereka.

Di perjalanan hening, mereka sama-sama menghemat tenaga dan memilih tidak berbicara satu sama lain. Sesekali ayahnya Zea menelepon menginformasikan keadaan.

Saat di pertengahan jalan, ayahnya menelepon kembali dan mengajukan pertanyaan aneh.

"Zea, misalnya kalau Mamah kamu sama Nenek lebih dulu mendapatkan bantuan, apa kamu ikhlas nak?"

"Zea berharap Mamah sama Nenek selamat Yah. Zea sebenarnya enggak takut kalau harus terombang-ambing di lautan sendirian, yang Zea khawatirkan keadaan Mamah sama Nenek, makanya Zea nyusul ke Bogor. Kalau pun Mamah sama Nenek lebih dulu dapat bantuan, Zea harap Mamah sama Nenek ninggalin Zea. Zea akan bertahan hidup sampai bantuan berikutnya datang." Ucap Zea tegas membuat Leon tertegun.

Leon merekam percakapan mereka tentu bukan tanpa alasan.

Adrian menatap Zea penuh kekaguman, "Lo hebat."

"Gue enggak mau jadi alasan Mamah berat ninggalin gue padahal bantuan sudah ada di depan mata. Kalau gue bawa Mamah, gue juga belum tentu bisa lindungin, sedangkan gue bisa lindungin diri gue sendiri."Ucap Zea.

"Ya lo benar, gue lihat lo udah pripare dan siap buat survive."

Keduanya kembali melanjutkan perjalanan dalam diam. Saat tiba di puncak gunung, kosong.

Mereka sudah pergi.

Mungkin itulah asalan ayahnya menanyakan kesediaan Zea untuk ditinggalkan.

Zea melepas tasnya dan duduk menyender ke carrier, nafasnya masih terengah karena memaksakan berjalan tanpa istirahat.

"Mereka udah pergi, ya?" Gumam Adrian menatap kosong ke depan.

Setelah nafasnya stabil, Zea berdiri di pinggir tebing, matanya menatap ke bawah namun tak terlihat perkotaan karena tertutup awan.

Zea melihat berita di handphone, rumahnya sudah tenggelam dan kotanya sudah seperti laut. Untungnya sinyal masih ada jadi Zea masih bisa menghubungi ayahnya.

Zea membuka tas, mengeluarkan perahu karet yang belum di pompa.

"Bantu gue pompa perahu ini," ucap Zea ke arah Adrian.

Dengan cekatan Adrian memompa perahu karet itu. Adrian bersyukur bisa bertemu Zea yang terlihat sudah menyiapkan berbagai macam keperluan.

"Kalau pemerintah enggak ke sini lagi bagaimana?" Tanya Adrian cemas.

"Kita cari jalan keluar sendiri," jawab Zea dengan wajah serius.

Zea mengeluarkan 2 pelampung dari dalam tasnya, setelah selesai di pompa, satu pelampung diberikan kepada Adrian.

"Lo udah persiapan banyak banget, gue cuma bawa makanan sama perlengkapan mendaki aja." Ucap Adrian.

"Ya, gue sama sahabat gue nyiapin semua ini setelah tahu berita yang beredar," jawab Zea.

"Sekarang sahabat lo ke mana?" Tanya Adrian hati-hati.

"Terkadang, kita harus egois buat keselamatan diri kita sendiri, dan kita enggak berhak marah dengan keegoisan mereka."  Ucap Zea.

"Lo sendiri gimana?" Tanya Zea.

"Gue sebenarnya tinggal merantau di Jakarta, gue cuma punya Mamah di sini, makanya gue datang ke Bogor. Tapi gue bilang ke Mamah buat jangan tunggu gue kalau bantuan udah datang," jawab Adrian.

"Dan untungnya gue ketemu sama lo, makasih banyak Zea."

"Enggak masalah, gue sedikit lega ada teman, gue pikir gue bakal terombang-ambing sendirian di lautan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The World is Sinking   Bab 22

    Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga

  • The World is Sinking   Bab 21

    Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"

  • The World is Sinking   Bab 20

    Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se

  • The World is Sinking   Bab 19

    Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber

  • The World is Sinking   Bab 18

    Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb

  • The World is Sinking   Bab 17

    Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status